Mohon tunggu...
Sarah Rossy Wanka
Sarah Rossy Wanka Mohon Tunggu... Lainnya - sarahwanka

Communication Science

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Konvegensi Media

10 Agustus 2021   08:33 Diperbarui: 10 Agustus 2021   08:35 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini bangsa indonesia di penuhi banyak kemajuan di berbagai bidang pengaruh dari globalisasi, kemajuan ini berimbas pada percepatan informasi dan kemudahan penyebaran informasi yang di sokong oleh teknologi dan inovasi dalam dunia jurnalistik. Melihat demografi dan geografi indonesia yang tersebar di kepulauan, kemajuan ini mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi yang di dukung oleh penggabungan beberapa media bahkan platform multimedia, peningkatan partisipasi masyarakat di berbagai isu nasional menjadi tolak ukur penyebaran informasi mempengaruhi kesadaran masyarakat, mulai dari isu RUU KUHP,RUU KPK, OMNIBUSLAW, PENGUSURAN PANCORAN dll, adalah bukti keterlibatan media dalam mengedukasi masyarakat, penggabungan media dalam dunia jurnalistik bukan tanpa efek negatif, terintergrasi nya media dalam satu kesatuan pada industri media menyebabkan pemusatan pada informasi, informasi yang disajikan menjadi seragam karena pengelolaan di berbagai media dijadikan dalam satu ruang redaksi, hal ini mempersempit pengembangan dan keanekaragaman framing informasi yang ada, kecenderungan karya jurnalistik yang ada adalah rekonstruksi informasi guna kepentingan borjuasi,rekonstruksi tentunya tergantung oleh mereka di balik media dalam melakukan kerja kerjanya.

Kemajuan kemajuan ini tidak terlepas dari konsep demokrasi yang di amini oleh masyarakat luas, namun terlibatnya media dalam percaturan politik nasional mulai dipertanyakan lebih spesifik lagi demokrasi seperti apakah yang di inginkan oleh masyarakat kita? Konsep pertama menjelaskan bahwa masyarakat demokratis adalah masyarakat dimana publik mempunyai alat yang cukup berpengaruh untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan urusan mereka sendiri, alat alat informasi mereka yang bersifat terbuka dan bebas. Konsep lain demokrasi adalah publik harus di halangi dalam usahanya untuk mengatur urusan mereka dan alat informasi harus senantiasa di kontrol ketat.

Pada konvegensi media di indonesia dapat menjelaskan demokrasi apakah yang kita jalankan, pasalnya beberapa media swasta nasional di miliki oleh segelintir borjuasi partai politik, yang bisa saja memiliki agenda setting untuk mempertahankan eksistensi, elektabilitas serta rekonstruksi opini/rekayasa opini. Ini dapat mempengaruhi agenda setting dalam ruang news/redaksi sesaui dengan kepentingan perusahaan atau pemilik. Mengingat media/jurnalistik adalah salah satu watchdog bagi pemerintahan, hal ini sangatlah mungkin berpengaruh pada kepemilikan media massa, dilansir dari tirto.id penelitian atas kolongmerasi media yang dilakukan Merlyna Lim lewat "Mapping Media Concenration in Indonesia"(2011) berkesimpulan terdapat 13 kelompok media yang mengontrol semua saham telivisi komersial nasional di indonesia.

Banyaknya media yang bertransformasi dan gulung tikar di pengaruh perkembangan internet dan media sosial menumbuhkan media online, Ross Tapsell dalam bukunya "media power in indonesia: oligarchs,Citizens, and the Digital Revolution" menjelaskan terdapat 8 kolongmerasi media yang di sebut "konglomerat Digital" adalah CT Corp milik Chairul Tanjung, Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo, EMTEK milik eddy kusnadi sariaatmadja, Visi Media Asia milik bakrie group, MEDIA GROUP milik Surya Paloh, Berita satu media HOLDING milik keluarga Riady, Jawa Pos milik Dahlan Iskan dan Kompas Gramedia milik Jakoeb oetama. "Pusat berita TransTv dan Trans7 akhirnya di satukan pada 2018" dikutip dari buku Chairul Tanjung SI Anak Singkong (2012) deretan perusahaan ini dimiliki oleh sebagian petinggi partai politik seperti partai Perindo, partai GOLKAR, partai NASDEM, hal yang paling mencolok adalah adanya iklan partai politik di berbagai media nasional diluar waktu kontestasi politik, contohnya partai perindo yang melanggar aturan kampanye pemilu 2019, pasal 492 Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu berbunyi "memberikan sanksi setiap orang yang sengaja melakukan kampanye di luar jadwal,yakni pidana kurung waktu 1 tahun penjara dan denda paling banyak Rp12 juta" dilansir dari BERITA SATU.COM. ini menunjukan bahwa konvegensi media didalamnya peleburan media-media pada satu kontrol dapat di manfaatkan sebagai agenda setting sebuah parpol sebagai sarana kampanye. Hal ini tidak menutup kemungkinan kepemilikan media oleh segelintir elit borjuis dapat digunakan untuk agenda agenda tertentu,terutama agenda setting pada ruang redaksi untuk menutupi isu atau pemberitaan yang dapat menyerang, kemudian tingkat independensi dari jurnalistik dapat di pertanyakan.

Konvegensi media yang terjadi saat ini juga berimbas pada daya saing media media baru, kontrol pasar yang di lakukan akibat pembentukan ekosistem pada konvegensi media menutup kemungkinan persaingan arus informasi yang membuat sulit berkembangnya media diluar lingkaran media yang sudah terintergritas dengan media besar. Pada akhirnya konglomerat media cenderung mengembangkan model bisnis ketimbang kemajuan dari kualitas konten jurnalistik, hal ini di dukung dari pembentukan ekosistem media di lingkaran tertentu, dari konten hingga infrastruktur komunikasi. Dengan contoh penuhnya iklan bisnis dan hiburan yang menghiasi kolom iklan pada media yang berkovergensi, seperti transCorp, detik.com dengan transmart, trans Studio, Trans Snow world dll.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun