Mohon tunggu...
Sarah NandaPutri
Sarah NandaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Cerpen, Puisi, dan Mahasiswi di Universitas Airlangga

Saya suka menulis cerpen dan puisi sastra, inspirasi saya adalah Eka Kurniawan!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU TPKS, Sudahkah Melindungi Kita?

25 Juni 2022   08:51 Diperbarui: 25 Juni 2022   08:52 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekerasan seksual telah menjadi isu yang marak terjadi di Indonesia. Hal ini telah menjadi kekhawatiran dan ketakutan dalam masyarakat luas, masyarakat merasa tidak aman pada ruang publik dan ruang privat dikarenakan banyaknya kekerasan seksual, terutama pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik. Kekerasan seksual merupakan tindak pidana (strafbaarfeit) yang terjadi di masyarakat tradisional tidak hanya dapat ditemukan di lingkungan masyarakat yang organik dan modern, yang lebih memiliki akses tentang pengetahuan dan kesadaran hukum (law awareness) dengan kultur budaya yang lebih berkembang. Akan tetapi, di Indonesia sendiri tidak ada pasal yang benar-benar mendefinisikan kekerasan seksual seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tidak mengenal istilah “kekerasan seksual” dan hanya mengenal istilah-istilah yang termasuk dari jenis kekerasan seksual. Oleh karena itu, telah diresmikan  UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Akan tetapi, UU TPKS ini menuai banyak kontroversi karena banyak berubah dari Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sangat gencar disuarakan karena diperlukan perlindungan hukum positif yang dapat menjamin hak-hak penyintas kekerasan seksual.

Salah satu contoh kasus kekerasan seksual adalah Kasus perisakan, pelecehan, dan kekerasan seksual  KPI merupakan salah satu produk dari kerisauan masyarakat terkait kurangnya perlindungan hukum terhadap korban dan penyintas kekerasan seksual. MS telah melaporkan kekerasan dan pelecehan seksual yang ia alami sebelumnya, sebelum kasusnya menjadi viral di sosial media, tetapi oleh pihak kepolisian ditolak dan diminta diselsaikan secara kekeluargaan dan internal terlebih dahulu. Hal ini merupakan stigma besar dari ketakutan masyarakat untuk menyuarakan kasus pelecehan dan kekerasan seksual sampai pada akhirnya fenomena kekerasan seksual seperti fenomena gunung es yang hanya terlihat ujungnya saja. Didukung oleh studi kuantitatif yang dilakukan oleh organisasi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Studi melaporkan bahwa 33,3 persen laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. Akan tetapi, sering sekali kasus kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki diabaikan. Menurut salah satu narasumber laki-laki yang mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan seksual menganggap bahwa ia tidak merasa aman untuk membicarakan maupun melaporkan kejadian yang ia alami. Ia merasa takut atas stigma yang akan diberikan kepadanya di kehidupan masyarakat. Ia takut dianggap lemah dan tidak berdaya. 

Masyarakat umumnya takut karena merasa suaranya tidak didengar oleh penegak hukum dan kasusnya sering di sepelekan. Padahal, kekerasan dan pelecehan seksual dapat menjadi alasan utama dari hancurnya psikologis penyintas. Trauma mendalam dapat menganggu kehidupan korban, seperti MS yang mengalami trauma berat dan tidak berani untuk pergi kerja yang merupakan sumber pendapatan utamanya membuat hidupnya semakin sulit padahal harusnya ia dilindungi payung hukum. Kasus MS, yang sempat ditolak pihak kepolisian juga merupakan implementasi seringnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual diselepekan di masyarakat. Penyebab dari hal ini dari lima responden yang saya wawancarai adalah karena kurangnya kesadaran masyarakat atas pentingnya pendidikan pencegahan kekerasan seksual di masyarakat. UU TPKS yang hanya memuat empat macam kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual (fisik dan non fisik), pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. Dampak dari perubahan draft ini dikhawatirkan dapat menyebabkan jaminan hak korban atas hukum terancam.

Selanjutnya, mengkaji UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dirancang oleh Badan Legislatif DPR RI pasal 1 angka 12 yang berbunyi:

"Hak Korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif".

Pertama, korban hanya mendapatkan ketentuan umum berupa penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapat, digunakan, dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif. Hal ini dapat berbahaya karena tidak adanya spesifikasi lebih lanjut terhadap perlindungan, penanganan, dan pemulihan penyintas kekerasan seksual.

Kedua, penghapusan lima macam kekerasan seksual yang berupa ketentuan tindak pidana perkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual dapat menyebabkan hilangkan hak-hak dan jaminan bagi penyintas jenis kekerasan seksual yang dihapus oleh Badan Legislatif.

Ketiga, penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI Pasal 4 merupakan eufemisme kata ‘perkosaan’ yang tidak perlu karena dapat menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap UU TPKS menurun karena dapat dianggap tidak memihak penyintas.

Keempat, kosongnya pengaturan kekerasan seksual berbasis online atau KBGO juga mengkhawatirkan mengingat banyaknya kekerasan seksual yang terjadi di ranah daring sesuai dengan publikasi SAFEnet, tercatat 620 laporan kasus KBGO yang terlapor sepanjang tahun 2020 yang merupakan peningkatan sepuluh kali lipat dari tahun 2019 dan tidak adanya pasal dalam UU TPKS yang memuat tentang deep fake dalam video-video pelecehan seksual, sehingga terdapat vacuum of law atau kekosongan hukum dalam draft RUU TPKS yang dirancang oleh Badan Legislatif dapat merugikan penyintas kekerasan seksual berbasis online dan tidak tercapainya keadilan hukum terhadap penyintas kekerasan seksual.

Kelima, kosongnya pengaturan untuk penanganan korban kekerasan seksual dengan disabilitas juga menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan kelompok penyindang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap kekerasan seksual. Untuk itu, diperlukan perlindungan khusus yang komprehensif terhadap kekerasan seksual pada penyindang kekerasan seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun