Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Gastro-Colonialism di Tanah Papua: Penjajahan dalam Sebungkus Mi Instan

28 April 2024   17:39 Diperbarui: 1 Mei 2024   11:22 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak bersiap menyantap nasi di sebuah bivak di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua.  Gambar oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.

Indonesia terdiri dari berbagai wilayah yang masing-masingnya memiliki bentang alam yang sangat indah. Salah satunya adalah tanah Papua yang tidak hanya memiliki keindahan alam yang tersembunyi dan belum banyak orang yang menjamahnya, tetapi juga kekayaan alamnya juga sangat melimpah dengan berbagai jenis flora, fauna, hingga sumber mineral.

Tuhan menciptakan Papua saat sedang tersenyum. Mungkin ini merupakan salah satu frasa yang cocok untuk bisa mendeskripsikan seberapa indahnya tanah Papua. Segala yang ada di dalamnya tidak hanya elok di pandang tetapi juga memiliki sebuah nilai yang bisa bermanfaat bagi masyarakatnya bahkan negara sekali pun.

Seperti kita ketahui juga bahwa masih banyak masyarakat Papua yang menggantungkan hidupnya pada alam. Di mana masyarakat lokal memanfaatkan kekayaan alam yang ada untuk dapat bisa hidup seperti mencari sayur dan buah, berburu hewan hutan bahkan hingga mencari ikan di laut.

Mungkin saat ini yang ada di benak kita adalah dengan kekayaan alam yang melimpah pasti akan berbanding lurus dengan kehidupan rakyat Papua dan 'terjamin' setidaknya untuk urusan kebutuhan pangan.

Nyatanya itu hanya sebuah asumsi belaka, karena keadaan disana justru berbanding terbalik karena masalah gizi dan stunting pada anak marak terjadi dari dulu hingga saat ini.

Jika diuraikan dalam beberapa poin masalah dibalik gizi buruk yang banyak terjadi di tanah Papua, inti dari semua itu adalah akses dan ketersediaan sumber bahan pangan yang menjadi masalah utama. Di mana fasilitas transportasi masih belum memadai sehingga cukup sulit untuk bisa mendistribusikan kebutuhan bahan pangan bergizi kepada masyarakat. 

Jika pun bisa, harga bahan pangan tersebut biasanya akan jauh lebih mahal diakibatkan oleh mahalnya biaya transportasi tersebut. Selain itu, ketersediaan pangan yang mulai sulit didapatkan sebagai akibat dari pemanfaatan lahan besar-besaran semakin mempermarah masalah gizi yang menimpa masyarakat Papua.

Pada akhirnya banyak anak-anak di daerah Papua yang mengalami gizi buruk dan terhambat tumbuh kembangnya. Belum lagi, hadirnya pihak-pihak yang mencoba membantu menyalurkan bantuan bahan pangan dalam bentuk makanan instan membuatnya seolah semakin meromantisasi kondisi gizi buruk ini dibalik tujuan mulianya.

Sumber: Shutterstock/Monthira
Sumber: Shutterstock/Monthira

Mengenal istilah "Gastro-Colonialism" 

Melansir dari Rainforest Journalism Fund, istilah gastro-colonialism pertama kali diciptakan oleh seorang peneliti dan akademisi dari Guam bernama Craig Santos Perez, ketika ia sedang melakukan penelitian mengenai bagaimana sistem pangan dan kesehatan masyarakat di Hawaii yang tergerus oleh impor besar-besaran makanan olahan murah berkualitas rendah yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Gastro-colonialism juga dapat dikatakan berkaitan erat dengan nutrition transition atau transisi nutrisi yang terjadi di kalangan masyarakat. Di mana proses ini terjadi ditandai dengan perubahan pola makan masyarakat sebagai akibat dari pembangunan ekonomi yang cepat hingga modernisasi dan transformasi sistem pangan yang menimbulkan masalah penyakit.

Makanan yang dulunya sulit untuk diolah, didapatkan, atau bahkan dimasaknya, kini tersedia di rak-rak toko bahan makanan dengan kemasan instan yang dapat ditemui oleh masyarakat dengan mudah. Kemudahan yang ditawarkan ini seolah menjadi ilusi bagi mereka yang ingin kemudahan namun tidak menghiraukan bahaya yang mengintai dibaliknya.

Hingga akhinya dari sinilah yang menjadi titik awal perubahan gaya hidup masyarakat yang semula memiliki tahapan-tahapan tertentu untuk bisa menyantap suatu makanan, sekarang hanya membutuhkan tahapan yang singkat saja namun mereka sudah bisa menyantap makanan tersebut dengan mudah.

Terlena oleh kemudahan tersebut, banyak masyarakat akhirnya terlena dan bahkan cenderung tidak peduli lagi soal kandungan nutisi pada makanan yang dikonsumsinya. 

Dengan mengenyampingkan hal itu pada akhirnya muncul berbagai masalah penyakit seperti gizi buruk pada anak bahkan hingga pada penyakit serius yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah.

Seorang anak bersiap menyantap nasi di sebuah bivak di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua.  Gambar oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.
Seorang anak bersiap menyantap nasi di sebuah bivak di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua.  Gambar oleh Agus Susanto/Kompas. Indonesia, 2022.

Polemik gastro-colonialism dalam sebungkus mi instan

Apabila kita menelisik pada benang sejarah, tanah Papua sebenarnya memiliki sumber pangan yang belimpah dan bergizi seperti sagu, ubi, singkong, dan beraneka ragam jenis sayuran.

Selain itu, masyarakat Papua juga memanfaatakan hutan untuk mendapatkan hewan-hewan untuk memenuhi kebutuhan protein dalam makanannya.

Namun tiba-tiba tanah Papua mengalami perubahan pola makan dalam tatanan masyarakatnya akibat dari hadirnya para pendatang yang mengubah lahan-lahan yang ada disana menjadi lahan pertanian dan perkebunan dalam skala besar.

Dari sinilah terjadi penjajahan pangan atau dikenal dengan istilah gastro-colonialism yang dimulai sejak Belanda datang dan ingin mengelola ratusan hektar lahan di Papua untuk menjadi lahan pertanian dan peternakan. Namun yang ironis adalah pemanfaatan lahan yang dilakukan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan bukan masyarakat lokal.

Hingga akhrinya penjajahan selesai dan Papua dikembalikan kepada Indonesia, permasalahan pangan ini ternyata masih terus berlanjut. Di mana pemanfaatan lahan di Papua semakin besar lagi dengan tujuan-tujuan tertentu bahkan terdapat proyek lumbung pangan namun lagi-lagi tidak memperhatikan kebutuhan pangan warga lokal sekitar.

Belum lagi gelombang transmigrasi yang terjadi di Papua, membuat banyak masyarakat dari pulau-pulau lain seperti Pulau Jawa yang mungkin dari segi pangan sudah lebih maju membawa perubahan lagi kepada pola makan masyarakat Papua secara tidak langsung.

Banyak pendatang yang membawa berbagai jenis makanan instan, salah satunya adalah mi instan yang ternyata memiliki dampak yang besar pada transisi nutrisi masyarakat Papua. 

Masyarakat lokal melihat mi instan sebagai solusi mudah, di mana mereka tidak harus mencari bahan makanan terlebih dahulu untuk bisa membuat makan dan kini mereka bisa membuat makanan tersebut dengan mudah dan rasa yang mungkin jauh lebih lezat.

Seperti halnya hukum permintaan dan penawaran, adanya kebutuhan masyarakat terhadap mi instan juga dengan cepat  banyak di gemari oleh masyarakat. Walaupun seperti kita ketahui juga bahwa harga mi instan di sana  akan berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan harga yang ada di pulau Jawa.

Sumber: Youtube/Sophie Chao
Sumber: Youtube/Sophie Chao

Dr. Sophie Chao seorang dosen dan akademisi di bidang Antropologi, University of Sydney lebih lanjut lagi dalam tulisannya yang menyoroti sekelompok masyarakat di Merauke dan menjelaskan bahwa apa yang terjadi di sana adalah bentuk penjajahan pangan.

Di mana masyarakat yang semula bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan pangannya yang juga menjadi simbol kebudayaan dan identitas masyarakat lokal, kini berubah sebagai akibat dari pemanfaaatan lahan yang marak terjadi.

Kebiasaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangannya ini kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan terbelakang. Sehingga pemanfaatan lahan yang terjadi juga dianggap sebagai 'agenda besar' demi mewujudkan ketahanan pangan nasional, namun menyebabkan masyarakat lokal Papua kehilangan haknya untuk bisa mengakses sumber pangannya sendiri.

Ditambah lagi dengan makanan instan yang semakin memperparah permasalahan ini. Masyarakat tidak hanya tidak bisa lagi mendapatkan sumber pangan bergizi imbas dari pemanfaatan lahan yang terjadi, tetapi juga diubah kebiasaan makanannya kearah yang tidak baik yaitu ketergantungan terhadap makanan instan yang memiliki kandungan-kandungan zat yang tidak baik bagi tubuh.

Ironisnya permasalahan pangan ini banyak terjadi pada anak-anak. Di mana mereka tidak mendapatkan makanan dengan gizi yang baik dan ketika mereka lahir pola konsumsi masyarakat sudah mulai bergeser ke produk-produk instan sehingga mereka tumbuh dengan makanan-makanan yang tidak sehat.

Baru-baru ini isu soal gastro-colonialism ini kembali hangat dibicarakan di social media setelah viralnya aksi youtuber yang membuat sebuah konten masak-masak dalam skala besar untuk masyarakat Papua. 

Hingga aksi content creator TikTok yang sering memberikan bantuan makanan kepada masyarakat Papua yang menunjukkan bagaimana masyarakat dan juga anak-anak rela menukarkan bahan makanan bergizi seperti sayur, buah, bahkan hingga ikan untuk beberapa bungkus mi instan dan makanan lainnya.

Mungkin kita akan bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang yang membantu masyarakat tetapi tidak mendapatkan respons yang baik dari warganet? Fenomena gastro-colonialism yang menjadi bagian sejarah masyarakat Papua merupakan hal yang dikhawatirkan oleh beberapa orang yang mengkritisi aksi tersebut.

Dengan membawa dan mengenalkan makanan atau jenis bahan makanan yang tidak ada disana, dikhawatirkan dapat menciptakan permasalahan baru dalam pola konsumsi masyarakat lokal. 

Dalam jangka pendek memang tidaklah menjadi sebuah masalah apalagi dalam hal ini tujuannya mulia untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan pangannya, namun dalam jangka panjang kegiatan tersebut lagi-lagi bisa menyebabkan nutrition transisition pada masyarakat.

Permasalahan ini terbukti masih ada dan belum terselesaikan hingga saat ini. Setidaknya terdapat dua poin permasalahan yang masih belum terpecahkan dan masih diusahakan untuk bisa menjadi solusi yang konkret, yaitu akses dan konsep pola konsumsi makanan masyarakat lokal.

Dapat dikatakan bahwa dua hal ini yang menjadi akar permasalahan dari gizi buruk dan stunting yang marak terjadi di tanah Papua. Akses yang sulit untuk pendistribusian bahan pangan hingga pemerintah atau pihak-pihak tertentu yang masih belum bisa menyamakan kebiasaan dan pola konsumsi makanan masyarakat lokal membuat permasalahan tersebut ada dan betah hingga saat ini.

Namun yang terpenting dari ini semua adalah soal "perspektif". Di mana kita perlu memahami kebiasaan dan pola konsumsi masyarakat di Papua untuk bisa mengentaskan permasalahan gizi buruk dan stunting ini. Karena jika kita menggunakan perspektif dari daerah di luar Papua, maka itu semua tidak akan efektif dan berhasil untuk bisa mengentasan permasalahan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun