Kisah heroik ini datangnya dari daerah Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. Hiduplah sebuah keluarga miskin dengan keluarga serba kekurangan. Diantara keprihatinan tersebut terdapat seorang bocah bernama Muhammad Ali, semenjak ayahnya meninggal dunia bocah 6 tahun ini menjadi tulang punggung bagi 3 anggota keluarganya.
Disaat terdengar kabar berita ada Mahasiswa/wi mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri untuk mengurangi beban hidupnya, tidak demikian dengan seorang bocah di Polman berusia 6 tahun semangatnya untuk sekolah tidak pernah surut meski menjadi tulang punggung keluarga sekaligus mengurus ibunya yang buta dan tuli serta ke dua saudaranya, dimana salah satunya mengalami keterbelakangan mental.
Ali, masih duduk di bangku PAUD tidak kalah perkasa seperti legenda Tinju Dunia Muhammad Ali yang disematnya, sejak pagi buta usai bangun dan berangkat sekolah bocah sekecil itu harus membantu ibunya memasak, maklum saja ibunya menyandang buta dan tuli, tak banyak daya yang ia bisa lakukan untuk memikul beban berat menghiupi keluarga. Tidak hanya urusan dapur, Ali juga menyempatkan diri mengurus adik bungsunya yang berumur 3 tahun, serta kakaknya yang berusia 9 tahun dan mengalami kelainan mental, setelah semua terurus dengan baik barulah bocah perkasa tersebut siap berangkat sekolah. Tanpa seragam layaknya murid lain tak membuatnya patah arang, keinginannya untuk membantu keluarga membuatnya bersemangat menuntut ilmu.
Pada siapa lagi dia bisa berharap, dimana semenjak ditinggal pergi ayahnya untuk selama-lamanya dialah tumpuan bagi keluarganya. Otonomi daerah ternyata selalu saja menghadirkan cerita tragis nan miris, ironisnya ditengah upaya memperjuangkan hak-hak kaum elite di daerah alias “raja-raja” kecil tersebut menumpuk kekayaan sementara rakyatnya dibiarkan kelaparan melalui proyek-proyek super megah beromset miliaran rupiah sosok Ali sebagai pembeda.
Sungguh pilu membaca kisah heroik Muhammad Ali, selain sebagai tulang punggung keluarga, bocah tersebut harus menuntut ilmu. Untungnya para guru memaklumi apabila Ali terlambat datang sekolah, karena terlebih dulu mengurusi keluarganya. Ditengah keterbatasan Ali merupakan bintang kelas, dikenal rajin dan cerdas. Kegigihan Ali mengarungi hidup membuat para guru bersimpati. Bekal sekolahnya hanya nasi dan garam saja, tak jarang gurunya memberi uang Rp. 500 hingga Rp. 1000,- untuk membeli kerupuk sebagai lauk. Namun pemberian ala kadarnya tersebut tdaklah sepadan ketimbang kebutuhan hidup keluarganya, karena untuk menambah penghasilan Ali harus rela mengorbankan waktu bermainnya sebagai hak anak-anak untuk bermain-main untuk bekerja di kebun milik salah satu warga sepulang sekolah.
Disaat anak seusianya puas bermain, Ali mengorbankan masa kecilnya bekerja keras menopang kebutuhan keluarganya. Tak banyak upah ia dapatkan dari hasil memetik langsat di kebun warga tersebut, hanya diupah Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- tergantung seberapa banyak berat buah langsat yang telah ia petik.
Entah dimana Peran Pemerintah setempat disaat ada warganya yang belum cukup umur harus menanggung beban sendirian, inikah hasil aspirasi pejabat menuntut adanya peranan otonomi daerah.
Latah seperti biasa, setelah mencuat ke media online barulah stakeholder bergerak cepat, hal ini hingga mengundang simpati TNI AD. Adalah Komandan Distrik Militer (Dandim) 1402 Polewali Mandar Letkol Inf Dodi Triwinarno, yang berinisiatif membantu kehidupan keluarga Ali agar lebih layak. Tidak berhenti sampai disitu, pemberitaan tentang Ali, yang selama ini merawat ibunya yang tunanetra dan tuli serta adik dan kakaknya yang mengalami keterbelakangan mental, sampai pula ke telinga Presiden Jokowi. Dengan bantuan Presiden, rumah peninggalan almarhum ayahnya "disulap" menjadi rumah yang bagus, bahkan paling mewah di dusunnya. Rumah panggung itu kini memiliki kamar mandi, sumur, dan dapur. Bahkan perwakilan sebuah bank juga datang untuk menyerahkan bantuan dana pendidikan bagi Ali dan kedua saudaranya.
Jerih payah Ali beberapa tahun lalu menuai hasil, bantuan dari berbagai elemen setempat datang silih berganti yang langsung masuk ke rekening pribadi Ali. Awalnya dikenal sebagai seorang bocah masih duduk di bangku TK, kini sudah di tingkat kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Dusun Galung, Desa Battetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulbar (18/1/2017).
Ali masuk jajaran siswa berprestasi. Mendapat perhatian Pemerintah Daerah Sulbar dan berbagai pihak, ia menempuh pendidikannya dengan lancar. Tak tanggung-tanggung Pemda Sulbar melalui istri Gubernur Sulbar juga berencana mengajak ibu kandung Ali ke Jakarta untuk menjalani pengobatan mata.
Ketegaran Muhammad Ali ini sangat menginspirasi, karena berkat peran media, sontak kehidupan Ali mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial yang dialami Ali dimanapun disudut dunia ini tidak terlepas dari peran media.
Kalau bicara aksi sosial khususnya sosial kemasyarakatan, maka media memegang peranan penting dalam perubahan sosial, karena isu kehidupan di suatu daerah sangat erat sekali dengan perubahan sosial. Negeri ini tidak akan menjadi lebih baik kalau tidak ada perubahan sosial, seberapa bagusnya infrastruktur itu dibangun tidak dibarengi dengan perubahan sosial. Artinya membangun infrastruktur untuk meningkatkan angka korupsi maka itu sama saja pembual.
Apa yang telah dijalani Ali akhirnya menjadi sebuah inspirasi bagi para elite politik negeri untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan, jadilah pemimpin berintegritas, gigih, tegar serta bertanggungjawab seperti Ali.
01 Febrauari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H