Pemilihan Umum atau biasa disingkat Pemilu dianggap sebagai sebuah parameter dari demokrasi. Namun, pemilu bukan satu-satunya parameter melainkan perlu diimbangi juga dengan hal lain yang berkorelasi dalam kegiatan politik dan pemerintahan. Di Indonesia, awalnya pemilu ditujukan hanya untuk memilih perwakilan legislatif. Namun tahun 2002 hasil amandemen keempat UUD 1945, pemilihan presiden dan wakilnya ikut dipiilih lewat pemilu. Sehingga pemilihan presiden dan wakilnya melalui pemilu pertama kali diselenggarakan di negara kita pada tahun 2004[1]. Setelah melewati pemilu tahun 2004, 2009, 2014, hingga 2019 kemarin. Terjadi perubahan sistem pemilu yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang mana pemilu 2019 diadakan pemilu serentak tepatnya pada 17 April 2019. Pemilu 2019 telah membawa bekas luka yang dalam karena terdapat banyak sekali permasalahan, salah satunya adalah kondisi kesehatan petugas penyelenggara pemilu. Arief Budiman selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) menginformasikan bahwa terdapat 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS yang wafat dan terdapat 5.175 petugas jatuh sakit setelah terselenggaranya pemilu. Banyaknya korban terjadi karena sistem pemilu serentak tahun 2019 itu cukup rumit sehingga petugas mengalami kelelahan. Karena masalah tersebut, banyak pihak yang minta diadakannya evaluasi pemilu serentak. Evaluasi pemilu serentak membutuhkan kajian yang komperhensif dari seluruh stakeholder pemilu. Jadi diperlukan evaluasi dari aspek regulasi dan pengelolaan penyelenggaraan pemilunya.
Setelah melihat realitas yang terjadi dari peristiwa pemilu serentak 2019 lalu, membuat saya tertarik untuk membahas lebih lanjut terkait apakah sudah ada hasil final dari UU yang mengatur pemilu serentak tahun 2019 lalu? Selain itu, sebenarnya permasalahan tidak hanya dalam pemilu serentak saja namun masih ada beberapa bagian dalam UU Pemilu yang berlaku sekarang masih kurang sesuai dan perlu untuk dikaji kembali. Pada kenyataanya, revisi UU Pemilu masih belum direvisi hingga saat ini. Padahal sudah disusun draf RUU Pemilu. Berikut ini delapan poin-poin yang krusial dalam Draf RUU Pemilu :
- Pemilu Nasional digelar tahun 2024 dan pemilu daerah tahun 2027 (Pasal 734 Ayat (2))
- Mantan HTI sama dengan PKI yaitu dilarang mengikuti pilpres, pilkada, dan pileg (pasal 182 Ayat (2) huruf jj)
- Syarat pendidikan capres dan caleg dinaikkan dari jenjang SMA atau sederajat menjadi minimal lulusan pendidikan tinggi (Pasal 182 ayat 2 huruf j).
- Capres wajib masuk partai politik (Pasal 182 ayat (2) huruf 22).
- Sanksi denda 10 kali lipat jika terbukti mahar saat pencalonan presiden (Pasal 205 Ayat (5)).
- Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen DPR RI naik dari 4% menjadi 5% (Pasal 217).
- Ambang batas DPRD (Pasal 566).
- Pemilu menggunakan E-Voting (Pasal 481 ayat (2a)).
