Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Di Balik Restoran Padang yang Tutup Selama Ramadan: Tradisi Minang hingga Rahasia di Balik Pengelolaan Keuangan

9 Maret 2024   12:25 Diperbarui: 10 Maret 2024   09:17 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shutterstock/ Ariyani Tedjo

Indonesia dikenal dunia sebagai negara dengan berbagai macam sajian kuliner dengan rasa yang lezat. Apalagi didukung dengan kekayaan rempah yang melimpah membuat cita rasa makanan Indonesia tidak hanya lezat tetapi memiliki ciri khas yang kuat.

Ketika sudah dihubungkan dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia, sajian makanan akan memiliki kenanekaragaman dari segi rasa. Itu terjadi karena setiap daerah memiliki ciri khas rasa tertentu sehingga akhirnya menjadi sebuah identitas dari daerah itu sendiri.

Misalnya, ketika kita sajian kuliner dari daerah Yogyakarta dan Jawa tengah yang memiliki ciri khasnya yang manis dan gurih. Namun berbeda dengan daerah Sumatera seperti Padang, maka sajian kulinernya akan memiliki cita rasa rempah yang kuat dan identik dengan rasa yang pedas dan gurih.

Berbicara sajian makanan dari provinsi Sumatera Barat yaitu Padang, sepertinya kuliner ini memiliki tempat di hati masyarakat luas. Mungkin dapat dikatakan bahwa sajian makanan ini selalu hadir dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dan sudah menjadi comfort food bagi sebagian besar masyarakat.

Hal yang membuat sajian makanan padang ini selalu dekat dengan masyarakat adalah ketika berpergian atau menetap di suatu daerah atau wilayah yang belum pernah dikunjungi. Sajian makanan padang biasanya selalu menjadi pilihan nomor satu karena kita sudah familiar dengan rasanya yang lezat tersebut.

Melihat pola konsumsi masyarakat kita terhadap sajian masakan padang memunculkan sebuah persepi bahwa bisnis rumah makan padang akan selalu menjadi sebuah bisnis yang menjanjikan. Maka tidak mengherankan jika kita bisa menjumpai rumah makan padang dengan mudah dimana pun kita berada.

Sumber: Shutterstock/Lili Aini
Sumber: Shutterstock/Lili Aini

Rumah makan Padang, sejarah, dan tradisi Minang

Di balik populernya sajian masakan padang, ternyata sajian yang satu ini sarat akan kekentalan budayanya khususnya daerah Minangkabau. Apabila kita tarik ke garis sejarah, rumah makan padang atau dulu dikenal dengan nama 'lapau' ini pertama kali ditemukan pada pertengahan abad-19.

Menurut sejarawan Minangkabau Gusti Asnan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang saat itu merupakan daerah administratif Gouverment van Sumatra's Westkust yang sekaligus menjadi pusat kegiatan ekonomi. Di mana semua hasil bumi yang ada di Sumatera barat yang akan di ekspor saat itu harus dibawa ke Padang terlebih dahulu.

Pada saat itu juga sarana transportasi yang paling popler adalah kuda beban dan pedati. Karena banyaknya transportasi yang hilir mudik, maka saat itu juga banyak tersedia penginapan sekaligus tempat makan khususnya di daerah Bukittinggi untuk para kolonial yang ingin beristirahat. Dan dari sinilah yang menjadi cikal bakal 'rumah makan Minangkabau'.

Namun untuk nama yang kita kenal sekarang seperti 'Rumah Makan Padang' sendiri baru ditemukan di luar Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Namun tersebarnya dan populernya istilah rumah makan Padang ini baru ada sekitar pada akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an.

Dan nama 'Rumah Makan Minangkabau' berubah menjadi 'Padang' dibelakang nama terakhirnya memiliki makna yang sangat kuat di mana itu merupakan bagian dari perubahan identitas yang dilakukan oleh orang Minangkabau pada saat itu (peristiwa PRRRI).

Selain sarat akan sejarah, rumah makan padang sendiri juga memiliki nilai budayanya yang kental. Ternyata masyarakat Minangkabau memiliki 'tradisi marantau'. 

Tradisi merantau ini juga yang menyebabkan penyebaran sajian masakan khas tersebut dapat dengan cepat dapat menyebar di berbagai daerah.

Orang Minangkabau memaknai tradisi merantau ini sebagai sebuah proses untuk memperoleh pengalaman hidup. Motif seseorang untuk merantau juga bermacam-macam mulai dari mencari pendidikan yang lebih baik, bekerja di tempat yang lebih baik, hingga memulai bisnis dengan tujuan memperbaiki kondisi keuangan ke arah yang lebih baik.

Bahkan ada pepatah adat yang berbunyi "Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu di rumah paguno balun," artinya jika di kampung belum dapat berbuat banyak untuk banyak orang, maka sebaiknya merantaulah dahulu.

Maka tidak mengherankan jika kita banyak menemui orang minang khususnya yang membuka bisnis rumah makan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. 

Bahkan persebarannya dapat dikatakan sangat massif, di mana per daerah bisa terdapat ribuan hingga puluhan ribu rumah makan padang yang bisa kita jumpai dengan mudah.

