Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi banyak merubah berbagai hal aspek dalam kehidupan manusia. Di mana banyak kebiasaan-kebiasaan yang semula dilakukan secara manual atau memerlukan banyak tahapan untuk mencapainya tetapi saat ini teknologi canggih telah membuatnya lebih mudah dan cepat.
Dulu kita hanya mengenal pasar, swalayan, hingga mall sebagai tempat untuk menemukan berbagai macam kebutuhan. Penekanan adanya transaksi jual-beli yang terjadi secara langsung menjadi sebuah ciri khas dalam aktivitas yang biasa dilakukan antara penjual dan kita sebagai pembelinya.
Namun, teknologi yang semakin maju menghadirkan sebuah fitur yang bernama e-commerce. Fitur ini mengubah kebiasaan tradisional dari aktivitas jual-beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat secara langsung menjadi aktivitas yang dapat dilakukan melalui media elektronik seperti internet, smartphone, komputer, tablet, dll serta tanpa harus bertemu secara fisik.
Tidak hanya memiliki kelebihan dari segi aksesibilitas yang lebih mudah saja, e-commerce juga menawarkan efisiensi waktu dan biaya yang semakin menarik untuk dipertimbangkan oleh masyarakat untuk beralih ke e-commerce sebagai media jual-beli.
Tidak mengherankan jika e-commerce yang juga termasuk ke dalam ranah ekonomi digital ini dapat dengan cepat tumbuh di Indonesia. Hasil riset Google, Temasek, dan Brain & Company pada tahun 2021 menjelaskan bahwa ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia diproyeksikan dapat meningkat hingga mencapai US$ 220 Miliar hingga US$ 360 miliar pada tahun 2030 mendatang. Hal ini dikarenakan tingkat penjualan di e-commerce yang terus meningkat dan dibarengi juga dengan masyarakat yang semakin melek akan teknologi.
E-commerce sendiri dapat dikatakan menjadi penyumbang terbesar dalam nilai ekonomi digital Indonesia. Misalnya saja pada tahun 2022 lalu, dari nilai ekonomi digital sebesar US$77 miliar sektor e-commerce menyumbang sekitar US$59 miliar atau sekitar 76,62%. Artinya, e-commerce memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan ekonomi digital di negeri ini.
Potensi besar ini yang kemudian menarik minat berbagai platform e-commerce asing untuk masuk ke Indonesia. Sebut saja e-commerce asal Singapura seperti Shopee dan Zalora hingga e-commerce asal China seperti Lazada, Blibli, dan JD.ID yang sudah lebih dulu melihat Indonesia sebagai pangsa pasar yang potensial.
Baru-baru ini e-commerce asal China yang bernama 'Temu' hadir di Indonesia. Tidak seperti e-commerce lainnya, Temu ini mendapatkan respon negatif dari masyarakat khususnya para pelaku bisnis. Sama halnya seperti kontroversi TikTok Shop beberapa waktu lalu, aplikasi Temu ini ternyata memiliki ancaman serupa dan bahkan jauh lebih berisiko bagi para pelaku bisnis UMKM.
Mengenal aplikasi "Temu"
Temu adalah sebuah platform e-commerce asal China yang diluncurkan pada tahun 2022 lalu dan merupakan bagian dari perusahaan Pinduoduo. Temu sendiri dikenal sebagai salah satu e-commerce yang menawarkan produk-produk dengan harga yang sangat murah kepada konsumen.
Bukan tanpa alasan, temu memanfaatkan model bisnis berbasis skala besar di mana dengan berfokus pada harga rendah yang mirip dengan konsep direct to consumer (D2C).
Konsumen dapat mendapatkan produk dengan harga pertama dari produsen langsung tanpa melalui perantara, sehingga hal ini yang membuat harganya akan jauh lebih murah dibandingkan di pasaran.
Selain menawarkan harga yang murah, Temu sering kali melakukan flash sale atau diskon besar-besaran hingga promosi secara intens seperti melalui iklan di berbagai platform social media. Strategi ini terbukti sukses menarik banyak minat konsumen di berbagai pasar global terutama Amerika Serikat.
Hal ini kemudian yang membuat aplikasi Temu dengan cepat melakukan ekspansinya ke berbagai pasar internasional khususnya daerah barat seperti Amerika, Kanada, Eropa, Hingga Australia. Tidak hanya itu, Temu juga sedang dalam tahap menjajaki pasar Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, hingga Filipina.
Menurut YipitData, pertumbuhan Temu dalam satu tahun saja menunjukkan angka yang sangat fantastis. Berdasarkan Gross Merchandize Volume (GMV), nilai penjualan temu pada tahun 2022 adalah US$ 290 juta, kemudian pada paruh pertama 2023 (Januari-Juni) nilainya naik hampir 10 kali lipat menjadi US$2,89 miliar, dan pada paruh kedua 2023 (juli-desember) nilainya melesat di angka US$12,26 miliar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa aplikasi Temu ini tumbuh secara cepat dan signifikan hanya dalam waktu satu tahun saja. Ini menunjukkan bahwa strategi serta ekspansi pasar yang dilakukan oleh Temu telah berhasil dan mungkin berpotensi dapat menjadi salah satu e-commerce terbesar di dunia.
Dilema pemerintah dan ancaman bagi para pelaku bisnis
Terdapat dua pandangan berbeda yang datang dari pemerintah Indonesia dalam menyikapi kehadiran aplikasi Temu di Indonesia. Pertama, datang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang merespon dan menegaskan bahwa aplikasi Temu telah diblokir karena dapat menjadi ancaman serius bagi para pelaku bisnis UMKM.
Selain itu, aplikasi temu juga ternyata tidak terdaftar sebagai Penyelengara Sistem Elektronik (PSE) di Indonesia. Sesuai regulasi, setiap aplikasi yang beroperasi Indonesia harus mendaftar sebagai PSE, maka dari itu Kominfo dengan cepat men-take Down aplikasi Temu ini karena tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
Namun, pandangan berbeda datang dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Di mana Kemendag membuka peluang bagi aplikasi temu untuk masuk ke Indonesia asalkan memenuhi persyaratan yang tertuang dalam Permendag Nomor 31 tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Seperti de javu, tentu kita pasti ingat kasus Tiktok Shop yang memiliki kontroversi serupa dan sempat diblokir. Melihat pola dilematis pemerintah dalam menanggapi kehadiran aplikasi Temu di Indonesia yang sama seperti TikTok Shop, maka secara tidak langsung juga kita akan diberi gambaran bagaimana akhir dari aplikasi Temu ini nantinya.
Ancaman kehadiran dari aplikasi Temu jauh lebih besar dibandingkan TikTok Shop. Bagaimana tidak, konsep direct to consumer (D2C) atau harga pertama langsung dari produsen tanpa perantara dapat berpotensi merusak ekosistem bisnis lokal maupun e-commerce yang ada. Sehingga bayang-bayang kerugian pastinya akan menghantui para pelaku bisnis di tanah air.
Di Eropa sendiri, kehadiran aplikasi Temu juga menuai berbagai kontroversi. Bukan hanya soal harganya yang murah saja, aplikasi Temu diduga menggunakan teknik manipulatif untuk membuat pengguna belanja terus-terusan serta melakukan pelanggaran lain seperti menjual barang-barang ilegal.
Oleh karena itu, melihat berbagai resiko yang dihasilkan dari hadirnya aplikasi temu di Indonesia, harapannya pemerintah bisa bertindak lebih tegas lagi.Â
Jangan sampai keputusan yang dibuat hanya sebatas gertak sambal belaka saja, karena potensi kerugian dari hadirnya aplikasi temu ini diproyeksikan dapat mengganggu jutaan pelaku bisnis UMKM tanah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H