Mohon tunggu...
sarah dita
sarah dita Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Mahasiswa Perikanan dan kelautan Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Terciptanya Dunia Palsu: Kehidupan K-Roleplayer

7 Juni 2024   08:15 Diperbarui: 7 Juni 2024   08:18 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Teknologi informasi telah berkembang sangat cepat salah satunya munculnya internet yang membuat cara berkomunikasi menjadi lebih simple dan instan, Sehingga banyak informasi yang sangat mudah tersebar serta masuknya budaya luar seperti Western, Japan Pop dan Korean Pop. Beberapa tahun belakangan ini budaya Korea tengah menjamur di masyarakat. Budaya Korea yang tersebar di Indonesia meliputi K-Drama, K-Pop, K-Fashion, K-Food. Dengan adanya bantuan jejaring sosial media maka lebih mudah K-Pop tersebar dan pada akhirnya akan muncul banyak penggemar K-pop. Penggemar ini akan membuat sebuah komunitas karena ketertarikan yang sama, Biasanya para penggemar menggunakan jejaring sosial untuk bertukar pesan agar mendapat informasi mengenai idolanya.

Roleplay adalah permainan di mana pemain memainkan peran karakter imajiner / nyata dan bekerja sama untuk menyusun sebuah cerita. Pemain memilih tindakan karakter yang mereka mainkan berdasarkan karakteristik peran yang dipilih. Dalam grup roleplay terjadi interaksi antara pengguna satu dengan lainnya sehingga memunculkan kedekatan. Kedekatan yang dimunculkan pada relasi pertemanan antar roleplayer seringkali menimbulkan keterbukaan diri. Keterbukaan diri adalah pengungkapan tentang diri yang biasanya tidak diketahui oleh orang lain melibatkan informasi yang kita komunikasikan secara bebas kepada orang lain. salah satu roleplay yang digemari sekarang adalah dengan menggunakan identitas K-pop.  

K-pop idol roleplaying berlangsung dengan roleplayer membuat akun dengan nama dan menggunakan identitas idola favorit mereka kemudian menggunakannya untuk berinteraksi dengan role player lain atau penggemar lain sesuai dengan gambar dan plot yang ditentukan oleh role-player. Salah satu perbedaan paling signifikan antara idola-roleplay K-Pop dan jenis roleplaying lainnya (seperti roleplay selebriti Barat) adalah komunitasnya yang berbeda yang dibagi menjadi dua jenis secara umum: OOC (out of character) dan roleplayers non-OOC. OOC atau out of character roleplaying adalah kegiatan roleplaying dimana roleplayer pada dasarnya masih menggunakan identitas idola pilihannya, namun diperbolehkan untuk bertindak di luar karakter idola. Ini berarti bahwa mereka diizinkan untuk mengungkapkan sedikit kehidupan pribadi mereka (roleplayer). Salah satu tempat mereka seringnya pada media twitter maupun telegram.

Pada titik tertentu sampai batas tertentu, kepercayaan diri ini telah mendorong harga diri para pemain peran dalam membangun koneksi dan hubungan dengan sesama pemain peran maupun seumuran, yang lebih tua atau lebih muda. Dimana terbitlah sebuah kata:

"I don't need to worry about my looks because when I roleplay, I became the prettiest idol I can be. As someone who's quite reserved, social media is an introvert's heaven."

"Aku tidak butuh kekhawatiran soal penampilan ku karena saat roleplay, aku menjadi idola yang paling cantik. Sebagai orang yang cukup pendiam, sosial media merupakan surga bagi orang introvert"

Alasan utama lain untuk memilih idola untuk karakter roleplay adalah kepribadian atau citra idola. Pada intinya, roleplaying adalah tentang mengambil identitas seseorang, dalam kasus idola K-pop, roleplayer bertindak seolah-olah mereka adalah idola, atau setidaknya mencoba meniru idola dengan baik

Pada beberapa informan mengatakan, ini belum tentu merupakan hal yang buruk, selama mereka mampu menyaring informasi yang bermanfaat bagi mereka dan mana yang tidak. Pada tahap ini, ia mengakui bahwa literasi digital merupakan salah satu aspek penting dalam kegiatan roleplaying, karena terdapat banjir informasi, termasuk informasi yang menyesatkan dan pornografi.

Dari roleplay tersebut didapatkan bahwasanya tidak menutup kemungkinan pada orang dengan umur 15 tahun kebawah yang sudah kita ketahui mereka diperbolehkan dalam memegang gadget dan masi banyaknya minim pengawasan dalam bersosialisasi dengan banyaknya stranger media sosial yang dapat mereka terima dengan terbuka. Akibatnya banyak dari mereka mengikuti budaya dari group yang diikuti tersebut. Seperti sering mengeluarkan kata yang tidak pantas, tidak senonoh, sampai mencaci sesama agamanya. Kasus penipuan juga termasuk karena mudahnya mereka menerima seseorang dalam kehidupan mereka.  

Maka dari itu perlunya kita dalam menyaring perkataan dan mengatur waktu dalam kehidupan, karena pada dasarnya media sosial hanya tempat untuk menekspresikan diri dan menyalurkan kreatifitas tetapi perlunya mengatur waktu terbsebut untuk dunia nyata. Berkomunikasi dengan baik, hindari drama negatif yang dapat meranahkan ke dalam pertengkaran sesama manusia, dan terakhir dan paling penting etika dalam berkomunikasi, karena bisa saja perkataan yang tidak di saring tersebut memberikan dampak besar bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun