Kata "kemajuan" sering kali dianggap sebagai sebuah langkah menuju sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Siapa sangka bahwa makna kemajuan ini tidak selamanya memiliki arti yang baik, tetapi justru sebaliknya kemajuan ini seolah berjalan bersama dengan kata antonimnya yaitu "kemunduran".
Kehadiran teknologi banyak merubah kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri juga bahwa kehadirannya telah memberikan manfaat bagi banyak orang.Â
Seperti sebuah obat, meskipun menyembuhkan tetapi jika salah-salah justru bisa meracuni tubuh kita. Begitu juga dengan teknologi yang kian hari semakin membuat pola fikir beberapa orang semakin mengalami kemunduran.
Dulu untuk mendapatkan sebuah informasi, seseorang perlu dan diharuskan membaca. Baik itu melalui buku, papan informasi, dsb. Jika dengan hal tersebut informasi tetap tidak bisa diperoleh, maka jalan lainnya yaitu bertanya pada pihak lain yang dianggap ahli dan memiliki informasi tersebut.
Saat ini informasi apapun bisa dengan mudah didapatkan melalui smartphone yang kita genggam. Bahkan untuk beberapa topik pembahasan yang sudah dianggap sebagai sebuah T.M.I (Too Much Information) pun bisa didapatkan dengan mudahnya.
Jika mencoba untuk melihat dua sisi, memang kemudahan mencari informasi ini seharusnya bisa membuat seseorang belajar dengan lebih mudah melalui berbagai informasi seperti artikel, jurnal, hingga portal data.Â
Namun, di sisi lainnya kemudahan ini membuat banyak dari kita terlena sehingga akhirnya justru memberikan dampak yang buruk bagi kehidupan.
Hal ini juga bahkan secara tidak langsung bisa merusak mental banyak generasi muda. Bagaimana tidak, dengan sekali klik saja mereka bisa mendapatkan jawaban akan pertanyaan mereka dengan begitu cepatnya.Â
Ditambah lagi dengan perputaran berbagai informasi melalui media lain seperti sosial media juga semakin perparah kondisi mentar anak muda zaman now.
Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.