Sebelum memasuki fase doom spending, seseorang mungkin akan menganggap bahwa berbelanja merupakan bagian dari pelarian sesaat saja. Namun, justru ini bisa menjadi jebakan psikologis bagi mereka yang pada akhirnya menemui jurang kepasrahan akan masa depannya sebagai akibat krisis keuangan yang terjadi kepada dirinya.
Perasaan ini kemudian berubah menjadi sebuah perangkap. Perasaan yang tidak terkontrol, persepsi akan kepuasaan jangka pendek, dan apabila ini dilakukan secara terus menerus baik secara frekuensi maupun kuantitas, maka kemungkinan seseorang untuk terjebak dalam doom spending akan semakin lebih besa lagi.
Doom spending di era saat ini
Doom spending yang terjadi saat ini bukan lagi dilandasi oleh cemas, stres, atau putus asa akan masa depannya akibat dari krisis keuangan yang terjadi, tetapi mereka yang terjebak dalam lingkaran setan doom spending ini justru disebabkan oleh ketidakmampuan memenuhi gaya hidup dan pengaruh sosial media.
Yang paling memprihatinkan adalah mereka yang terjebak doom spending ini datang dari generasi muda Gen Z. Khususnya mereka yang tidak memiliki dasar pendidikan dalam mengelola keuangan yang baik sehingga akhirnya terperosok dalam jurang malapetaka ini.
Kurangnya literasi soal pengelolaan keuangan yang ditambah dengan ketidakpastian ekonomi hingga biaya hidup yang terus meningkat, semakin memperbesar kemungkinan generasi muda ini untuk terjebak dalam doom spending.
Berangkat dari permasalahan-permasahan tersebut, banyak anak muda yang memilih untuk mengeluarkan pendapatannya tanpa terkendali dengan berbelanja barang-barang mewah atau yang tidak terlalu dibutuhkan dibandingkan harus menghadapi berbagai permasalahan tersebut.
Apalagi anak muda dekat dengan istilah YOLO (you only live once), membuat banyak dari mereka yang merasa bahwa tidak perlu untuk memikirkan masa depan yang dianggapnya tidak pasti dan lebih baik menggunakan pendapatan yang ada untuk kesenangan yang sebenernya hanya sementara namun memiliki dampak yang besar di masa yang akan datang.
Kemunculan sosial media seperti TikTok juga semakin memperparah kondisi doom spending ini. Kehadirannya secara tidak langsung merubah perilaku konsumen secara dramatis. Banyak anak muda seringkali terdorong untuk belanja secara impulsif karena berbagai tren yang sering mereka temui di platform social media tersebut.
Dalam jangka panjang, penggunaan sosial media di kalangan anak muda dapat memunculkan perasaan tidak mampu, mendorong seseorang untuk menghabiskan uangnya dalam usaha untuk mengikuti tren terkini, dan yang terparah lagi bisa memunculkan efek FOMO (fear of missing out).
Sehingga isu doom spending di era saat ini lebih mengerikan dari yang apa dibayangkan. Kurangnya literasi pengelolaan keuangan, konsumerisme, dampak sosial media, membuat para anak muda yang secara pendapatan tidak besar harus terjerat dalam doom spending karena alasan untuk memenuhi gaya hidup dan tren dalam tatanan kehidupan sosial.