Dari pasal-pasal RUU Pemilu yang krusial di atas menjadikan proses revisi UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 menjadi perdebatan sengit dari para elit politik. Saya memulai dengan memaparkan siapa-siapa saja elit politik itu. Menurut (Laswell, 2009), elit politik itu meliputi seluruh pemangku kekuasaan dalam suatu bangunan politik. Mereka adalah orang-orang yang mampu menduduki jabatan dalam sistem politik dan pemerintahan. Namun, elit politik yang akan saya tinjau disini adalah elit politik dari beberapa partai politik yang kontras dalam revisi ini . Berikut ini saya membagi dua komponen sebagai berikut:
a. Partai politik yang pro terhadap revisi UU Pemilu
Berdasarkan informasi yang terbaru pada Februari 2021 tersisa dua partai yang masih setia untuk mendukung diadakannya revisi UU Pemilu. Kedua partai tersebut adalah partai Demokrat dan PKS.
b. Partai politik yang kontra terhadap revisi UU Pemilu
Partai yang menolak revisi UU Pemilu antara lain Gerindra, PDIP, PPP, Nasdem, PAN, dan PKB
Yang menjadi pertanyaan kita semua adalah mengapa suara elit politik di atas pecah. Sebenarnya apa kepentingan mereka sehingga mereka memperdebatkan revisi UU Pemilu, karena saya sebagai mahasiswa dan sekaligus masyarakat bisa menilai bahwa UU pemilu masih bermasalah. Namun, pada kenyataanya bahkan RUU Pemilu malah ditarik dari Prolegnas 2021. Untuk mengetahui hal tersebut, teori pilihan rasional (Rational Choice Theory) dapat menjadi salah satu pendekatan yang tepat untuk mengkaji perdebatan para elit politik dalam revisi UU Pemilu.
Teori pilihan rasional Anthony Downs menjelaskan bahwa si pemilih rasional hanya menuruti kepentingannya saja atau lebih mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan orang lain. [4]Asumsi dasar dalam teori ini adalah perilaku sosial disebabkan oleh perilaku seseorang yang membuat keputusannya sendiri sehingga teori ini difokuskan pada penentu pilihan individu. Pelaku pilihan rasional seperti birokrat, politisi, dan masyarakat pemilih, pada dasarnya egois dan melakukan berbagai cara dan mencari cara yang efisien untuk mencapai tujuannya masing-masing. Jadi optimalisasi dan efisiensi adalah inti dari teori pilihan rasional.
(Buchanan dan Tullock , 1962) juga menjelaskan dua asumsi kunci dari teori pilihan rasional yaitu sebagai berikut :
- Individu pada umumnya lebih tertarik untuk memaksimalkan kegunaan atau utilitas, artinya adalah prefrensi individu mengarah kepada pilihan yang dapat meminimalisasi biaya (cost) dan memaksimalkan keuntungan (profit).
- Hanya individu itu yang membuat keputusan, jadi bukan hasil keputusan kolektif. Hal ini biasa disebut dengan metodologis individualisme dan individu menganggap bahwa keputusan kolektif merupakan kumpulan dari pilihan individu.
Setelah memahami konsep dari Teori Pilihan Rasional yang intinya adalah setiap individu membuat keputusannya sendiri dan cenderung egois dengan berusaha agar kepentingannya bisa tercapai serta mengutamakan keuntungan. Teori ini bisa disangkutpautkan dengan perdebatan dalam revisi UU No. 7 Tahun 2017 dimana tiap elit politik dalam suatu partai mempunyai kepentingannya masing-masing dan berusaha melalukan segala hal demi mencapai tujuannya. Oleh karena itu, saya akan menelaah kepentingan-kepentingan dari para elit politik.
Pro Terhadap Revisi UU Pemilu
Demokrat dan PKS merupakan partai yang mendukung revisi UU Pemilu. Adapun alasan Partai Demokrat yang ingin UU Pemilu ini segera direvisi adalah Partai Demokrat ingin jadwal pilkada dinormalisasi bukan untuk berburu kekuasaan, melainkan banyaknya saran karena pemilu serentak sangat berbahaya. Seharusnya belajar dari pemilu 2019 yang telah merenggut banyak korban jiwa. Selain Partai Demokrat, PKS juga mendorong dilakukannya revisi UU Pemilu. Elit politik dari PKS menilai pemilu serentak 2024 dapat menurunkan kualitas dari pemilu itu sendiri.
Dari penjelasan di atas, saya setuju dengan keputusan dari kedua partai tersebut, dimana mereka masih memperhatikan dampak negatif yang akan ditimbulkan jika pemilu serentak 2024 benar-benar akan dilaksanakan. Dan jika dilihat dari kepentingan kedua partai ini dalam mendukung revisi UU Pemilu adalah jika pemilu serentak dilaksanakan maka pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanakan bulan Juni setelah itu Pilkada digelar dibulan November. Partai dengan suara terbanyak misalnya seperti PDIP akan untung karena menggunakan efek pilpres dan pileg dibulan sebelumnya. Dan yang mengalami kerugian adalah pihak penyelenggara pemilu itu sendiri, karena beban Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangatlah berat apabila menyelenggarakan pemilu serentak.
Kontra Terhadap Revisi UU Pemilu
Rencana DPR dalam merevisi UU Pemilu menurut saya sangatlah fluktuatif, terlihat dari kenyataan yang terjadi dimana awalnya semua fraksi DPR sepakat untuk merevisi UU Pemilu dan dimasukan kedalam Prolegnas. Namun, belakang ini rencana malah ditolak sendiri oleh mereka. Para elit politik yang menolak revisi UU Pemilu rata-rata beralasan bahwa mereka mengikuti sikap pemerintah. Padahal seharusnya DPR yang menjadi jembatan perwakilan rakyat dan menjadi penyeimbang arah kebijakan menjadi lebih baik bukan malah megikuti keputusan pemerintah. Adapun alasan pemerintah menolak revisi UU Pemilu ini karena ingin fokus dalam menangani Pandemi Covid-19. Saya menilai bahwa keputusan pemerintah dalam penolakan revisi UU Pemilu ini tentunya karena ada kepentingan tersendiri, seperti yang sudah dijelaskan dibagian sebelumnya bahwa, pemerintah selaku rational action masih ingin mencari keuntungan yaitu berupa kekuasaan atau jabatan. Karena apabila UU tidak direvisi akan banyak keuntungan yang diperoleh beberapa pihak. Termasuk aktor dinasi politik, dalam kondisi yang belum memiliki track record dalam dunia perpolitikan, namun memiliki keluarga dinasti elit maka memiliki potensi yang kuat.
Jadi alasan dari pemerintah menolak revisi UU Pemilu karena Covid-19 itu bukanlah alasan yang utama. Namun, dibalik itu ada rencana besar lain sebenarnya. Sekarang saya ingin meninjau dari perspektif PDIP yaitu partai yang berpengaruh besar saat ini. Sudah terlihat jelas alasan mengapa PDIP tetap memaksa agar revisi UU Pemilu tidak dibahas, saya menilai partai ini haus kekuasaan. Terkait kekuasaan ini saya akan hubungkan dengan teori lain yaitu teori kapitalisme. Kapitalisme merupakan teori tentang sistem ekonomi yang mana komponen industri dan perlengkapan produksi dikuasai oleh pemilik swasta yang bertujuan mendapat banyak surplus dalam ekonomi.[6] Namun, jika ditarik benang merahnya, maka kapitalisme memiliki prinsip yaitu mencari keuntungan dengan berbagai cara. Sama halnya dengan PDIP yang memanfaatkan keadaan supaya mendapat keuntungan yang lebih. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah elit politik yang mendukung Pemilu serentak 2024 tidak memperhatikan dan memikirkan betapa rumitnya pemilu serentak itu sendiri. Ya memang para elit politik tidak merasakan hal tersebut. Karena yang akan menghadapi kesulitan adalah tim penyelenggaranya yaitu KPU.
Jadi sudah diketahui bahwa perdebatan revisi UU Pemilu mengalami pro dan kontra diakibatkan perbedaan kepentingan dari masing-masing partai politik. Menurut pengamatan saya, partai yang mendukung revisinya UU Pemilu karena takut kalah saing saat pemilu serentak 2024 dan takut partai PDIP kembali menguasai kursi kekuasaan lagi. Dan partai yang menolak revisi UU Pemilu dengan alasan ingin fokus dalam penanganan Covid-19, saya pikir itu hanya gimik saja. Supaya terlihat, bahwa partai penguasa di pemerintahan sudah serius dalam penanganan Covid-19. Padahal saya menilai bahwa pemilu serentak tahun 2024 membawa banyak keuntungan bagi partai penguasa. Ada pendapat dari Azyumardi Azra selaku Guru Besar dari Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau menganggap bahwa partai politik yang menolak Pilkada tahun 2020 dan 2023 hanya gimik semata. Menjadikan keselamatan rakyat menjadi jargon saja dari para elit politik (Kompas.com, Rabu 3/3/2021).
Selain itu, ada pendapat lain dari Hadar Nafis selaku mantan Komisaris KPU, beliau memberi saran supaya Pilkada tidak diselenggarakan ditahun yang bersamaan dengan pilpres. Beliau khawatir masyarakat akan fokus pada pilpresnya saja. Kita itu ingin pemilu itu berkualitas, jadi harus memilih orang-orang yang terbaik juga. Hadar berpendapat bahwa untuk pemilihan presiden itu masih mudah, tapi kalau pemilihan DPR, DPR,dan DPRD, apalagi angka partisipasi surat suara tidak sahnya cukup tinggi, hal tersebut pasti membuat masyarakat kesulitan.
Setelah menggunakan Teori Pilihan Rasional sebagai pendekatan dalam mengkaji kepentingan-kepentingan dibalik para elit politik dalam perdebatan revisi UU Pemilu. Teori Downs ini sebenarnya tidak sebatas pada studi tentang pemilu saja. Downs juga menjelaskan bahwa demokrasi bisa dikorelasikan dengan ilmu ekonomi. Salah satu teori ekonomi Downs yaitu tentang demokrasi merupakan arena pemilu itu seperti pasar, yang di dalamnya ada penawaran (partai) dan permintaan (pemilih). Maksudnya adalah, akan ada pemilih yang rasional apabila partai yang dipilih bertindak rasional juga. Dan sebaliknya dengan adanya pemilih maka partai bisa untuk memaksimalkan tujuan mereka dalam mendapat kedudukan di pemerintahan. Dari uraian di atas saya simpulkan bahwa pemilu merupakan lambang negara demokrasi yang menjadi sarana bagi seluruh rakyat untuk menjalankan kedaulatan negara yang dilaksanakan secara luber jurdil sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945. Namun, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, terjadi banyak perubahan dalam UU Pemilu, dan revisi dilakukan guna menghasilkan UU Pemilu yang semakin baik. Dalam proses revisi UU memanglah bukan hal yang mudah, tapi membutuhkan proses dan kajian yang mendalam. Seperti revisi UU No. 7 Tahun 2017 yang menjadi perdebatan dari para elit politik. Para elit politik yang memilih pro dan kontra dalam revisi UU ini dinilai memiliki kepentingan lain sehingga para elit politik tidak satu suara. Untuk bisa mengkaji lebih dalam tentang perdebatan para elit politik, Teori Pilihan Rasional menjadi salah satu pendekatan yang tepat. Dari teori ini dapat diketahui bahwa para elit politik adalah aktor pemburu kekuasaan. Selain itu, Partai yang dominan/berkuasa akan meningkatkan dukungan masyarakat dan mencari perhatian agar pemilih mau memilihnya lagi, sementara partai lawan berusaha memaksimalkan dukungan untuk merebut posisi yang ada. Selain teori pilihan rasional, teori kapitalisme yang berprinsip mencari keuntungan dengan berbagai cara juga bisa digunakan untuk meninjau peran para elit politik yang mencari keuntungan dalam revisi UU Pemilu. Jadi pada intinya adalah saya mengharapkan yang terbaik bagi UU Pemilu ini, walapun sekarang RUU Pemilu sudah dikeluarkan dari Prolegnas 2021, saya berharap supaya DPR, pemerintah, dan para elit politik untuk kembali melanjutkan revisi UU ini, supaya pelaksanaan Pemilu bisa berjalan dengan baik dan tidak merugikanmasyarakat. Dan saya berharap para elit politik untuk tetap mempertimbangkan masyarakat dalam mengambil keputusan, walaupun kami tahu bahwa para elit memiliki kepentingan dalam mencari kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
De Jonge, Jan. 2012. Rethinking Rational Choice Theory : A Companion on Rational and Moral Action. Houndmills: Palgrave Macmillan.
Downs, Anthony. 1957. An Economic Theory of Democracy. New York: Harper and Row.
Ghoniyatun, Siti. dkk. 2020. Dinamika Pemilu Serentak: Catatan Penyelenggaraan Pemilu 2019 Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: KPU DIY.
Roth, Dieter. 2009. Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode. Jakarta: Lembaga Survei Indonesia.
JURNAL/SKRIPSI/TESIS
Fadli, M. 2018. Keterlibatan Elit Lokal dalam Peningkatan Partisipasi Politik pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toraja Utara Tahun 2015. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar.
Harahap, R.A.F. & Khairul Fahmi. 2019. Analisis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA. 7(2) hlm. 93-101.
Wijaya, Henri. 2020. Menakar Derajat Kepastian Hukum dalam Pemilu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial. 4(1) hlm. 82-104.
Zidni, M.F. 2014. Perilaku Pemilih : Dinamika Pilihan Rasional dalam Kemenangan Jokowi-Basuki pada Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012. Skripsi. Program Studi Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
INTERNET
Cnnindonesia.com. 2021. Poin-poin Krusial Pemilu Nasional dalam Draf RUU Pemilu. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210127200148-32-599272/poin-poin-krusial-pemilu-nasional-dalam-draf-ruu-pemilu/2 pada 17 April 2021 pukul 19.00 WIB.
Id.wikipedia.org. 2021, “Pemilihan Umum di Indonesia.” Diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia pada 17 April 2021 pukul 22.00 WIB.
Nasional.kompas.co. 2020, “Refleksi Pemilu 2019, Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia” Diakses dari: https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/15460191/refleksi-pemilu-2019-sebanyak-894-petugas-kpps-meninggal-dunia pada 17 April 2021 pukul 22.30 WIB.
Nasional.tempo.co. 2021. Peta Dukungan Fraksi di DPR soal Pilkada 2024 dan Kelanjutan Revisi UU Pemilu. Diakses dari: https://nasional.tempo.co/read/1431092/peta-dukungan-fraksi-di-dpr-soal-pilkada-2024-dan-kelanjutan-revisi-uu-pemilu/full&view=ok pada 17 April 2021 pukul 20.00 WIB.
Nasional.tempo.co. 2021. Pengamat Nilai PDIP Bisa Diuntungkan Jika Pilkada Digelar 2024. Diakses dari: https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1429250/pengamat-nilai-pdip-bisa-diuntungkan-jika-pilkada-digelar-2024 pada 18 April 2021 pukul 23.25 WIB.
Perludem.org. 2021. Draf RUU Pemilu Pemutakhiran 26 November 2020. Diakses dari: http://perludem.org/2021/01/19/draf-ruu-pemilu-pemutakhiran-26-november-2020/ pada 16 April 2021 pukul 20.00 WIB
Tribunnews.com. 2021. Kisruh Revisi Undang-Undang Pemilu, Politikus Demokrat Sebut PDIP Gila Kuasa. Diakses dari: https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2021/02/11/kisruh-revisi-undang-undang-pemilu-politikus-demokrat-sebut-pdip-gila-kuasa?page=3 pada 18 April 2021 pukul 02.00 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H