Mohon tunggu...
Saragih alam
Saragih alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Disela-sela liburan

Telah memperoleh S-1 Filsafat di Fakultas Filsafat Santo Thomas Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Romantisisme Kemiskinan

30 Oktober 2022   02:14 Diperbarui: 30 Oktober 2022   05:52 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Pengertian

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), romantisisme merupakan suatu aliran seni (drama) yang mengutamakan imaginasi, emosi, dan sentimen idialisme. Sedangkan kemiskinan adalah keadaan miskin. Romantisisme kemiskinan dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk mengimajinasikan/mensentimentasi kemiskinan. Artinya adanya upaya untuk melihat dan menekankan keindahan dari kemiskinan. Membuat kemiskinan terasa indah dan baik.

2. Romantisisme Kemiskinan Dalam Agama

Paham romantisisme kemiskinan ini rentan terjadi dalam kehidupan beragama. Ada kecenderungan untuk jatuh pada paham yang tidak benar, baik pengajar maupun umat yang diajar. Hal itu telah dibuktikan dalam sezarah.

Meskipun bagi banyak orang agama telah menjadi kebutuhan mendasar, namun tidak sedikit orang yang mempertanyakannya. Sejak abad ke-18 kritik terhadap agama semakin kuat. Kritik ini mencapai puncaknya dalam bentuk ateisme (paham yang menafikan Allah), gejala yang populer dikalangan masyarakat dunia. Feurbach dan Freud berpendapat bahwa agama hanyalah ekspresi dambaan manusia. Bagi Nietzsche agama adalah simbol kebencian manusia terhadap hidup. Sedangkan bagi Karl Marx agama adalah pembenaran untuk kejahatan manusia dan candu masyarakat. Atas alasan-alasan tersebut Allah tidak diperlukan dalam hidup manusia sebab hanya akan menghambat kemajuan. Bahkan dengan berani Nietzche menyatakan bahwa Allah telah mati.

3. Karl Mark

Kesejangan sosial yang terdapat kala itu diakibatkan oleh agama.  Konteks sosial ekonomi pada masa itu ditandai dengan muculnya industri. Ada jurang yang dalam yang memisahkan antara orang yang kaya dan orang yang miskin. Masalah sosial-ekonomi ini ditangarai oleh paham agama yang ada kala itu. Agama dianggap menghambat perkembangan ekonomi dan sosial. Mengapa? Agama selalu mengajarkan kepada para pemeluknya agar tidak terlalu risau dengan kehidupan di dunia. Hidup di dunia hanyalah sementara sedangkan kehidupan setelah di dunia ini adalah kekal. Untuk itu, hal yang penting untuk dimiliki kaum beragama adalah sikap iman yang baik, agar kelak dapat diperkenankan ikut ambil bagian dalam kehidupan kekal. 

Tidak masalah jika pada saat ini hidup susah dan menderita. Dalam menghadapi penderitaan itu, kaum beragama harus bersabar menanggung segala kesulitan dengan tetap melakukan kebaikan. Perbuatan moral jauh lebih berguna daripada harta dan kekayaan, sebab perbuatan baik itulah yang dipandang sebagai syarat untuk memperoleh kehidupan surgawi.

Bagi Marx agama adalah "candu". Ajaran-ajaran agama membuat banyak orang tidak mau berusaha dan berjuang untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera. Hal itu terjadi karena mereka menganggap hidup sejahtera di dunia ini tidak menjadi ukuran kehidupan kekal. Agama "meninabobokan" pemeluknya akan janji-janji surgawi. Situasi itu berdampak bagi perkembangan sosial-ekonomi. Orang yang bekerja akan memiliki segala-galanya, sedangkan orang beragama (yang jumlahnya jauh lebih banyak) tidak berbuat apa-apa. Ekonomi tidak jalan dan hanya dikuasai oleh beberapa orang.

Memahami semua itu, Karl Marx berkeyakinan bahwa solusi dari permasalahan itu adalah menghilangkan agama. Dengan hilangnya paham agama dari tengah-tengah masyarakat, ekonomi akan tumbuh dan masalah-masalah sosial akan hilang sebab semua orang berjuang untuk memperoleh kehidupan yang baik dan sejahtera.

4. Agama Yang Memberdayakan

Dewasa ini, ada bahaya jatuhnya agama pada romantisisme kemiskinan. Beragama tidak membuat segala sesuatunya mudah. Agama bukanlah jalan pintas menuju kebahagiaan. Orang lapar akan sulit berbicara tentang iman. Untuk menjadi seorang beriman yang baik, pertama-tama perut haruslah terisi terlebih dahulu.Setiap agama harus memberdayakan umatnya agar memiliki taraf kehidupan yang baik. Tidak cukup hanya mencecoki pemeluknya dengan ajaran dan teori-teori tentang Allah.

Setiap pemeluk agama adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu ia bertanggungjawab atas segala masalah-masalah yang ada di dalamnya. Meskipun pemeluk agama menyatakan diri sebagai bagian dari realitas surgawi, tapi pada kenyataanya mereka masih hidup di dunia. Konsekuensinya mereka harus terlibat dan ambil bagian membangun dunia. Selain itu, mereka juga harus berusaha agar dirinya tetap eksis di dunia.

Pengajar dan pemimpin agama tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang iman, mereka juga harus paham akan nilai-nilai ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, hukum, pendidikan, dll. Dengan keterampilan itu, pemimpin agama mampu menyikapi dan membantu umatnya menghadapi permasalahan kongrit dalam hidup mereka masing-masing. Pengajaran yang paling efektif bukanlah kata-kata indah, tetapi teladan yang hidup.

5. Mabuk Agama

Banyak diantara orang Indonesia mabuk agama dan menjadi kaum beriman yang buta. Menerima dan menelan seluruh ajaran agama tanpa mampu mengkritisinya. Seharusnya sebelum diendapkan di dalam hati, nilai-nilai itu harus dikunyah, direnungkan, dan ditelaah terlebih dahulu.

Menjadi kaya bukanlah sebuah dosa. Tidak ada dosa menjadi orang kaya. Bahkan banyak orang sampai belajar ke "Negeri Cina" demi memperoleh pekerjaan yang baik dan hidup yang sejahtera. Yang salah adalah melekat pada harta tersebut dan melupakan segala-galanya.

6. Menderita Demi Iman

Setiap agama mengajarkan keteguhan iman bagi setiap pemeluknya. Kesabaran dalam menghadapi penderitaan adalah baik dan luhur. Nilai ini memang baik sejauh dipahami dengan tepat. Menderita yang dimaksudkan bukanlah karena tidak berbuat apa-apa, tetapi demi menjunjung nilai-nilai kebenaran. Seseorang yang dikucilkan atau tidak naik jabatan karena mempertahankan nilai-nilai moral berbeda dengan mereka yang mati kelaparan karena tidak bekerja/ bersusaha serta menunggu belaskasihan orang lain.

Semoga setiap pemeluk agama menjadi seorang beriman yang bijak.

Penulis saat ini sedang menjalani program magister di Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas Medan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun