Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Paradoks "Public Apology" dalam Sebuah Pemerintahan: Etika Bernegara yang Belum Membudaya

6 Mei 2024   07:48 Diperbarui: 6 Mei 2024   11:05 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pgaction.org/Working Meeting on ICC in Parliament of Indonesia

Dalam kehidupan sosial, kita mengenal istilah three magic words atau tiga kata ajaib yaitu "tolong", "maaf", dan "terima kasih". Ketiga ketiga kata ini bisa masyarakat praktikan dalam kehidupan sehari-hari degan baik maka secara tidak langsung mereka menciptakan keajaiban dalam hidupnya.

Tiga kata ajaib ini juga dianggap sebagai sebuah simbol kesopanan dalam masyarakat. Di mana ketika kita ingin meminta bantuan kepada seseorang, maka kita akan berkata "tolong". Kemudian saat kita tidak sengaja melakukan kesalahan maka kita akan berkata "maaf", dan ketika kita mendapatkan pertolongan dari seseorang maka kita akan berkata "terima kasih".

Terlihat sederhana namun dalam praktiknya masih sulit untuk dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan bersosial. Kerap kali kata-kata ini menjadi sesuatu hal yang tidak lumrah untuk diucapkan bagi sebagian orang sehingga muncul sebuah persepsi bahwa mereka tidak punya keharusan untuk mengatakannya.

Sikap apatis masyarakat akan hal ini juga terkadang seperti memantik api di dalam tumpukan jerami. Banyak perselihan terjadi hanya karena tidak meminta maaf, sehingga keajaiban yang ada pada kata maaf tersebut bisa berubah menjadi sebuah malapetaka ketika tidak digunakan dengan semestinya di dalam tatanan sosial masyarakat.

Tidak hanya dalam bermasyarakat saja, ternyata sikap untuk meminta maaf perlu ditanamkan pada setiap pelaku dalam sebuah institusi pemerintahan.

Bukan tanpa alasan, karena dalam berjalannya sebuah pemerintahan negara tidak akan pernah luput dari hal-hal kontradiktif yang memiliki kecendrungan bisa mengecewakan beberapa pihak tertentu melalui kebijakan yang dibuatnya.

Namun dalam praktiknya, banyak yang menganggap sikap ini justru sebagai sebuah "kelemahan" dalam pemerintahan. Di mana mereka yang ada didalamnya akan dianggap tidak kompeten dalam bekerja dan pada akhirnya mereka akan mencari berbagai cara untuk menghindarinya dan berdiri dengan apa yang mereka yakini benar.

Jika dihubungkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, kita masih jarang atau bahkan tidak pernah menemui pemerintah yang "menyesal" dan "meminta maaf" secara tulus atas kesalahan maupun penyelewangan kekuasaan yang merugikan masyarakat. Sehingga ini dianggap sebagai sebuah sikap bernegara yang masih belum membudaya di negeri ini bahkan hingga saat ini.

Photo credit Toru Yamanaka/AFP/Getty Images Photograph: TORU YAMANAKA/AFP
Photo credit Toru Yamanaka/AFP/Getty Images Photograph: TORU YAMANAKA/AFP

Mengenal istilah "The Art of the Political Apology"

Permintaan maaf dalam dunia politik acap kali dianggap sebagai contoh klasik dari sebuah seni meminta maaf yang setidaknya memiliki tiga macam makna; bentuk pengelakan, terkesan tidak jelas atau berbelit-belit, dan terkadang terlihat seperti benar-benar menyesalinya. Sehingga disini sepertinya sulit untuk membedakan antara ketulusan dan basa-basi politik saja.

Edwin Battisltella, seorang professor linguistik di Southern Oregon University yang juga merupakan seorang penulis buku yang berjudul "Sorry About That: The Language of Public Apology" yang terbit di Oxford University Press lebih lanjut lagi mengamati bagaimana permintaan maaf dalam kacamata politik.

Permintaan maaf politis setidaknya benar-benar efektif berhasil dalam dua hal; secara etis, telah mengakui kesalahan moral dan mengungkapkan kesalahannya, dan secara sosial telah memperbaiki hubungan dengan pihak yang merasa dirugikan.

Namun permintaan maaf ini juga bisa gagal dalam dua hal tersebut, dan kunci dari keberhasilannya adalah bahasa yang digunakan oleh peminta maaf ini. Pada titik ini biasanya ungkapan permintaan maaf tersebut seolah memiliki ungkapan "kesahalahan sudah terjadi" dan tidak secara tersirat meminta maaf secara tulus secara politis.

Ini merupakan salah satu jurus andalan para politisi untuk "menghindari" sebuah kesalahan. Misalnya dengan menggunakan klausa "jika", yang mana dalam hal ini memontong proses permintaan maaf dengan menempatkan tanggung jawab tersebut kepada pihak yang merasa dirugikan sehingga terkesan ingin mengkonfirmasi kembali bahwa kesalahan itu benar terjadi atau tidak.

Selain itu, terkadang politisi biasanya akan mencoba menghindari meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan dengan cara menggunakan kata ganti yang tak tentu seperti "siapa pun" dan "apapun" seolah ingin menyalahkan pihak lain untuk kesalahannya.

Belum lagi ada istilah bernama hairsplitting yang terkadang menjadi strategi untuk menghindari permintaan maaf sesungguhnya dengan cara meminta maaf untuk sebagian kecil dari kesalahannya saja dan membiarkan kesalahan "besar" lainnya.

Penggunaan frasa dalam permintaan maaf juga bisa menjadi faktor penting bagi politisi. Di mana "meminta maaf" dapat diartikan sebagai respon karena sudah berbuat salah, sementara untuk kata "menyesal" hanya dianggap sebagai bentuk pengekspresian kondisi mental dan emosi tetapi tanpa menerima tanggung jawab.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa meminta maaf dalam politik ini memiliki dua aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu meminta maaf karena menyadari telah melakukan kesalahan, dan menyesal dalam arti secara tulus (mental dan emosi) memohon maaf atas tindakannya. Jika hanya salah satu aspek saja yang dilakukan, maka kita perlu mempertanyakan ketulusan permohonan maaf tersebut.

Sumber: pgaction.org/Working Meeting on ICC in Parliament of Indonesia
Sumber: pgaction.org/Working Meeting on ICC in Parliament of Indonesia

Sudah saatnya Indonesia bisa menerapkan konsep public apology yang benar!

Baru-baru ini media sosial X dihebohkan dengan cuitan warganet yang juga merupakan seorang influencer yang mengeluh soal pelayanan insitutsi pemerintah Bea Cukai karena barangnya ditahan. Kemudian permasalahan-permasalahan lain yang berhubungan dengan insitusi tersebut mulai banyak mencuat ke permukaan karena permasalahan yang menjadi viral tersebut.

Salah satunya adalah bantuan alat belajar untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) dari Korea Selatan yang ternyata sudah tertahan selama 2 tahun di Bea Cukai. Banyak warganet yang geram dan akhirnya banyak dari mereka yang menceritakan berbagai macam pengalaman tidak menyenangkan dengan institusi tersebut.

Namun, yang paling mengejutkan dan mengherankan dari permasalahan ini adalah respon pihak institusi terkait yang tanpa ada sedikit pun tersirat kata "maaf" sebagai bentuk respon awal dalam menyikapi permsalahan tersebut.

Justru pihak yang merasa dirugikan dianggap sebagai pihak yang "tidak mengerti" peraturan sehingga akhirnya permasalahan ini bisa terjadi. Belum lagi sikap yang ditunjukan oleh pihak institusi tersebut yang menurut warganet dianggap tidak mencerminkan sebagai pelayan masyarakat, terlebih dalam hal ini ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh pelayanannya.

Selain itu, berbagai macam klarifikasi yang dilakukan oleh institusi tersebut seolah semakin membuat mereka jauh dan tidak ada sedikit pun niat untuk meminta maaf. Banyak warganet yang menyangkan hal tersebut karena institusi tersebut terlalu defensive dan khususnya tidak adanya kata "maaf" dalam permasalahan ini.

Seperti apa yang kita pelajari pada "The Art of the Political Apology", ternyata teori tentang bagiamana seorang yang ada di dalam politik atau pemerintahan yang menghindari kesalahan dan meminta maaf kepada pihak yang dirugikan dengan cara "menyalahkan" pihak yang dirugikan tersebut ternyata sudah bukan menjadi sebuah teori belaka.

Ini juga bukti bahwa pemerintah kita masih belum mengerti caranya "meminta maaf" kepada masyarakat yang merasa dirugikan. Jika pemerintah merasa benar dan masyarakat salah, tentu tidak menjadi sebuah masalah bagi pemerintah untuk meminta maaf terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan klarifikasi untuk meluruskannya.

Apalagi jika dalam hal ini pemerintah yang salah, maka sudah sepatutnya pemerintah mengucapkan kata "maaf" untuk mengakui kesalahan tersebut. Tidak hanya kata maaf saja, tetapi dengan tulus "menyesal" yang secara pribadi benar-benar mengakuinya dan meminta maaf secara tulus terkait ketidakpuasan masyarakat tersebut.

Sepertinya sudah saatnya cara bernegara seperti ini mulai membudaya di Indonesia. Kita terkenal dengan masyarakat yang menjunjung tinggi tata krama, maka budaya meminta maaf sudah sepatutnya ditanamkan tidak hanya di dalam diri pribadi saja tetapi dalam sebuah sistem pemerintahan juga.

Sehingga dalam hal ini pemerintah bisa lebih mengerti tentang apa yang dikeluhkan oleh masyarakat. Karena ketika pemerintah mau mengakui kesalahannya, maka disini pemerintah akan tau letak kesalahan dari kebijakannya. 

Dan ketika pemerintah bisa meminta maaf dan menyesali kesalahannya, maka pemerintah setidaknya secara pribadi memiliki keinginan untuk memperbaiki kesalahan tersebut demi membangun negeri ini dengan lebih baik lagi dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun