Mohon tunggu...
Saragih alam
Saragih alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Disela-sela liburan

Telah memperoleh S-1 Filsafat di Fakultas Filsafat Santo Thomas Medan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mendengar adalah Mahal, Semua Orang Ingin Berbicara dan Enggan untuk Mendengar

21 Oktober 2022   10:33 Diperbarui: 21 Oktober 2022   10:41 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Poto: WWW. dictio.id)

                                                                                                         

Pada awal tahun 2000-an adagium "diam itu emas" menjadi keyakinan banyak orang. Pribadi yang unggul diidentikan dengan mereka yang sedikit berbicara dan banyak berpikir. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi pergeseran makna. Diam tidak selamanya 'emas' dan bicara tidak selamanya 'kosong'. Kilauan emas yang dibungkus, tidak akan dapat dinikmati banyak pasang mata.

          1. Kebiasaan Baru yang Tidak Terbendung

Keyakinan itu, mendorong setiap orang dewasa ini untuk berani berkarya, berekspresi, dan menyatakan gagasan/ide. Disamping banyaknya hal positif yang timbulkannya, tanpa batas yang jelas, tumbuh kebiasaan baru yang sulit untuk dibendung. Semua orang ingin berbicara dan enggan untuk mendengar. Di negeri "08" ini, mendengar adalah barang mahal. Kualitas dan kemampuan kita untuk mendengar semakin buruk. Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah perilaku di sosial media.

          2. Indonesia Menjadi Warganet Paling Tidak Sopan

Menurut Microsoft, Indonesia dinyatakan sebagai warganet paling tidak sopan di Asia Tenggara. Servei ini melibatkan 16 ribu responden dari 32 negara. Akibatnya pada 18 Febuari 2020, postingan akun Microsof diserbu banyak netizen Indonesia. Kolom komentar pada beberapa postingan ditutup. Informasi 'keganasan' netizen Indonesia dicatatat oleh berbagai sumber di internet. "Ragam kasus netizen Indonesia serang akun luar negeri", "pemain liga Inggris, Juninho Bacuna jadi target serangan rasis", "puluhan ribu netizen Indonesia serang akun instagram AFF", adalah bukti 'ketidakramahan' netizen Indonesia.

Atmosfir dunia maya "Negeri Kolam Susu " ini penuh dengan hujatan dan caci maki. Kurangnya keinginan untuk mendengar, membuat penduduk negeri "Wakanda" ini kurang mampu memahami dan menganalisis suatu masalah. Semua ingin berkomentar dan berbicara tanpa terlebih dahulu memahami duduk perkara. Tak perlu kualitas isi, yang penting "omong". Jari jemari para netizen dengan mudahnya menari-nari di atas penderitaan orang lain. Dengan mendengar lebih banyak, kita dimampukan untuk meresapkan, mengolah, memahami, menganalisis, serta mengambil tindakan dan respon yang tepat.

          3. Dibutuhkan Kemampuan Mendengar yang Baik

Agar tercipta komunikasi yang baik, tidak hanya kualitas berbicara, tetapi  kemampuan mendengar juga sangat dibutuhkan. Untuk dapat merespon orang lain dengan baik, kita harus mampu memahami dan menyimak ide yang terselib dalam perkataannya. Minyimak dan memahami mengandaikan adanya pendengaran yang baik. Kurang mendengar berarti kurang memahami dan mengetahui. Tidak cukup hanya mendengar, tetapi harus mendengar dengan hati.

         4. Kekuatan Kata

Kata tidak hanya sekadar kumpulkan huruf, tetapi mengandung kekuatan. Kata-kata bagaikan sebuah pedang yang bermata dua. Dengan kata-kata kita dapat mendukung atau 'membunuh'. Sebelum melontarkan kata, setiap orang hendaknya menyadari dualisme yang ada dalam ucapannya. Dengan penuh kesadaran, manusia didorong untuk menggunakan diksi yang baik ketika berkomunikasi baik secara verbal maupun non-verbal, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

        5. Sopan santun Tata Krama

Manusia adalah social rasionale (mahluk sosial). Manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi ia selalu membutuhkan orang lain. Dalam hubungan degan orang lain, setiap manusia memilki tata krama dan sopan santun. Sopan santun perlu tetap dirawat demi terciptanya hubungan yang harmonis dan damai. Tata krama harus mendasari seluruh relasi antar sesama manusia.

       6. Kebebasan yang Terikat

Dari dalam dirinya, manusia memperoleh hak kebebasan. Patut disadari, kebebasan manusia tidak pernah sebebas-bebasnya. Kebebasan pribadi senantiasa berbenturan dengan kebebasan orang lain. Kebebasan manusia adalah kebebasan yang bertanggungjawab atau kebebasan yang terikat. Agar tidak terjadi benturan dan konflik, setiap orang harus menjaga dan bertanggungjawab atas kebebasannya.

Penulis saat ini sedang menjalani program minister di Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun