Perekonomian yang tidak menentu pasca pandemi Covid-19 membuat banyak orang yang mengalami permasalahan keuangan. Mulai dari berhenti bekerja hingga berbagai bisnis yang bangkrut, membuat kondisi ekonomi sampai hari ini terbilang masih belum membaik meskipun wabah penyakit yang melanda dunia ini sudah lama menghilang.
Dari permasalahan ini juga seolah membuat masyarakat terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Banyak dari mereka yang akhirnya terjerat hutang pinjaman online, mengenal permainan judi online dengan harapan mendapatkan uang secara instan, atau bagi mereka yang tidak ada berada di situasi keduanya tetapi merasa khawatir akan masa depannya.
Kekhawatiran terhadap situasi ekonomi yang tidak pasti memang secara tidak langsung mendorong siapa pun berpikir untuk mendapatkan sejumlah uang dalam waktu yang cepat. Maka tidak mengherankan jika pengguna aplikasi pinjol maupun judol meningkat secara signifikan pada saat pandemic covid-19 bahkan hingga saat ini.
Namun, ada sebuah anomali di mana ketika seseorang khawatir akan masa depannnya tetapi justru semakin konsumtif. Awalnya bermula saat berbelanja dianggap sebagai sebuah "terapi stres" namun seiiring berjalannya waktu hal ini semakin parah karena rasa khawatir itu kemudian berganti menjadi pasrah dan menyerah akan masa depannya.
Dari retail therapy ke doom spendingÂ
Konsep retail therapy ini sebenarnya sudah lama digunakan untuk menggambarkan usaha seseorang dalam memenuhi kepuasannya secara instan ketika dalam kondisi sedih, cemas, hingga stres melalui pembelian barang-barang yang pada dasarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Secara sederhana, retail therapy ini dianggap sebagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan atau sebuah kontrol perasaan ketika dihadapkan pada situasi yang membuat seseorang merasa tertekan. Namun, secara dampak biasanya akan lebih ringan karena aktivitas ini hanya dilakukan sesekali dan tidak berlanjut secara berkepanjangan.
Tetapi kita perlu mewaspadai juga bahwa jangan sampai kondisi emosional ini berlanjut dan akan menjebloskan kita pada lingkaran setan "doom spending". Doom spending terjadi ketika seseorang merasa putus asa akan masa depannya terutama dalam menghadapi krisis keuangan, sosial, maupun global.
Doom spending sendiri secara pengertian hampir sama dengan retail therapy, di mana istilah yang mengacu pada sebuah kebiasaan seseorang dalam aktivitas pengeluaran atau belanja yang secara implulsif sebagai respon dari stres, cemas, hingga putus asa.
Yang perlu digarisbawahi adalah doom spending biasanya terjadi selama periode krisis dan persepsi ketidakpastian akan masa depan, sehingga secara jangka waktu biasanya berkesimambungan (jangka panjang). Berbeda dengan retail therapy yang dilakukan hanya sesekali (jangka pedek) dan setelah itu kembali berfokus menghadapi permasalahan yang terjadi.
Sebelum memasuki fase doom spending, seseorang mungkin akan menganggap bahwa berbelanja merupakan bagian dari pelarian sesaat saja. Namun, justru ini bisa menjadi jebakan psikologis bagi mereka yang pada akhirnya menemui jurang kepasrahan akan masa depannya sebagai akibat krisis keuangan yang terjadi kepada dirinya.
Perasaan ini kemudian berubah menjadi sebuah perangkap. Perasaan yang tidak terkontrol, persepsi akan kepuasaan jangka pendek, dan apabila ini dilakukan secara terus menerus baik secara frekuensi maupun kuantitas, maka kemungkinan seseorang untuk terjebak dalam doom spending akan semakin lebih besa lagi.
Doom spending di era saat ini
Doom spending yang terjadi saat ini bukan lagi dilandasi oleh cemas, stres, atau putus asa akan masa depannya akibat dari krisis keuangan yang terjadi, tetapi mereka yang terjebak dalam lingkaran setan doom spending ini justru disebabkan oleh ketidakmampuan memenuhi gaya hidup dan pengaruh sosial media.
Yang paling memprihatinkan adalah mereka yang terjebak doom spending ini datang dari generasi muda Gen Z. Khususnya mereka yang tidak memiliki dasar pendidikan dalam mengelola keuangan yang baik sehingga akhirnya terperosok dalam jurang malapetaka ini.
Kurangnya literasi soal pengelolaan keuangan yang ditambah dengan ketidakpastian ekonomi hingga biaya hidup yang terus meningkat, semakin memperbesar kemungkinan generasi muda ini untuk terjebak dalam doom spending.
Berangkat dari permasalahan-permasahan tersebut, banyak anak muda yang memilih untuk mengeluarkan pendapatannya tanpa terkendali dengan berbelanja barang-barang mewah atau yang tidak terlalu dibutuhkan dibandingkan harus menghadapi berbagai permasalahan tersebut.
Apalagi anak muda dekat dengan istilah YOLO (you only live once), membuat banyak dari mereka yang merasa bahwa tidak perlu untuk memikirkan masa depan yang dianggapnya tidak pasti dan lebih baik menggunakan pendapatan yang ada untuk kesenangan yang sebenernya hanya sementara namun memiliki dampak yang besar di masa yang akan datang.
Kemunculan sosial media seperti TikTok juga semakin memperparah kondisi doom spending ini. Kehadirannya secara tidak langsung merubah perilaku konsumen secara dramatis. Banyak anak muda seringkali terdorong untuk belanja secara impulsif karena berbagai tren yang sering mereka temui di platform social media tersebut.
Dalam jangka panjang, penggunaan sosial media di kalangan anak muda dapat memunculkan perasaan tidak mampu, mendorong seseorang untuk menghabiskan uangnya dalam usaha untuk mengikuti tren terkini, dan yang terparah lagi bisa memunculkan efek FOMO (fear of missing out).
Sehingga isu doom spending di era saat ini lebih mengerikan dari yang apa dibayangkan. Kurangnya literasi pengelolaan keuangan, konsumerisme, dampak sosial media, membuat para anak muda yang secara pendapatan tidak besar harus terjerat dalam doom spending karena alasan untuk memenuhi gaya hidup dan tren dalam tatanan kehidupan sosial.
Apa yang harus dilakukan untuk menghindari doom spending?
Di era kemajuan teknologi seharusnya membuat mereka anak muda bisa lebih mudah untuk mengakses berbagai informasi. Maka, dengan belajar cara mengelola keuangan yang baik dan benar bisa sedikit meminimalisir kemungkinan mereka untuk terjebak dalam doom spending.
Ketika seseorang sudah tahu bagaimana cara mengelola pendapatannya, individu dapat terdorong untuk bertanggung jawab atas apa yang ia belanjakan. Misalnya, membuat anggaran budget bulanan dan merencanakan porsi-porsi dalam keuangannya.
Meskipun dihadapkan oleh berbagai permasalahan ekonomi yang terjadi tetapi seseorang yang memiliki kebiasaan mengelola keuangan yang baik dan terencana, akan lebih terhindar dari stres yang diakibatkan oleh tekanan bekerja, gaya hidup, atau kelangsungan hidup di masa depan. Karena bagi mereka, untuk mencapai kesejahteraan finansial memang memiliki proses untuk meraihnya.
Selain itu, menanamkan pemahaman bahwa kita tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi keinganan lingkungan sosial yang digambarkan melalui tren juga hal yang perlu diperhatikan. Artinya, perlu untuk berlatih mengontrol diri bahwa kita bebas dan mandiri untuk memilih di dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat dan memastikan tidak dikendalikan olehnya.
Dalam upaya untuk menghindari dampak negatif dari sosial media ini, kita bisa mencari berbagai kegiatan yang lebih produktif, bermanfaat, dan menyenangkan. Misalnya, bisa dengan berolahraga, pergi ke perpustakaan kota, bergabung dengan kegiatan komunitas, membaca dan menulis, dsb.
Perlu diingat bahwa konsep doom spending adalah membeli berbagai jenis barang tertentu sebagai bentuk untuk menyenangkan diri. Sehingga kita harus mencoba mengganti persepsi ini dengan pemikiran "bijaklah dalam mengeluarkan uang".Â
Bukan lagi soal menghadapi masa depan yang tidak pasti, tetapi berjalan di masa sekarang agar bisa menghadapi apa yang ada di masa yang akan datang kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H