Mohon tunggu...
Sarah Haderizqi Imani
Sarah Haderizqi Imani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kadept. Sospolkumham BEM FH Untirta 2021 • Fasilitator Forum Anak Kota Tangerang • Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) Sehat Untirta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo Kenalan dengan PUP (Pendewasaan Usia Perkawinan), Salah Satu Senjata Atasi PUA (Perkawinan Usia Anak)!

22 Mei 2020   20:07 Diperbarui: 23 Mei 2020   10:19 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih maraknya kasus perkawinan usia anak (PUA) di Indonesia menjadi tamparan keras bagi kita semua, terlebih sekitar pertengahan Mei lalu media sosial digemparkan dengan viralnya video YouTube Adhiguna Sosiawan dan SS (16 tahun) yang menceritakan tentang pernikahan mereka yang dianggap meromantisasi dan mempromosikan PUA. Sebenarnya PUA itu apa, sih? Apa saja kategori seseorang masih termasuk usia anak menurut hukum di Indonesia? Kemudian, apa itu pendewasaan usia perkawinan (PUP) dan dalam rentang usia berapakah seseorang masih termasuk usia remaja? Kita bahas, yuk!

Perkawinan anak menurut United Nations Children's Fund (UNICEF) adalah perkawinan formal atau informal di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan dan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Laporan Perkawinan Anak di Indonesia: Statistik terbaru perkawinan anak di Indonesia (UNICEF, 2020) menunjukkan bahwa prevalensi perkawinan anak perempuan di Indonesia, baik yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun, menunjukkan penurunan pada periode tahun 2008-2018, namun penurunannya masih dikategorikan lambat, sementara prevalensi perkawinan anak laki-laki justru cenderung statis.

Oh iya, perlu diketahui juga nih, bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, pada Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun dan lebih lanjut pada ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 disahkan, maka ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diubah menjadi perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan ayat (2) diubah menjadi orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Pendewasaan usia perkawinan (PUP) merupakan upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama sehingga mencapai usia ideal pada saat perkawinan. Nah, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomendasikan usia ideal pada saat perkawinan yaitu usia minimal 25 (dua puluh lima) tahun bagi pria dan minimal 21 (dua puluh satu) tahun bagi wanita. PUP sendiri bertujuan untuk memberi pengertian dan kesadaran pada remaja agar ketika merencanakan untuk berkeluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek terlebih dahulu seperti kesiapan fisik, mental, ekonomi, dan lain-lain.

Dalam materi GenRe (Generasi Berencana), perencanaan keluarga merupakan kerangka dari program PUP. Pelibatan remaja dalam keluarga berencana merupakan salah satu implementasi dari kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Sedunia/International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo, Mesir pada 1994 yang telah diratifikasi Indonesia  guna memenuhi hak kesehatan reproduksi remaja. Nah, makanya penting sekali bagi remaja untuk mengetahui soal PUP dalam perencanaan keluarga! Tapi, memangnya yang termasuk remaja itu siapa saja, sih? Menurut BKKBN, rentang usia remaja yaitu 10-24 tahun.

Kembali lagi ke soal perencanaan keluarga, perencanaan keluarga yang merupakan kerangka dari program PUP terdiri dari 3 (tiga) masa reproduksi, salah satunya masa menunda perkawinan dan kehamilan, karena dalam masa reproduksi, remaja berusia 20 tahun ke bawah sangat disarankan untuk menunda perkawinan dan kehamilan hingga mencapai usia ideal perkawinan, yaitu minimal 25 tahun bagi pria dan minimal 21 tahun bagi wanita.

Dalam usia 20 tahun ke bawah, seorang remaja masih dalam proses pertumbuhan dan berkembang, baik secara fisik maupun psikis. Proses pertumbuhan berakhir pada usia 20 tahun, dengan alasan inilah maka perempuan dianjurkan menikah ketika sudah mencapai usia 21 tahun (Pegangan Kader tentang Bimbingan dan Pembinaan Keluarga Remaja, BKKBN, 2012).

Dalam masa menunda perkawinan dan kehamilan, terdapat banyak risiko kesakitan dan kematian yang dapat terjadi apabila perempuan menikah dan hamil ketika masih berusia 20 tahun ke bawah. Risiko-risiko tersebut dibagi menjadi 2 (dua) risiko, yaitu risiko dalam proses kehamilan dan risiko dalam proses persalinan.

Dalam proses kehamilan ada beberapa risiko yang dapat terjadi, yaitu keguguran, pre-eklamsia (peningkatan tekanan darah disertai dengan adanya protein dalam urine setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu) dan eklamsia (kelanjutan dari pre-eklamsia yang ditandai dengan tekanan darah tinggi dan kejang), dan lain-lain, sementara dalam proses persalinan ada beberapa risiko yang dapat terjadi, yaitu kelahiran prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi, kematian mendadak pada bayi/sudden infant death syndrome (SIDs), dan lain-lain.

PUP juga merupakan salah satu cara untuk mencapai 1 dari 17 tujuan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan yang merupakan tujuan kelima dalam SDGs di mana salah satu targetnya adalah menghapuskan semua praktik-praktik yang membahayakan seperti PUA.

SDGs ini merupakan kesepakatan pembangunan global untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan yang berlaku bagi seluruh negara (universal) yang disahkan pada 25 September 2015 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia yang waktu itu dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Maka dari itu, PUP merupakan salah satu senjata yang bisa kita gunakan untuk memerangi maraknya PUA. Tentu kita sendiri, terutama para anak dan remaja, selain dengan menambah wawasan mengenai PUP dan PUA serta menyebarluaskannya juga turut melakukan PUP untuk menekan angka PUA, terlebih anak berjumlah 30,1% dari total penduduk Indonesia (Profil Anak Indonesia 2019, KemenPPPA RI) yang mana anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun