Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Persepsi Novel sebagai Buku Bacaan "Tidak Penting" di Era Digital yang Minim Literasi

1 Agustus 2024   14:51 Diperbarui: 2 Agustus 2024   10:51 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dapat dipungkiri kemajuan teknologi memang memberikan berbagai kemudahan dalam aspek kehidupan manusia. Namun, tak sedikit juga dari kemudahan tersebut justru dapat menghasilkan dampak negatif khususnya dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Apalagi kita berada di zaman era digital yang memungkinkan semua aktivitas sehari-hari dapat dikemas dalam satu perangkat gadget saja. Dari sisi aksesibilitas memang kita menemukan kemudahan, tetapi terkadang kita melupakan hal-hal penting pada fase sebelumnya karena menganggap kemudahan yang didapat saat ini adalah sebuah solusi.

Pernakah mendengar istilah dari "buku adalah jendela ilmu" atau "buku adalah jendela dunia"? mungkin istilah ini hampir jarang kita dengar di zaman sekarang. Ini terjadi karena perkembangan teknologi membuat masyarakat lebih dekat dan mengenal mbah google dibandingkan buku bacaan.

Jika berbicara benar atau salah, kondisi ini masih menuai pro dan kontra karena baik buku maupun google sama-sama menjadi sumber untuk mencari informasi. Yang kemudian menjadi sebuah permasalahan adalah bagaimana kemampuan literasi seseorang dalam memaknai dua fenomena ini.

Dalam dunia literasi sendiri, lingkungan masyarakat memiliki stigmanya yang cukup kuat. Khususnya anggapan bahwa esensi membaca buku itu identik dan hanya ditemukaan dalam buku bacaan keilmuan, sehingga persepsi di luar itu dianggap sesuatu hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat bagi kehidupan.

Bahkan situasi ini mungkin sudah ada sebelum di era digital yang menjadi salah satu penyebab utama menurunnya minat literasi masyarakat. Sebut saja novel, persepsi masyarakat terhadap buku ini beragam namun memiliki kesimpulan akhir yang sama yaitu "bacaan tidak penting".

Mungkin ada dari kita yang pernah berada di posisi gemar membaca buku novel namun terbentur oleh persepsi orang tua terhadap buku ini. Apalagi jika berada pada rentang umur sekolah, hal ini semakin membuat posisi novel menjadi buku bacaan tidak penting karena dianggap bisa menganggu proses belajar.

Tidak terlalu mengherankan, karena sejak abad ke-18 buku keilmuan memang sudah dianggap penting karena menekankan ilmu pengetahuan dan rasionalitasnya. 

Sehingga pada saat itu baik dalam institusi pendidikan maupun kehidupan masyarakat, buku keilmuan seperti sains, filsafat, hingga teknologi menjadi sumber keilmuan utama yang digunakan dalam berbagai profesi maupun dalam kehidupan sehari-hari karena memiliki aplikasi praktis yang jelas.

Berbeda dengan buku-buku fiksi seperti novel yang sering kali dikategorikan sebagai hiburan belaka sehingga ketika seseorang membacanya maka itu merupakan kegiatan yang kurang serius dibandingkan membaca buku keilmuan.

Hal ini juga yang kemudian seolah melahirkan persepsi masyarakat terhadap pembaca buku fiksi seperti novel seperti; bentuk escapism atau pelarian dari realitas. Memang situasi ini tidak bisa dihindari karena pada saat itu buku keilmuan memang menjadi sumber utama yang berguna bagi kehidupan masyarakat.

Yang mengejutkan adalah di era kemajuan teknologi saat ini, stigma terhadap novel sebagai buku bacaan tidak penting pun tetap ada dalam masyarakat. Cukup disayangkan karena di saat banyak orang yang mulai tidak tertarik dengan membaca buku, mereka yang gemar membaca novel masih mendapat respon sinis dalam lingkungannya.

Perpustakaan Nasional Indonesia (Perpusnas)
Perpustakaan Nasional Indonesia (Perpusnas)

Menurut survey yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas), dalam lima tahun terakhir tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan yang berarti. 

Meskipun angka indeks TGM yang diraih masih dalam kategori sedang, namun peningkatan yang terjadi memunculkan potensi semakin banyaknya masyarakat yang gemar membaca.

Sebenernya fakta ini menunjukkan bahwa kita perlu menjaga kebiasaan kegemaran membaca ini. Namun, data ini tidak sejalan dengan kenyataan yang ada ketika membaca buku kemudia dibatasi dengan "penting atau tidaknya" buku tersebut.

Misalnya persepsi bahwa membaca buku yang benar itu harus buku keilmuaan, selanjutnya pertanyaan yang muncul adalah 'apakah semua orang bisa dengan mudah gemar membaca buku keilmuan?'. 

Semua bisa karena terbiasa, namun untuk menciptakan kebiasaan itu maka seseorang perlu menemukan apa yang mereka sukai sehingga akhirnya menjadi sebuah kegemaran itu sendiri.

Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto dalam acara Bandung Readers Festival yang diselenggarakan pada tahun 2020 lalu, menjelaskan lebih lanjut tentang aspek formatif dalam membaca khususnya tentang mengapa membaca buku itu penting untuk menjadikan kita sebagai manusia yang lebih berkualitas dan lebih baik lagi.

Dalam pembahasannya, ia menjelaskan beberapa poin alasan dibalik itu semua, namun yang menarik adalah poin tentang "memperdalam cara pandang/pemahaman, dan memperluas imajinasi". Kemudian dalam pemaparan selanjutnya dibuka dengan sebuah diskusi tentang pro dan kontra masyarakat terhadap novel.

Lebih lanjut lagi Prof.Bambang menjelaskan bahwa novel merupakan rekaman jatuh bangunnya manusia, rekaman kerumitan emosi dan imajinasi, sementara buku pelajaraan atau keilmuan itu berisikan pengetahuan yang bersifat universal.

Namun pentingnya novel justru karena ini merupakan tulisan individual/personal, dan ini menjadi penting karena hidup itu bukan hanya sesederhana ilmu pengetahuan dan sains saja. 

Hidup itu rumit karena setiap orang mempersepsikannya melalui pengalaman pribadinya. Sehingga dengan membaca novel, artinya kita akan masuk dan menyelami aneka bentuk kehidupan yang sebetulnya pelik.

Misalnya dari novel tersebut kita bisa tau apa yang membuat seseorang itu menderita, terluka, termotivasi, berjuang, atau hidup macam apa membuatnya bahagia, dengan cara ini maka empati kita terhadap kemanusiaan ditumbuhkan dan diperdalam. 

Oleh karena itu, novel bukan hanya sebagai hiburan semata saja tetapi memiliki efek mendalam yang luar biasa dalam membentuk kualitas diri seseorang.

Sebenarnya dalam hal kegemaran membaca buku ini sebaiknya tidak perlu diberikan batasan soal jenis atau bahkan penting atau tidaknya buku tersebut. Karena dengan membaca buku, baik itu buku keilmuan maupun buku fiksi seperti novel, maka sejatinya seseorang sedang mempertajam pola pikirnya terhadap suatu hal.

Mungkin dengan membaca buku keilmuan seseorang bisa mempertajam pengathuannya terhadap sesuatu. Begitu juga dengan novel, dengan membacanya mungkin seseorang juga bisa mempertajam empati dan emosinya terhadap kehidupan. 

Sehingga dengan membaca kedua jenis buku ini baik buku keilmuan maupun novel, artinya kita sama-sama dapat 'menggali' sesuatu hal yang berguna bagi kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun