Baru-baru ini kita dihadapkan dengan polusi udara yang kian hari kian memburuk. Masyarakat mulai berbondong-bondong menyerukan protesnya agar pemerintah dapat segera mengatasi permasalahan ini. Terutama wilayah Jakarta yang dampaknya terlihat dengan jelas dan signifikan mempengaruhi kegiatan masyarakat sehari-hari.
Dampak yang paling banyak dirasakan masyarakat adalah dari sisi kesehatan. Di mana banyak yang mengeluhkan terjangkit batuk yang tidak kunjung sembuh bahkan hingga sesak nafas.Â
Dampak kesehatan ini juga tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa yang hampir seluruh akitivitasnya dilakukan di luar ruangan, tetapi anak-anak pun turut ikut terkena imbas dari polusi udara ini.
Polusi udara mengakibatkan economic cost atau biaya ekonomi yang sangat tinggi. Dalam artikel Stanford School of Earth, Energy & Environmental Science yang ditulis pada tahun 2019 menjelaskan bahwa polusi udara berdampak negatif terhadap perekonomian Amerika Serikat dengan kerugian sekitar 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahunan atau sebesar $790 millar pada tahun 2014.
Dari biaya ekonomi yang tinggi ini, biaya tertinggi datang dari kematian dini yang diakibatkan dari paparan materi partikulat halus (PM 2.5). Meskipun Partikular Matter (PM2.5) yang ada di atmosfer merupakan hasil alamiah yang berasal dari kebakaran hutan atau debu yang tertiup angin, namun sebagian besar kerusakan akibat PM 2.5 berkaitan dengan aktivitas manusia, yang sebagian besar dapat dikaitkan dengan berbagai sektor ekonomi seperti manufaktur dan pertanian.
Menurut laporan World Air Quality Report dari IQAir Indonesia menempati urutan pertama di ASEAN sebagai negara dengan udara terburuk pada tahun 2022. Ukuran yang digunakan adalah tingginya konsentrasi particular matter (PM 2.5) yang terkandung di udara Indonesia.
Standar WHO perihal PM 2.5 sebagai ukuran kualitas udara yang ideal bagi suatu negara adalah antara 0 sampai 5 mikrogram per meter kubik. Namun IQAir mencatat bahwa rata-rata konsentrasi PM 2.5 di udara Indonesia adalah 30.4 mikrogram per meter kubik.
Angka tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi PM 2.5 yang ada di udara Indonesia enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh WHO.
Data di atas merupakan kadar konsentrasi PM 2.5 di udara Indonesia yang dipantau secara real time oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang diambil pada tanggal 22 Agustus 2023 pukul 15:00 WIB.Â
Data tersebut menunjukkan 5 kota dengan kadar kosentrasi PM 2.5 tertinggi di Indonesia, di mana kota dengan udara terkotor di Indonesia pada saat observasi dilakukan adalah wilayah Kemayoran, Jakarta Pusat.
Kadar kosentrasinya pun sangat mengkhawatirkan yaitu 70 mikrogram per meter kubik atau empat belas kali lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh WHO.Â
Ini juga menunjukkan bahwa dalam hanya kurun waktu satu tahun saja, Indonesia yang diwakili oleh Jakarta menunjukkan kenaikan konsentrasi PM 2.5 sebesar dua kali lipat dibandingkan tahun 2022.
Lalu, apakah polusi udara ini memiliki dampak terhadap perekonomian?
Indonesia saat ini menghadapi tantangan ganda yaitu pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan. Di mana selama dua dekade terakhir, Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup ekstrim dalam kualitas udaranya.Â
Dari tahun 1998 hingga 2016, Indonesia berubah dari salah satu negara yang paling bersih di dunia menjadi salah satu dari dua puluh negara paling tercemar yang diakibatkan oleh konsentrasi polusi udara partikulat yang meningkat sebesar 171 persen.
Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) dalam laporannya yang menggarisbawahi persoalan mengenai kebijakan tentang konsekuensi ekonomi akibat dari polusi udara, menjelaskan beberapa poin penting tentang konsekuensi ekonomi apa saja yang akan dihadapi oleh suatu negara berkaitan dengan polusi udara.
Polusi udara memengaruhi kesehatan manusia yang memiliki efek terhadap produktivitas kerja. Selain itu sektor pertanian juga akan terkena dampaknya melalui hasil panen yang buruk.Â
Dampak ini diproyeksikan akan menjadi jauh lebih parah dalam beberapa dekade ke depan dan menyebabkan biaya ekonomi global yang secara bertahap meningkat menjadi 1% dari PDB global pada tahun 2060.
Peningkatan konsentrasi PM 2.5 akan menimbulkan dampak yang besar dalam perekonomian dunia, di mana biaya kesehatan secara global yang terkait dengan polusi udara diproyeksikan akan meningkat dari $21 miliar pada tahun 2015 menjadi $176 miliar pada tahun 2060.
Biaya kesejahteraan global terkait penyakit yang disebabkan oleh polusi udara juga diproyeksikan bernilai $2,2 triliun pada tahun 2060. Nilai ini bahkan berkali-kali lipat besarnya dibandingkan dengan biaya kesejahteraan global pada tahun 2015 yang hanya sebesar $300 miliar saja.
Konsekuensi-konsekuensi ekonomi tersebut memiliki potensi memberikan dampak terhadap kondisi pasar maupun non-pasar, sehingga perlu adanya kebijakan yang kuat. Polusi udara ini pada dasarnya tidak ada solusi dalam menguranginya, karena sumber polusi udara sendiri berasal dari kegiatan ekonomi.
Kebijakan untuk membatasi emisi polusi udara ini juga bisa melalui pemberian insentif untuk penggunaan teknologi end-of-pipe atau pemanfaatan teknologi lingkungan yang berhubungan dengan penanganan limbah sebelum dibuang ke lingkungan, menerapkan standar kualitas udara, dan penetapan harga emisi.
Langkah yang harus diambil pemerintah
Proyeksi konsekuensi ekonomi yang akan dihadapi dunia terkait dengan polusi udara memberikan sedikit arah bagaimana pemerintah harus bertindak dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Pemerintah perlu memberlakukan kebijakan terkait standar konsetrasi partikel PM 2.5 disetiap wilayah. Artinya, pemerintah pusat perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dalam memantau setiap kegiatan ekonomi yang berpotensi menghasilkan partikel PM 2.5 yang tinggi. Namun kebijakan ini perlu dilakukan secara ketat dan berkelanjutan, agar kualitas udara Indonesia dapat terus terjaga setiap harinya.
Sehingga dalam hal ini pemerintah lebih baik memberikan perhatian yang ekstra terhadap setiap sektor bisnis yang memiliki potensi besar menghasilkan tingkat polusi udara yang tinggi.Â
Kontrol pengawasan serta kebijakan yang ketat juga dirasa lebih dibutuhkan saat ini dibandingkan dengan mengubah moda transportasi berbahan bakar bensin menjadi transportasi bertenaga listrik.
Kebijakan yang bertujuan mengubah moda transportasi menjadi bertenaga listrik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat berubah dan selaras merata di seluruh wilayah Indonesia, sementara isu polusi udara yang saat ini terjadi sudah memasuki tahap membahayakan masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.Â
Tidak hanya itu saja, polusi udara ini juga dapat menimbulkan multiplier effect atau dampak berganda terhadap perekonomian Indonesia itu sendiri apabila permasalahan ini tidak segera ditindak lanjuti secara cepat dan tanggap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI