Dewasa ini, ada bahaya jatuhnya agama pada romantisisme kemiskinan. Beragama tidak membuat segala sesuatunya mudah. Agama bukanlah jalan pintas menuju kebahagiaan. Orang lapar akan sulit berbicara tentang iman. Untuk menjadi seorang beriman yang baik, pertama-tama perut haruslah terisi terlebih dahulu.Setiap agama harus memberdayakan umatnya agar memiliki taraf kehidupan yang baik. Tidak cukup hanya mencecoki pemeluknya dengan ajaran dan teori-teori tentang Allah.
Setiap pemeluk agama adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu ia bertanggungjawab atas segala masalah-masalah yang ada di dalamnya. Meskipun pemeluk agama menyatakan diri sebagai bagian dari realitas surgawi, tapi pada kenyataanya mereka masih hidup di dunia. Konsekuensinya mereka harus terlibat dan ambil bagian membangun dunia. Selain itu, mereka juga harus berusaha agar dirinya tetap eksis di dunia.
Pengajar dan pemimpin agama tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang iman, mereka juga harus paham akan nilai-nilai ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, hukum, pendidikan, dll. Dengan keterampilan itu, pemimpin agama mampu menyikapi dan membantu umatnya menghadapi permasalahan kongrit dalam hidup mereka masing-masing. Pengajaran yang paling efektif bukanlah kata-kata indah, tetapi teladan yang hidup.
5. Mabuk Agama
Banyak diantara orang Indonesia mabuk agama dan menjadi kaum beriman yang buta. Menerima dan menelan seluruh ajaran agama tanpa mampu mengkritisinya. Seharusnya sebelum diendapkan di dalam hati, nilai-nilai itu harus dikunyah, direnungkan, dan ditelaah terlebih dahulu.
Menjadi kaya bukanlah sebuah dosa. Tidak ada dosa menjadi orang kaya. Bahkan banyak orang sampai belajar ke "Negeri Cina" demi memperoleh pekerjaan yang baik dan hidup yang sejahtera. Yang salah adalah melekat pada harta tersebut dan melupakan segala-galanya.
6. Menderita Demi Iman
Setiap agama mengajarkan keteguhan iman bagi setiap pemeluknya. Kesabaran dalam menghadapi penderitaan adalah baik dan luhur. Nilai ini memang baik sejauh dipahami dengan tepat. Menderita yang dimaksudkan bukanlah karena tidak berbuat apa-apa, tetapi demi menjunjung nilai-nilai kebenaran. Seseorang yang dikucilkan atau tidak naik jabatan karena mempertahankan nilai-nilai moral berbeda dengan mereka yang mati kelaparan karena tidak bekerja/ bersusaha serta menunggu belaskasihan orang lain.
Semoga setiap pemeluk agama menjadi seorang beriman yang bijak.
Penulis saat ini sedang menjalani program magister di Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas Medan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H