Melansir dari Rainforest Journalism Fund, istilah gastro-colonialism pertama kali diciptakan oleh seorang peneliti dan akademisi dari Guam bernama Craig Santos Perez, ketika ia sedang melakukan penelitian mengenai bagaimana sistem pangan dan kesehatan masyarakat di Hawaii yang tergerus oleh impor besar-besaran makanan olahan murah berkualitas rendah yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Gastro-colonialism juga dapat dikatakan berkaitan erat dengan nutrition transition atau transisi nutrisi yang terjadi di kalangan masyarakat. Di mana proses ini terjadi ditandai dengan perubahan pola makan masyarakat sebagai akibat dari pembangunan ekonomi yang cepat hingga modernisasi dan transformasi sistem pangan yang menimbulkan masalah penyakit.
Makanan yang dulunya sulit untuk diolah, didapatkan, atau bahkan dimasaknya, kini tersedia di rak-rak toko bahan makanan dengan kemasan instan yang dapat ditemui oleh masyarakat dengan mudah. Kemudahan yang ditawarkan ini seolah menjadi ilusi bagi mereka yang ingin kemudahan namun tidak menghiraukan bahaya yang mengintai dibaliknya.
Hingga akhinya dari sinilah yang menjadi titik awal perubahan gaya hidup masyarakat yang semula memiliki tahapan-tahapan tertentu untuk bisa menyantap suatu makanan, sekarang hanya membutuhkan tahapan yang singkat saja namun mereka sudah bisa menyantap makanan tersebut dengan mudah.
Terlena oleh kemudahan tersebut, banyak masyarakat akhirnya terlena dan bahkan cenderung tidak peduli lagi soal kandungan nutisi pada makanan yang dikonsumsinya.Â
Dengan mengenyampingkan hal itu pada akhirnya muncul berbagai masalah penyakit seperti gizi buruk pada anak bahkan hingga pada penyakit serius yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah.
Polemik gastro-colonialism dalam sebungkus mi instan
Apabila kita menelisik pada benang sejarah, tanah Papua sebenarnya memiliki sumber pangan yang belimpah dan bergizi seperti sagu, ubi, singkong, dan beraneka ragam jenis sayuran.
Selain itu, masyarakat Papua juga memanfaatakan hutan untuk mendapatkan hewan-hewan untuk memenuhi kebutuhan protein dalam makanannya.
Namun tiba-tiba tanah Papua mengalami perubahan pola makan dalam tatanan masyarakatnya akibat dari hadirnya para pendatang yang mengubah lahan-lahan yang ada disana menjadi lahan pertanian dan perkebunan dalam skala besar.