Cerita Pendek Sarabunis Mubarok ISTRI MUDA Bayangkan! Istriku memaksa aku untuk mencari istri muda. Gila! Benar-benar gila! Perempuan manapun di jagat ini tak akan ada yang mau dimadu. Yang mandul, yang sakit-sakitan, atau yang berwajah buruk sekalipun tak akan mau. Orang kurang waras saja bisa cemburu. Tapi istriku, oough, benar-benar aneh. Aku menikahinya karena ia cantik, seksi, cerdas, dan setia, bahkan sangat setia. Dia juga membuatku bahagia dengan dua anak dan bayi yang kini sedang dikandungnya. Bagiku dia sangat sempurna bahkan terlalu sempurna. Apalagi di ranjang, dia tiada duanya. Benar-benar fantastis. Terlalu banyak pertanyaan gentayangan di kepalaku. Membaur dengan belasan kecurigaan, dan sedikit sangsi. Mulanya aku mengira istriku hanya menguji sejauh mana kesetiaanku. Tapi istriku terus mendesak. Ini kali ke tiga ia memaksaku untuk mencari istri muda. Tanpa alasan, selalu tanpa alasan. Dan katanya ini bagian dari kesetiaan yang harus aku penuhi. Ia juga memintaku untuk tak diceraikan dan meminta untuk di madu. Itu saja. Ia memberiku pilihan. Gawat! Ia menawarkan gadis cantik pedagang susu yang bernama Susi yang sering lewat menawarkan dagangannya di depan rumahku. Ia juga menawarkan Aisah, gadis manis berkerudung anak Haji Bukhari yang sedang nyantri di Pondok Pesantren Al-Hikmah, bahkan ia juga menawarkanku seorang janda kembang yang bekerja di kantor kelurahan kami. Yang lebih parah, ia juga menawarkan adiknya untuk jadi istri keduaku. Aku terus menolaknya dengan alasan masih mencintai dia dan tidak mencintai mereka yang ia tawarkan. Lagi-lagi ia memberiku pilihan lebih banyak. Katanya ia sangat bahagia kalau aku menikahi temannya, Ratna, mahasiswi Fakultas Pertanian semester akhir di salah satu Perguruan Tinggi di Tasikmalaya. Atau Mira, gadis yang penyair, atau Andari, atau Widya, atau Hapsari, atau, atau, atau, terus saja ia mencarikanku banyak pilihan, persis seperti ia memilihkanku baju untuk lebaran. Selalu saja aku menolak dan membantingnya dengan pertanyaan mengapa dan apa alasannya. Ketika aku bertanya apa ia masih mencintaiku, ia selalu menjawab ya dan sangat bahagia hidup denganku. Aneh. Kini yang kupikirkan adalah diri sendiri. Aku mencoba memikirkan kesalahan apa yang telah kuperbuat kepadanya hingga ia punya permintaan segila itu. Memang aku pernah menyakitinya, ketika secara tak sengaja aku kepergok mengantar seorang gadis malam-malam sehabis pertunjukan di Gedung Kesenian. Aku tahu istriku cemburu, dan tak menghendaki tindakanku tersebut. Apalagi gadis yang kuantar itu bekas kekasihku dulu. Tapi itu bukan hal besar yang memungkinkan datangnya keinginan konyol itu. Kucari terus kesalahan-kesalahanku, tetap saja tak kutemukan kesalahan-kesalahan fatal selama hidup dengan istriku. Ya kecuali aku kurang serius dalam mencari nafkah, itu juga karena krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dan hal itu tetap membuat rumah tanggaku bisa disebut lancar-lancar saja. Bagaimanapun aku benar-benar mencintai istriku dan tak pernah berniat untuk mencari istri yang lain. Kini aku benar-benar bingung. Dan ternyata istriku telah menghubungi gadis-gadis dan janda-janda yang ia tawarkan kepadaku. Aku jadi malu bertemu mereka, dan kata istriku mereka tak keberatan untuk jadi istri keduaku. Aku tak percaya, tapi aku juga malu untuk menanyakannya