Sumber: Waktu Neil Armstrong Mendarat di Bulan, Dia Melihat Ada Rumah Makan Padang! (Republika/Kurusetra)
Sumber: Waktu Neil Armstrong Mendarat di Bulan, Dia Melihat Ada Rumah Makan Padang! (Republika/Kurusetra)

Sistem 'mato' dalam bisnis rumah makan Padang

Sosial media X selalu saja membawa topik diskusi yang menarik dan bisa menambah wawasan bagi pengguna lainnya. Baru-baru ini warganet merasa heran dan takjub dengan salah satu rumah makan padang yang berdiri sejak tahun 1960 di jakart yaitu RM. Padang Surya yang selalu tutup total selama bulan Ramadhan.

Kendati demikian, ternyata hal ini merupakan hal yang lumrah dan banyak terjadi pada beberapa rumah makan padang yang ada di Indonesia. Ternyata bagi beberapa orang minang ini adalah sebuah tradisi di mana banyak masyarakat padang yang memiliki bisnis rumah makan memilih untuk tutup selama bulan Ramadhan.

Sumber: mediasumbar.id (Berbagai Tradisi Khas Minangkabau Meyambut Buln Suci Ramadhan)
Sumber: mediasumbar.id (Berbagai Tradisi Khas Minangkabau Meyambut Buln Suci Ramadhan)

Tujuannya adalah agar masyarakat yang menjalankan tersebut dapat memfokuskan diri kepada ibadanya. Begitu juga bagi mereka yang merantau dan memilih menutup rumah makannya selama Ramadhan, selain untuk lebih fokus ibadah tetapi juga agar mereka bisa berkumpul bersama keluarga di kampung halaman.

Selain tradisi ini, banyak warganet yang merasa merasa heran bagaimana cara mereka mengelola keuangan baik dari sisi pemilik bisnis maupun pegawai apabila rumah makannya tutup selama Ramadhan. 

Tak sedikit warganet bergurau dan mengatakan bahwa seorang financial planner kini harus berguru kepada rumah makan padang soal tata cara mengelola uang yang baik.

Dalam model pengelolaan bisnis rumah makan padang terdapat istilah yang disebut dengan "mato". Sistem mato sendiri adalah sistem bagi hasil usaha yang diterapkan oleh sebagian besar rumah makan padang. Dalam bahasa Minangkabau sendiri 'mato' memiliki makna 'poin'.

Sistem mato ini kemudian akan menjadi patokan besar kecilnya proporsi gaji karyawan sesuai dengan fungsinya, tingkat kesulitan, hingga posisinya di dalam rumah makan padang tersebut. Mato atau poin ini biasanya memiliki ketetapan yang sudah diatur dan disepakati diawal.

Berikut adalah proporsi mato sesuai dengan fungsi, tingkat kesulitan, dan posisi karyawan;

  • Koki kepala 6 -- 7 mata/poin,
  • Koki I: 4 -- 5 mata/poin
  • Koki II: 2 -- 3,5 mata/poin
  • Kasir kepala 5 -- 5,5 mata/poin
  • Kasir: 3 -- 4 mata/poin
  • Palung: 4 -- 4,5 mata/poin
  • Pelayan: 3 -- 3,5 mata/poin
  • Cuci piring: 2 -- 2,5 mata/poin

Perhitungan laba bersih usaha kemudian akan dilakukan pada periode waktu 100 hari. Di mana setelah 100 hari berlalu maka laba bersih akan didapatkan dari menjumlahkan seluruh pendapatan selama 100 hari dikurangi pengeluaran (biaya operasional) dan selanjutnya diperoleh laba kotor. Laba bersih didapat setelah mengurangi laba kotor tersebut dengan zakat sebesar 2,5%.

Sebelum dibagi keuntungannya dengan karyawan, biasanya laba bersih tersebut akan dibagi kepada pemodal dari rumah makan padang tersebut sesuai dengan kesekapatan diawal. 

Misalnya 50:50, maka laba bersih 50% akan diterima oleh si pemodal dan sisanya akan dibagi kepada karyawan sesuai dengan perhitungan mato dari masing-masing karyawan yang sudah disepakati di awal.

Beberapa penelitian menunjukkan contoh manajemen pembagian laba dari rumah makan padang ini. Salah satunya Dimas Adewijaya dalam penelitiannya untuk melihat hal tersebut. 

Ternyata hasil penelitiannya menunjukkan sistem mato ini dapat menguntungkan bagi karyawan yang terlihat dari hasil nilai mato yang diterima setiap karyawan dalam 100 hari tersebut.

Selain angka yang terbilang fantastis, ternyata sistem mato ini dapat memberikan motivasi karyawan untuk bisa meningkatkan kualitasnya. 

Sumber: Shutterstock/Zolak
Sumber: Shutterstock/Zolak

Ini dapat terjadi karena semakin baik kualitas pegawainya maka akan memberikan dampak positif kepada penghasilan rumah makan dan tentunya semakin besar juga proposi nilai penghasilan yang akan mereka dapatkan.

Maka dengan sistem mato ini memungkinkan karyawan untuk memproleh income yang besar dan dapat diasumsikan bahwa mereka juga dapat melakukan saving yang lebih besar. 

ketika tidak bekerja selama bulan Ramadhan pun, mereka dapat mengelola resiko keuangan yang ada sembari menunggu hari raya lebaran tiba dan mereka bisa bekerja seperti biasa lagi.

Meskipun demikian tentu studi kasus pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan akan memiliki perbedaan dari segi nilai penghasilannya. 

Namun yang dapat kita ambil ilmunya adalah bagaimana 'profit sharing' atau sistem bagi hasil ini bisa menguntungkan kedua belah pihak antara pemilik rumah makan dan karyawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun