Mohon tunggu...
Sarah Haderizqi Imani
Sarah Haderizqi Imani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kadept. Sospolkumham BEM FH Untirta 2021 • Fasilitator Forum Anak Kota Tangerang • Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) Sehat Untirta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"All-Male Panel": Bukti Dunia Belum Inklusif dan Setara Gender

22 Maret 2021   23:37 Diperbarui: 23 Maret 2021   09:59 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan keputusan bersama yang hanya diisi oleh panelis laki-laki

Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia, berbagai acara dan kegiatan banyak dialihkan ke bentuk daring (online), termasuk seminar. Sebelum pandemi, seminar-seminar biasa diadakan secara tatap muka dengan jangkauan peserta yang terbatas. Namun sejak pandemi, istilah webinar yang merupakan akronim dari web seminar ini semakin populer karena menjadi alternatif terbaik dalam melaksanakan seminar di masa pandemi. Selain dapat mencegah penyebaran Covid-19 karena diadakan secara daring sehingga mengurangi mobilitas dan tidak menimbulkan kerumunan, jangkauan peserta pun semakin luas karena peserta dapat mengakses webinar di mana saja menggunakan berbagai aplikasi konferensi daring.

Kita semakin memiliki banyak opsi webinar dengan berbagai topik dan narasumber. Sebelum webinar marak, seringkali keinginan kita untuk mengikuti seminar dari narasumber-narasumber yang kita kagumi atau topik-topik yang menarik minat kita belum tercapai karena berbagai kendala, terutama jarak. Setelah webinar semakin marak, kendala tersebut dapat kita temui jalan keluarnya berkat teknologi yang ada.

Namun, pernahkah Anda memperhatikan komposisi narasumber suatu webinar? Pernahkah Anda menemui webinar yang menghadirkan lebih dari satu narasumber dan semuanya laki-laki? Bahkan moderatornya pun juga laki-laki, padahal topik webinarnya adalah topik yang menyangkut kepentingan umum sehingga membutuhkan keterwakilan dari berbagai pihak, termasuk perempuan. Hal inilah yang disebut sebagai fenomena all-male panel, di mana semua panel diskusi adalah laki-laki.

Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi dalam webinar saja, namun sudah marak dalam diskusi-diskusi lainnya. Contoh yang pernah penulis lihat adalah kegiatan Keputusan Bersama Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 pada 20 November 2020. Kegiatan tersebut hanya melibatkan Menko PMK, Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Mendagri, dan Kepala BNPB yang semuanya adalah laki-laki, padahal Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga adalah perempuan yang seharusnya juga dilibatkan karena keputusan tersebut menyangkut kepentingan anak dan kehadiran Bintang Puspayoga dapat mewakili perempuan dalam forum. 

Fenomena all-male panel bukanlah sesuatu yang sepele. Ini sangat erat kaitannya dengan kesetaraan gender yang dapat mewujudkan dunia yang inklusif. Kesetaraan gender sendiri menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka yang bersifat kodrati. Selain merupakan salah satu tujuan dari Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 1948, kesetaraan gender juga menjadi 1 dari 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, tepatnya pada tujuan kelima. Indonesia telah mengesahkan SDGs pada 25 September 2015.

KBBI Edisi V mengartikan inklusif sebagai sesuatu yang bersifat inklusi, di mana dalam KBBI V inklusi diartikan sebagai ketercakupan. Dalam hal ini, penulis mengartikan dunia yang inklusif sebagai keadaan di mana tidak ada lagi diskriminasi, terutama bagi perempuan. Lebih spesifik lagi dalam hal ini adalah mengenai keterlibatan perempuan, di mana dunia yang inklusif berarti perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Jadi, dunia yang inklusif berkaitan erat dengan kesetaraan gender karena sama-sama mengusung konsep keterlibatan atau ketercakupan tanpa diskriminasi.

Pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menetapkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Konvensi ini dianggap sebagai piagam hak internasional untuk perempuan. Indonesia menandatangani CEDAW pada 1980 dan meratifikasinya melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

Pasal 1 CEDAW mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan sebagai setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang  politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Mengusung sub-tema "Menciptakan Dunia yang Inklusif dan Setara Gender", melalui esai ini penulis ingin menjabarkan mengapa fenomena all-male panel merupakan salah satu bukti bahwa dunia belum inklusif dan belum setara gender.

Tidak Sesuai dengan Tujuan dan Ketentuan CEDAW

Pasal 3 CEDAW mengamanatkan negara-negara peserta untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya dengan tuiuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati HAM dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki melalui pembuatan peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Kemudian, Pasal 10 CEDAW mewajibkan negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin bagi mereka hak yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, perempuan berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan hak dasar pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi perempuan untuk tidak dilibatkan dalam panel diskusi sebagai pembicara. Sangat penting bagi perempuan untuk dilibatkan dalam proses produksi ilmu pengetahuan.

Selain itu, Pasal 7 huruf (b) CEDAW menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan, dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat. Hak perempuan untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara juga terdapat dalam Pasal 7 huruf (c). Salah satu implementasinya yaitu dengan melibatkan perempuan dalam penyampaian pendapat di muka umum dan dalam panel diskusi sebagai pembicara.

 

Mengesampingkan Kapabilitas Perempuan dalam Berbagai Bidang

Dominasi laki-laki dalam suatu diskusi publik, salah satunya dalam bentuk seminar, seolah mengesampingkan kapabilitas perempuan dalam suatu bidang. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa diskusi yang melibatkan perempuan hanya sebagai moderator masih termasuk fenomena all-male panel.

Dalam sebuah seminar hukum misalkan, apabila semua panelnya laki-laki hal ini seolah memberi kesan bahwa tidak ada perempuan yang berkecimpung di bidang hukum yang berkapabilitas untuk dilibatkan dalam diskusi serta menyampaikan pendapat dan gagasannya di muka publik. Padahal, di bidang hukum banyak sekali perempuan-perempuan berkapabilitas seperti Hakim Konstitusi MK RI 2008--2018 Maria Farida Indrati, Ketua Yayasan LBH Indonesia Asfinawati, dan lain-lain, seperti yang penulis kenal yaitu Dosen Bidang Pidana FH Untirta Dr. Rena Yulia, S.H., M.H., seorang akademisi yang berpengalaman tampil di muka umum menjadi pemateri atau pemantik diskusi. Maka, tidak ada alasan perempuan tidak cukup berkapabilitas seperti laki-laki sampai-sampai mereka tidak diberi tempat dan kesempatan untuk menjadi panel diskusi.

Melanggar Hak Perempuan untuk Berpartisipasi

Selain Pasal 7 CEDAW yang menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya serta berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah, Pasal 8 CEDAW juga menjamin hak perempuan untuk berkesempatan mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional atas dasar persamaan dengan laki-laki tanpa suatu diskriminasi.

Fenomena all-male panel jelas melanggar hak perempuan untuk berpartisipasi, karena CEDAW sendiri menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi sampai ke tingkat internasional. Kalau diskusi berskala internal saja tidak memperhatikan kesetaraan gender dengan melibatkan perempuan dalam panel diskusi, bagaimana masyarakat bisa sadar akan dampak negatif all-male panel dalam menghambat kesetaraan gender? Bagaimana perempuan bisa mendapatkan haknya untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah, berpartisipasi dalam organisasi non-pemerintah, bahkan berpartisipasi dalam organisasi internasional kalau tidak dimulai dari hal-hal kecil seperti menghilangkan fenomena all-male panel dalam setiap diskusi, termasuk diskusi-diskusi kecil di tingkat internal?

Dengan tidak sesuainya fenomena all-male panel dengan konsep kesetaraan gender, maka dapat disimpulkan bahwa all-male panel bukanlah sesuatu yang sepele karena menghambat perwujudan dunia yang inklusif. Masyarakat perlu tahu perspektif perempuan dalam segala isu, sedangkan all-male panel hanya menjadikan satu kelompok saja yang mendominasi, yaitu kaum laki-laki.

Apabila masih terdapat diskusi publik yang mendiskusikan isu yang menyangkut kepentingan umum dengan panel diskusi seluruhnya laki-laki, maka inklusivitas diskusi tersebut harus dipertanyakan. Bagaimana bisa mendiskusikan kepentingan umum atau topik yang umum namun panel diskusi didominasi oleh hanya satu kelompok saja?

Maka dari itu, masyarakat terutama para organisatoris dan penyelenggara diskusi harus menyadari adanya fenomena all-male panel dan dampak negatifnya agar dapat menghindarinya. Para panitia penyelenggara diskusi harus mampu saling mengingatkan apabila diskusi yang akan diselenggarakan berpotensi menghadirkan panel diskusi keseluruhan laki-laki. Diskusi bisa dipersiapkan dari jauh-jauh hari agar apabila ada calon narasumber perempuan yang tidak dapat menjadi narasumber diskusi, maka panitia bisa segera mencari calon narasumber perempuan lain yang berkapabilitas dalam isu yang akan dibahas. Mari hindari fenomena all-male panel guna menciptakan dunia yang inklusif dan setara gender! 

Artikel ini dipublikasikan setelah meraih Juara 3 Lomba Esai PEKIM FH Untirta 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun