Lakkang Pulau strategis ditepian kota Makassar menyimpan berjuta kenangan. Selain situs Bunker peninggalan penjajahan Jepang tahun 1940an, kini keberadaannya sangat memprihatinkan, seperti belum ada sentuhan tangan pemerintah.
Sekalinya menginjakkan kaki semua cerita yang ingin saya tuangkan ke dalam sebuah blog terbesar di indonesia, penghuninya didominasi orang-orang terhebat dalam dunia tulis menulis serta selalu menelorkan ide-ide cemerlang untuk berbagi wawasan dan pengetahuan.
Pulau harapan terebut mencuat sebuah harapan akan eksistensi budaya indonesia dapat saya saksikan langsung dengan mata dan kepala, dikala kebuadayaan lokal mulai terasing, hal ini disebabkan serbuan budaya eropa menjarah naluri anak-anak indonesia, dampak terburuknya generasi sekarang lebih “mencintai” lagu-lagu berbahasa inggris, lagu-lagu cinta, break dance, hip-hop, irama musik berbau kompeni dari pada disodori tontonan tradisional seperti wayang kulit, tari-tarian wayang orang, jaipong, Ludruk, Reog, musik keroncong, dan lain-lain, disini televisi sangat berperan menghidupkan kembali budaya lokal. Ketika negara lain “mengklaim” budaya tersebut sebagai milik kita, baru pada berontak, terlambat bung!.
Ternyata, event Jambore Wisata Bank Sampah di Lakkang tanggal 8 Oktober 2016 lalu membangunkanku dari koma akan sajian tradisional berupa paraga, pencak silat, tarian 4 etnik (Makassar, Bugis, Mandar, Tana Toraja) menyatu dalam sebuah irama mendayu serta liukan lincah masyarkat lokal, ini megaskan bahwa tradisional itu tak lekang ditengah keterbatasan.
Tari Paraga
Paraga, merupakan permainan dan olah raga sekaligus kesenian tradisional asal Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan. Berbeda dengan permainan dan olahraga tradisional sepak takraw, paraga dimainkan tidak untuk dipertandingkan, melainkan sebagai atraksi unjuk kebolehan.
Menurut kepercayaan, bola takraw yang digunakan dalam tarian Paraga, dianyaman dengan bahan rotan hingga menjadi tiga lapis, adapun iktikadnya, “ampedecengngi makkatenning ri lempu’e, nasaba puangge passabakeng” yang berarti, "berilah persangkaan baik dan keberpegangan pada kelurusan, karena Tuhan adalah segala-NYA".
Berbicara soal pencak silat di tanah Makassar ini saya tidak terlau faham, referensinya pun sangat minim. Saya berinisiatif bertanya kepada teman yang kebetulan penduduk asli Lakkang pun nihil. Akan tetapi setelah menyaksikan secara langsung, ternyata kota Daeng menyimpan budaya lokal tak lekang oleh waktu mengenai ilmu kanuragan atau pencak silat nan menghibur layak dipublikasikan kepada pihak luar.
Popularitas pencak silat leluhur Kota Daeng memang tak setenar Merpati Putih, Setia Hati Teratai (SHT), Tapak Suci (Muhammadiyah), Margoloyo (151), Lemkari, Judo, Tarung Drajat, hingga Silat Cimande (Jawa Barat). Ma’af saya kurang faham betul seluk beluk pencak silat asli warisan moyang Kota Daeng, jadi harap dikoreksi referensinya. Biasanya silat sifatnya rahasia ini diwariskan dari keluarga bahkan ada yang langsung dari warisan dari kerajaan kerajaan di Tanah Sulawesi. Tidak salahnya jika jaman dulu seorang prajurit harus menguasai beladiri sebaik mungkin demi mempertahankan bangsa dan negara dari rongrongan penjajah.
Tari Empat Etnik merupakan tari kreasi yang melambangkan empat etnik terbesar yang menaungi daerah sulawesi selatan meliputi etnik Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Tari Empat Etnik memadukan beberapa tarian seperti tari Pakarena dari etnik Makassar, tari Pajoge’ dari etnik Bugis, tari Pa’gellu dari Toraja dan tari Pa’tuddu dari daerah Mandar. Tarian ini dibuka dengan iramapakanjara atau gendang dengan ketukan bertalu-talu khas makassar, juga memadukannya dengan tari Maggellu dari Tator, Tari Mandar Mappendisasi dan tari Pattennung juga tari Pattuddu. Semuanya memiliki gerakan khas tersendiri dan setiap gerakan memiliki makna. Seperti gerakan memutar seperti jarum jam dari tari Pakarena yang melambangkan siklus kehidupan manusia. Semua unsur tersebut diramu menjadi gerak berkonstruksi dan selaras dengan penguatan yang dilengkapi dengan Angngaru/aru.
Tari empat etnis ini merupakan penggabungan beberapa tari dari setiap suku, dan dikenal dengan nama tari pa’rimpungang. Keunikan tari ini terlihat pada gerakan tari yang cukup aktraktif, kostum berupa baju-baju tradisonal dan musik tradisi dari daerah masing-masing yang mengiringi Tari Empat Etnik ini. Para penari menggunakan kostum (baju tradisional) yang khas dari keempat etnik ini. Setiap berganti tarian, musik pun berganti menyesuaikan ciri khas etnik masing-masing.
Perpaduan antara perbedaan dapat menciptakan keindahan, ternyata berbeda itu memang indah... semoga dapat menginspirasi hidup dalam pluralisme masyarakat.
17 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H