Jika diibaratkan seorang pencuri yang melakukan aksinya dengan alasan terdesak, maka alasan tersebut tidak membuat bobot dari kesalahan itu menjadi berkurang atau bahkan hilang karena perbuatan salah teteplah menjadi salah. Sehingga tidak mengejutkan jika kita sering melihat banyak masyarakat yang menormalisasikan perbuatan tercela dengan berbagai alasan tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa kehadiran layanan joki ini sudah menjadi sebuah "penyakit" dalam dunia pendidikan negeri ini. Dan para pengguna jasa joki sudah dengan jelas melanggar prinsip kejujuran dan intergiras akademik.
Hal ini juga bisa termasuk bentuk penipuan dalam sistem pendidikan dan dapat merugikan para pelajar, mahasiswa, dosen, atau bahkan guru besar yang sudah bekerja keras untuk meraih prestasi mereka dalam dunia akademik.
Jika hal ini terus dinormalisasi oleh masyarakat, tentunya dapat menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Hilangnya kepercayaan terhadap insitusi pendidikan hingga bahkan dapat menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan di negeri ini.
Praktik penyedia dan pengguna jasa joki ini akan secara perlahan merusak moral bangsa tentang kejujuran. Bisa kita bayangkan jika negeri ini di bangun oleh mereka yang bahkan dalam menjalankan pendidikannya saja tidak jujur.Â
Untuk pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), ini adalah PR penting yang perlu dikaji lebih dalam.Â
Mungkin akan sulit untuk membasmi praktik joki ini secara menyeluruh tetapi dengan niat dan keseriusan pemerintah dalam melihat permasalahan ini, harapannya praktik perbuatan tercela ini bisa hilang secara perlahan hingga sampai ke akarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H