Terlepas dari pencapaian ini, kemudian tidak membuat Chili dalam kondisi yang "baik-baik saja". Justru sebaliknya, Chili menjadi negara dengan ketimpangan (pendapatan dan kesejahteraan) terparah jika menggunakan standar ketimpangan di Amerika latin. Sehingga ini yang pada akhirnya membuat "keajaiban" Chili dalam perkembangan ekonominya dianggap sebagai paradoks belaka.
Albert Hirschman, seorang ekonom Jerman-Amerika menjelaskan lebih lanjut tentang Chilean Paradox tersebut. Di mana dalam model ini, masyarakat di negara seperti Chili yang mengalami perkembangan ekonomi yang pesat biasanya akan menjadi "toleran" dengan ketimpangan pendatan, dan berharap ketimbangan tersebut akan turun atau menghilang di kemudian hari.
Jadi, meskipun pertumbuhan ekonomi Chili meningkat tetapi kesejahteraan masyarakat tidak merata, dan banyak dari mereka yang masih tertinggal terutama dalam hal akses pendidikan, kesehatan, fasilitas umum yang memadai, dan kesempatan ekonomi yang adil.Â
Ini yang kemudian disebut dengan sebuah paradoks, karena biasanya pertumbuhan ekonomi yang kuat justru akan sejalan dengan menurunnya ketimpangan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Hingga akhirnya ketidakpuasan masyarakat Chili mencapai puncaknya yaitu pada Oktober tahun 2019 ketika demonstrasi besar-besaran terjadi yang dipicu oleh kenaikan harga tiket metro di Santiag. Kemudian protes ini terus meluas lagi dan mengacu pada isu lainnya seperti ketidaksetaraan struktural.
Di mana kebijakan pemerintah Chili pada saat itu hanya menyasar pada masyarakat ekonomi kelas bawah dan tidak memperhatikan mereka yang berada di kelas menengah. Dari sini kemudian mereka yang ada di kelas menengah terjebak oleh beban pendidikan dan kesehatan sebagai akibat dari kurangnya perhatian pemerintah dalam memenuhi kebutuhan akses terhadap kedua sektor tersebut.
Fenomena yang terjadi di Chili ini menunjukkan bahwa bagimana pertumbuhan ekonomi yang stabil pun tidak cukup untuk menjamin stabilitas sosial masyarakat jika semua ini tidak diikuti dengan kebijakan redistribusi yang lebih adil.
Jejak Chilean Paradox di Indonesia
Indonesia terus menghadapi badai perekonomian yang terjadi silih berganti. Berbagai macam permasalahan terus muncul dalam tatanan sosio-ekonomi masyarakat yang akhirnya berdampak pada berbagai aktivitas baik itu secara individu, kelompok, hingga korporasi besar sekali pun.
Namun yang paling merasakan dampaknya ialah mereka yang kerap kali dianggap "mampu" menghadapi berbagai badai permasalahan ini. Masyarakat kelas menengah seringkali dipandang sebagai kelompok yang tidak perlu 'bantuan' maupun 'perhatian' yang sama seperti kelas-kelas lainnya.
Padahal mereka yang berada di kelas ekonomi menengah merupakan penopang stabilitas ekonomi. Tak jarang kondisi kesejahteraan ekonomi kelas menangah bahkan dianggap sebagai indikator stabilitas dan kesejahteraan ekonomi suatu negara.