Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pesona Desa Wisata Penglipuran Bali: Harmonisasi Antara Budaya dan Lingkungan Berkelanjutan

22 Juli 2024   17:39 Diperbarui: 23 Juli 2024   13:00 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak di Desa Penglipuran, Bali ( Shutterstock/Reca Ence AR)

Desa Wisata Penglipuran Bangli (Bali Pos)
Desa Wisata Penglipuran Bangli (Bali Pos)

Menilik Pesona Desa Wisata Penglipuran

Bali sejak dulu dikenal menyimpan banyak sekali keindahan bentang alamnya. Provinsi yang mayoritasnya beragama Hindu ini selalu menjadi destinasi favorit baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Meskipun animo wisatawan sangat besar untuk berwisata ke Pulau Bali, namun tidak membuat masyarakatnya tergoda akan pengaruh budaya dari luar yang bisa saja perlahan-lahan dapat menghilangkan budaya dan tradisi lokal setempat.

Dengan pegangan yang kuat inilah menjadikan banyak desa-desa tradisional di bali yang masih bertahan dengan keasrian dan kekentalan budayanya yang bahkan banyak menyabet berbagai penghargaan baik nasional maupun internasional.

Salah satunya adalah Desa Penglipuran, salah satu desa adat yang terletak di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Desa yang terletak kurang lebih 45 kilometer dari pusat Kota Denpasar ini memiliki luas mencapai 112 hektar dan dihuni oleh 245 KK dengan jumlah penduduk berkisar 1.100 orang lebih.

Melansir dari laman Dinas Pariwsata dan Kebudayaan Kabupaten bangli, Provinsi Bali, Desa Wisata Penglipuran ternyata sudah ada sejak zaman kerjaan Bangli atau sejak abad ke-13. Konon pada waktu itu, para leluhur awalnya datang dari Desa Bayung Gede, kemudian menetap di darah yang kini disebut sebagai Desa Penglipuran.

Nama 'Penglipuran' sendiri diambil dari kata 'Pengeling Lara', yang memiliki makna sebagai tempat suci untuk mengenang para leluhur. Dan selama ratusan tahun lamanya, Desa Penglipuran telah menjaga adat istiadat nenek moyang secara turun temurun. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menjadikan Desa Penglipuran sebagai desa adat dan wisata sejak tahun 1993.

Hingga saat ini, masyarakat setempat masih melestarikan adat istiadat yang berlaku secara turun-temurun, di mana desa adat ini memiliki aturan yang berlaku yang secara khusus diterapkan di desa tersebut. Aturan tersebut dikenal dengan sebutan 'awig-awig' yang merupakan implemntasi dari filosofi hidup "Tri Hita Karana".

Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali | Foto: kbatur.com
Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali | Foto: kbatur.com

Tri Hira Karana sendiri berkaitan dengan Parahyangan (hubungan antara manusia dan Tuhan), Pawongan (Hubungan antara manusia dan manusia), dan Palemahan (hubungan antara manusia dan lingkungan). Ketiga bagian filosofi ini juga kemudian yang menjadikan Desa Penglipuran menjadi desa adat yang kental akan nilai-nilai dari terciptanya sebuah 'kebahagiaan'.

Desa penglipuran juga terkenal akan tata ruangnya yang unik. Di mana rumah-rumah yang masih menggunakan gaya arsitektur tradisional khas yang diatur secara adat dan terbagi menjadi tiga bagian utama atau yang biasa disebut dengan "Tri Mandala" yaitu tempat suci (Mandala), pemukiman warga yang berjajar di sepanjang jalan utama desa (Madya Mandala), dan area perkubukuran dari masyarakat (Nista Mandala).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun