"Another day, another controversy". Mungkin ini suatu ungkapan yang cocok untuk pemerintah kita. Setiap harinya selalu menghadirkan berbagai kebijakan kontroversial yang menarik perhatian banyak masyarakat maupun warganet yang ada di sosial media.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menyebutkan bahwa angka kelahiran di Indonesia cukup mengkhawatirkan karena terus mengalami penurunan secara signifikan. Sehingga saat ini pemerintah sedang berupaya agar dapat menjaga populasi pertumbuhan penduduk yang ideal.
Badan Pusat Statistik (BPS) melalui survery penduduk memaparkan angka kelahiran total (TFR) di Indonesia menjelaskan bahwa pada SP1990 hingga SP2020 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan namun masih menunjukkan dalam taraf yang ideal (2,1).
Namun yang menjadi sorotan adalah ketika hasil SP2020 menunjukkan terdapat beberapa daerah yang menunjukkan nilai angka kelahiran dibawah dari standar ideal (2,1). Misalnya angka kelahiran pulau Jawa-Bali (kecuali Jawa Barat) yang terus mengalami penurunan dan bahkan memiliki angka TFR dibawah dari standar ideal.
Tiga provinsi dengan angka TFR terendah yaitu DKI Jakarta (1,75), Yogyakarta (1,89), dan Jawa Timur (1,98). Sehingga angka yang dibawah standar ideal (2,1) ini menunjukkan adanya kecendrungan terjadi penurunan populasi dalam jangka panjang jika terus dibiarkan.
Angka TFR yang rendah dan dibawah standar ideal, dalam jangka panjang akan menyebabkan berbagai permasalahan. Mulai dari penurunan populasi, penuaan populasi, pergeseran struktur sosial, hingga dampak ekonomi yang kemudian secara keseluruhan semua tersebut akan berdampak pada perubahan  dan penyesuaian kebijakan baru.
Menanggapi permasalahan tersebut, kepala BKKBN RI Hasto Wardoyo menghimbau kepada masyarakat khususnya setiap pasangan/keluarga agar setidaknya dapat melahirkan satu anak perempuan. Hal ini bertujuan untuk menjaga populasi dan pertumbuhan penduduk yang ingin dicapai oleh pemerintah.
Himbauan tersebut kemudian menarik banyak sorotan dan kecaman warganet di sosial media X. Bukan tanpa alasan, himbauan tersebut dirasa terlalu menganggap perempuan sebagai "pabrik" pembuat anak, namun pemerintah sendiri tidak memberikan solusi kebijakan yang mampu mendukung pertumbuhan populasi yang ideal.
Menjaga pertumbuhan angka kelahiran di Indonesia
Jika berbicara mengenai angka kelahiran, kita bukan lagi akan membicarakan soal perempuan yang mengambil peran penting dalam melahirkan anak saja, tetapi terdapat berbagai permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut terkait hal tersebut.
Misalnya, angka kelahiran/TFR yang bukan hanya berhubungan dengan pasangan yang sudah menikah saja tetapi masyarakat dengan rentang umur tertentu yang banyak memutuskan untuk menunda atau bahkan tidak menikah karena berbagai alasan tertentu.
Angka pernikahan di Indonesia terus menurun dalam 5 tahun terakhir. Terlihat pada tahun 2023, jumlah pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang cukup drastis hingga sekitar 128 ribu.Â
Tentu ini akan berdampak besar juga pada angka kelahiran nantinya. Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji lebih lanjut tentang apa yang menyebabkan masyarakatnya menunda atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah.
Bisa berasal dari permasalahan upah kerja yang tidak selaras dengan biaya hidup sehari-hari, biaya pendidikan yang terus meningkat, harga properti dan sewa yang tinggi, hingga kebijakan yang mendukung seseorang/pasangan yang memiliki anak dalam dunia kerja. Sehingga ini semua dapat mempengaruhi kepetusan seseorang untuk menikah atau tidaknya.
Selain itu, tantangan terbesar pemerintah selanjutnya dalam menghadapi angka TFR yang rendah ini adalah bagaimana pemerintah belum bisa memberikan jaminan dan benefit bagi masyarakat yang berkontibusi dalam menjaga pertumbuhan populasi ini.
Contoh paling sederhana adalah jaminan kesehatan. Memang kita memiliki BPJS sebagai jaminan kesehatan, namun disini kita tetap harus membayar iuran untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Kalau pun ada jaminan kesehatan gratis, itu hanya di peruntukan untuk masyarakat miskin dan kenyataannya masih belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
Sementara negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang yang menghadapi permasalahan serupa memberikan berbagai benefit dan jaminan bagi "seluruh" masyarakatnya tanpa memandang kelas ekonomi. Jaminan kesehatan ini meliputi tunjangan kelahiran baik sebelum dan setelah melahirkan, hingga tunjangan anak yang bertujuan untuk mendukung tumbuh kembangnya.
Tidak hanya soal jaminan kesehatan saja, kedua negara tersebut memberikan insensif keuangan untuk mendukung kelahiran setiap anak.Â
Selain itu, ketika anak lahir terdapat kebijakan untuk keluarga dalam pekerjaannya seperti cuti melahirkan untuk Ibu dan Ayah serta memberikan jam kerja yang fleksibel agar memudahkan setiap pasangan yang memiliki anak.
Dari Korea Selatan dan Jepang, kita bisa tahu tantangan terbesar dari pemerintah Indonesia dalam menghadapi angka TFR yang rendah adalah jaminan dan benefit. Indonesia belum mampu menyediakan jaminan dan benefit yang merata dan komprehensif bagi "seluruh" masyarakatnya.
Dukungan jaminan dan benefit ini kerap kali terbatas dan hanya untuk kelompok masyarakat tertentu saja seperti masyarakat miskin. Sementara, masyarakat kelas menengah yang juga membutuhkan jaminan dan benefit serupa tidak memperoleh manfaat yang sama.Â
Angka TFR ini berhubungan dengan "semua" masyarakat dalam kelompok ekonomi mana pun sehingga pemerintah perlu hadir melalui kebijakan yang cakupannya menyuluruh untuk seluruh rakyatnya.
Himbauan BKKBN yang meminta setiap pasangan dapat melahirkan satu anak perempuan dirasa salah kaprah. Pemikiran yang terlalu sederhana karena  menganggap dengan melahirkan satu anak perempuan dalam sebuah keluarga, maka sudah dapat dipastikan bahwa akan ada generasi selanjutnya.
Permasalahan angka TFR menurun bukan semata-mata soal perempuan dan melahirkan anak, tetapi bagaiamana pemerintah mampu hadir melalui kebiajakan yang dapat mendukung setiap masyarakat (tanpa memandang kelas ekonomi) yang berkontribusi dalam menjaga pertumbuhan populasi.
Sehingga perlu adanya komitmen serius pemerintah agar dapat menciptakan kebijakan yang memiliki cakupan yang luas (semua masyarakat) dalam hal dukungan jaminan dan benefit.Â
Dengan kebijakan yang lebih inklusif dan komprehesif, harapannya pemerintah Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk pernikahan dan kelahiran anak, dengan cara meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H