langsung pada mereka. Dan setiap bertemu mereka, raut wajahnya seolah-olah menunggu keputusanku. Dan anehnya mengapa mereka bersedia, padahal masih banyak pemuda yang berwajah, berkelakuan dan berpenghasilan lebih baik daripadaku di kampung ini. Bahkan sepengetahuanku di antaranya ada yang sudah punya kekasih. Semua serba membingungkan, aku mulai menanam biji-biji kegelisahan. Segalanya jadi kacau. Sepertinya tak ada jalan keluar kecuali benar-benar menikah lagi. Semua kawanku malah mengucapkan selamat menempuh hidup baru dengan mimik yang menjengkelkan, dan menganggap masalahku ini hanya sesuatu yang enteng saja. Aku pernah meminta istriku untuk menangguhkan keinginannya itu, dan memberiku waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan baik-buruknya. Tapi ia mendesakku untuk melaksanakan pernikahan minggu ini juga. Aku hanya tinggal sebut gadis mana yang kumau. Aku terlalu sering mengatakan bahwa tak mencintai wanita lain selain dia. Aku bertambah bigung, apalagi istriku juga sudah mempersiapakan uang untuk biaya pernikahan aneh ini. Serba salah, aku takut dikemudian hari nanti istriku menyesal dan hal ini membawa bencana bagi rumah tanggaku. Tapi selalu saja istriku menjawabnya tidak, dan tak akan pernah terjadi. Anak-anakku, ya anak-anakku mungkin bisa memberi masukan baru dalam hal ini. Aku menggunakan anak-anakku untuk alasan penolakan pada keinginan istriku. Gila! Ternyata anak-anakku telah diprovokasi dengan membabi buta oleh istriku. Bayangkan Anakku yang sulung yang baru kelas tiga SD pun sudah begitu yakin kehadiran mama barunya itu akan membuatnya bahagia. Bahkan anakku yang kedua yang baru kelas nol besar itu, malah meminta mama baru sambil menangis merengek-rengek. Aneh. Aku kembali mencari-cari alasan supaya istriku mau menangguhkan keinginan konyolnya itu. Anehnya ia malah menangis dan mengatakan bahwa jika aku tak mau, ia memvonis, aku tak mencintainya dan ia tak akan mencintaiku lagi. Aku katakan ini pilihan yang terlalu sulit. Tapi ia ingin aku membuktikan cintaku padanya dengan mau menikah lagi sesuai keinginannya itu. Tapi aku tak bisa melakukannya dengan cara seperti ini. Terlalu dilematis. Istriku mendesak lagi, kali ini dengan pilihan ya atau cerai. Gila! Sungguh gila! Aku tak mau menyangka istriku sinting. Tapi ia seperti sinting. Aku tahu benar, istriku wanita pencemburu. Kini tiba-tiba minta dimadu. Aku tak mau bercerai, dan untuk menikah lagi juga tidak siap. Tapi istriku terus mendesak. Satu-persatu pikiran-pikiran anehpun mulai berkeliaran. Ada sedikit keinginan untuk mengikuti keinginan istriku, meskipun agak nekat, dan paling tidak aku tidak akan terlalu merasa bersalah. Meskipun terasa sinting, mengapa terlalu mudah jalan yang sebenarnya mungkin aku juga mau melakukannya kalau menikah dengan istri kedua itu terjadi secara alami. Bukan dengan restu yang berlebihan dan sangat memaksa seperti ini. Dan kini terbersit untuk tiba-tiba mencoba mengambil keputusan berpura-pura mau mengikuti keinginannya. Aku mau menikah lagi dengan harapan hanya ingin membuat istriku cemburu dan membatalkan keinginan anehnya itu. Ya, ini mungkin jalan keluarnya. Ternyata, ketika kukatakan aku bersedia menikah lagi, istriku kian serius. Ia gembira sekali dan kembali menawarkan gadis-gadis dan janda-janda yang menurutnya aku sukai. Bahkan istriku juga menetapkan lima belas hari kemudian tanggal pernikahanku. Gawat! Ini rupanya bukan jalan keluar. Gawat! Benar-benar gawat! Aku harus apa? Harus bagaimana? Haruskah…? Entahlah. Ada rasa yang aneh, mungkinkah aku memang mau menikah lagi. Aku didesak tentang siapa yang mau kunikahi. Dari semua gadis dan janda yang istriku tawarkan aku tak mau memilihnya. Aku punya pilihan sendiri, yaitu menikahi gadis tetangga yang sering main ke rumahku. Ia gadis baik, cantik dan rajin. Srimpi namanya. Lagi pula ia sudah sangat akrab dengan istriku. Aku meminta agar istriku membujuk dia untuk mau menikah denganku. Akh, mungkin dengan cara begini istriku mengendurkan semangatnya. Aneh! Benar-benar aneh. Istrikupun berhasil membujuk Srimpi untuk mau menikah denganku. Aku hanya pasrah. Pada saat begini, mengapa para gadis dan janda itu mendadak bersedia jadi istri mudaku. Dan anehnya istriku tak menunjukkan sedikitpun rasa sungkan menawarkannya padaku. Aku diam saja. Kubiarkan istriku mengurus segalanya. Apapun yang terjadi bagaimana nanti saja, pikirku. Di saat keadaanku sedang terombang-ambing dalam masalah konyol yang serius itu, tiba-tiba aku teringat ibu mertuaku. Ya, ini mungkin bisa jadi jalan keluar. Mungkin Ibu mertuaku bisa membujuk istriku untuk menghentikan niat anehnya. Setelah kutelpon, ibu mertuaku datang dan mencoba segala strategi untuk membujuk anaknya itu. Tapi aneh, ini juga tidak berhasil. Istriku tetap dengan keinginannya. Ibu mertuaku makin bingung. Ibu mertuaku sampai sempat menyuruhku untuk membawa anaknya itu ke psikiater. Tapi aku menolak dan memberinya pengertian, bahwa hal ini bukan masalah kejiwaan, tapi sebuah misteri yang harus dipecahkan. Tiba-tiba istriku membawa setumpuk contoh-contoh undangan perkawinan yang ia pesan dari percetakan. Ia juga membawa foto-foto desain tata ruang tempat pelaminan. Aku diam saja ketika istriku duduk di depanku. Ia mulai memili-milih desain kartu dan foto-foto yang bagus-bagus. Ia memberikan beberapa pilihan kartu-kartu yang elegan kepadaku. Aku hanya diam. Aku hanya menatapnya dengan perasaan yang aneh. Ia terlihat cantik sekali, rambutnya yang ikal terurai, mata beningnya yang indah, sebaris gigi yang putih rapih dan tumbuh terawat menghiasi tiap senyumannya yang hangat. Senyum yang dulu sering membuatku tak bisa tidur. Ia ceria sekali sore ini. Aku terus menatapnya. Kulitnya yang putih, tubuhnya yang indah. Akh, aku terlelap dalam gemuruh ombak yang berkejaran di hatiku. Semua kenangan masa muda muncul begitu saja. Segalanya jadi begitu indah. Aku terus menatap wajahnya. Istriku asyik saja memilih kartu-kartu undangan dan foto-foto perkawinan sambil berbicara tentang desain-desain terbaru. Ia juga mulai menawarkan desain baju pengantin yang indah-indah. Aku hanya diam dengan pikiran yang berloncatan. Ia kutatap terus dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya. Tiba-tiba, aku teringat kandungan istriku yang baru menginjak dua bulan. Aku terkejut. Jangan-jangan! Haahh.. Jangan-jangan bayi itu yang memintaku untuk menikah lagi, jangan-jangan, wah gawat!!, mungkinkah istriku ngidam segila ini. Aku kaget sekaligus tak percaya akan analisaku yang aneh ini. Benarkah ini? Gawat! Benar-benar gawat. Pernikahanku sudah di depan mata, aku harus bagaimana? Entahlah. Entah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H