Berdasarkan pasal-pasal tersebut, perempuan berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan hak dasar pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi perempuan untuk tidak dilibatkan dalam panel diskusi sebagai pembicara. Sangat penting bagi perempuan untuk dilibatkan dalam proses produksi ilmu pengetahuan.
Selain itu, Pasal 7 huruf (b) CEDAW menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan, dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat. Hak perempuan untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara juga terdapat dalam Pasal 7 huruf (c). Salah satu implementasinya yaitu dengan melibatkan perempuan dalam penyampaian pendapat di muka umum dan dalam panel diskusi sebagai pembicara.
Mengesampingkan Kapabilitas Perempuan dalam Berbagai Bidang
Dominasi laki-laki dalam suatu diskusi publik, salah satunya dalam bentuk seminar, seolah mengesampingkan kapabilitas perempuan dalam suatu bidang. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa diskusi yang melibatkan perempuan hanya sebagai moderator masih termasuk fenomena all-male panel.
Dalam sebuah seminar hukum misalkan, apabila semua panelnya laki-laki hal ini seolah memberi kesan bahwa tidak ada perempuan yang berkecimpung di bidang hukum yang berkapabilitas untuk dilibatkan dalam diskusi serta menyampaikan pendapat dan gagasannya di muka publik. Padahal, di bidang hukum banyak sekali perempuan-perempuan berkapabilitas seperti Hakim Konstitusi MK RI 2008--2018 Maria Farida Indrati, Ketua Yayasan LBH Indonesia Asfinawati, dan lain-lain, seperti yang penulis kenal yaitu Dosen Bidang Pidana FH Untirta Dr. Rena Yulia, S.H., M.H., seorang akademisi yang berpengalaman tampil di muka umum menjadi pemateri atau pemantik diskusi. Maka, tidak ada alasan perempuan tidak cukup berkapabilitas seperti laki-laki sampai-sampai mereka tidak diberi tempat dan kesempatan untuk menjadi panel diskusi.
Melanggar Hak Perempuan untuk Berpartisipasi
Selain Pasal 7 CEDAW yang menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya serta berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah, Pasal 8 CEDAW juga menjamin hak perempuan untuk berkesempatan mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional atas dasar persamaan dengan laki-laki tanpa suatu diskriminasi.
Fenomena all-male panel jelas melanggar hak perempuan untuk berpartisipasi, karena CEDAW sendiri menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi sampai ke tingkat internasional. Kalau diskusi berskala internal saja tidak memperhatikan kesetaraan gender dengan melibatkan perempuan dalam panel diskusi, bagaimana masyarakat bisa sadar akan dampak negatif all-male panel dalam menghambat kesetaraan gender? Bagaimana perempuan bisa mendapatkan haknya untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah, berpartisipasi dalam organisasi non-pemerintah, bahkan berpartisipasi dalam organisasi internasional kalau tidak dimulai dari hal-hal kecil seperti menghilangkan fenomena all-male panel dalam setiap diskusi, termasuk diskusi-diskusi kecil di tingkat internal?
Dengan tidak sesuainya fenomena all-male panel dengan konsep kesetaraan gender, maka dapat disimpulkan bahwa all-male panel bukanlah sesuatu yang sepele karena menghambat perwujudan dunia yang inklusif. Masyarakat perlu tahu perspektif perempuan dalam segala isu, sedangkan all-male panel hanya menjadikan satu kelompok saja yang mendominasi, yaitu kaum laki-laki.
Apabila masih terdapat diskusi publik yang mendiskusikan isu yang menyangkut kepentingan umum dengan panel diskusi seluruhnya laki-laki, maka inklusivitas diskusi tersebut harus dipertanyakan. Bagaimana bisa mendiskusikan kepentingan umum atau topik yang umum namun panel diskusi didominasi oleh hanya satu kelompok saja?
Maka dari itu, masyarakat terutama para organisatoris dan penyelenggara diskusi harus menyadari adanya fenomena all-male panel dan dampak negatifnya agar dapat menghindarinya. Para panitia penyelenggara diskusi harus mampu saling mengingatkan apabila diskusi yang akan diselenggarakan berpotensi menghadirkan panel diskusi keseluruhan laki-laki. Diskusi bisa dipersiapkan dari jauh-jauh hari agar apabila ada calon narasumber perempuan yang tidak dapat menjadi narasumber diskusi, maka panitia bisa segera mencari calon narasumber perempuan lain yang berkapabilitas dalam isu yang akan dibahas. Mari hindari fenomena all-male panel guna menciptakan dunia yang inklusif dan setara gender!
Artikel ini dipublikasikan setelah meraih Juara 3 Lomba Esai PEKIM FH Untirta 2021.