Kesakralan ungkapan tumpul ke atas tajam ke bawah akrab menjadi simbol ketidakadilan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ungkapan tersebut tidak berlaku di Kerajaan Arab Saudi. Seorang pangeran dari kerajaan Arab Saudi sekalipun tidak luput jerat hukumanan mati. Dijatuhi hukuman eksekusi mati atas kasus pembunuhan pada Selasa (18/10). Eksekusi dilakukan setelah keluarga korban menolak suap “uang darah” atau diyat atau kompensasi keuangan dengan balasan agar tidak menuntut hukuman mati, menurut pihak keluarga “keadilan harus ditegakkan.”
Seperti dikutip dari Reuters, Kementerian Dalam Negeri Saudi mengumumkan bahwa Pangeran Turki bin Saud al-Kabir telah dieksekusi mati setelah dinyatakan bersalah atas pembunuhan seorang pemuda Saudi tiga tahun lalu.
Berdasarkan bbc.com Pangeran telah mengaku bersalah karena menembak temannya tersebut, berdasarkan pernyatan kementerian dalam negeri. Namun koresponden mengatakan, jarang bagi anggota keluarga kerajaan untuk dieksekusi.
Serambi indonesia memberitakan, “Ini bukan kali pertama keluarga kerajaan Saudi dipancung akibatpembunuhan. Salah satu kasus yang paling terkenal adalah eksekusi terhadap Pangeran Faisal bin Musaid al-Saud ataspembunuhan pamannya, Raja Faisal, pada tahun 1975.” Pada Tahun 1977 di tanah Arab juga menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang Putri Arab bernama Misha’al jatuh cinta dengan rakyat awam Mulhallal tidak lain adalah keponakan seorang Duta Besar Libanon untuk Arab Saudi.
Hukuman mati mutlak dilakukan apabila Kabinet kerja serius menumpas korupsi dan pungli. Ditengah gencarnya statement pemberantasan pungli yang diinisiasi Presiden Jokowi di era 2 (dua) tahun kepemimpinannya akan selalu memancing berbagai opini publik salah satunya “pencitraan” bahkan dukungan masyarakat tak boleh diabaikan, hingga meluncur pernyataan “anjing menggonggong kafilah berlalu” maju terus pantang mundur pak Jokowi, gebrakan bapak tidak akan sia-sia.
Disisi lain praktek percaloan atau pungli ini masih bergenteyangan di beberapa daerah instansi pelayanan publik. Salah sau celah pungli itu hadir saat mengurus STNK, SIM, KTP, Akte Kelahiran, Sertifikat, IMB bahkan pungli merambah dunia pendidikan tempat pelayanan pendidikan rawan PUNGLI. Mengapa? Karena akrab kita dengar keluhan masyarakat, dari pada lama ngantri, lebih baik bayar lebih baik bayar dua kali lipat “saya punya orang dalam alias oknum”. silahkan di kroscek kalimat ini.
Presiden Jokowi harus lebih sering blusukan ke tempat pelayanan publik tersebut jika ingin memberantas sarang-sarang “kakap elite bahkan kecoa rendahan” selama ini nyaman bersarang memperkaya diri sendiri dan golongan tertentu.
Disini, paling rawan pembuatan SIM, STNK, KTP hingga mudahnya perijinan pembangunan pusat bisnis atau perhotelan milik korporate raksasa, modus operandinya pembangunan berdiri maka iming-iming miliaran rupiah mengalir ke kantong pribadi dan para kroninya.
Sebenarnya pungli sudah ada sejak zaman dulu bahkan pada masa orde baru sudah ada menggelayuti negeri ini. Kini dibutuhkan komitmen Pemerintah untuk mengawasi peregerakan pungli di berbagai sektor dan lini. Memang sama-sama menguntungkan akan tetapi ada juga masyarakat yang dirugikan dalam aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara padahal berpijak pada bumi yang sama.
Pesan diatas menyiratkan hukum tak sebatas kata-kata, tapi bukti. Tindak tanduk Negarawan membuktikan makna “berantas Korupsi dan Pungli” langkah tepat presiden mendengar keluh kesah rakyatnya.
Eksekusi mati yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi sebagai penegasan penegakan hukum tanpa pandang bulu. “Hukuman yang sah akan menimpa siapa pun yang mencoba untuk menyerang orang-orang yang tidak bersalah dan menumpahkan darah mereka, memperingatkan konsekuensi atas tindakan kriminal di Saudi." Kata Raja Salman bin Abdulaziz.
Negara Asia level China saja sangatlah serius dan berani memberantas Korupsi dengan konsep 1000 peti mati untuk para koruptor, 1 (satu) untuk Presiden jika suatu hari terbukti korupsi sebuah janji yang berani. Apakah Indonesia masih bersikukuh pada siapkan 1000 peti mati untuk para koruptor dan sisakan 1 (satu) peti mati untuk orang yang melaporkannya?. Wahai penegak keadilan di Indonesia, berani terima tantangan ini?
21 Oktober 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H