Laut dan wilayah pesisir berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Lebih dari 3 miliar orang memanfaatkan kekayaan sumber daya laut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian mereka serta 80% perdagangan dunia dilakukan melalui jalut laut.
Indonesia bahkan menempati urutan kedua sebagai sektor perikanan terbesar di dunia setelah Tiongkok. Di mana sektor perikanan memberikan kontribusi sebesar $27 miliar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyediakan 7 juta lapangan pekerjaan.
Namun sumber daya laut kian hari semakin menghadapi ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, yang berkaitan dengan pengambilan manfaat ekonomi yang mengorbankan kelestarian lingkungan.Â
Mulai dari polusi limbah sampah bahkan hingga penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya yang digunakan untuk menangkap ikan, membuat sumber daya laut seperti ikan dan terumbu karang semakin terancam ekosistemnya.
Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut, yang membuka kembali praktik ekspor pasir pantai yang sempat dilarang dan ditiadakan sejak lebih dari 20 tahun lalu. Di mana peraturan ini dapat memberikan potensi terjadinya kerusakan lingkungan khususnya ekosistem laut.
Ketika dunia sedang gencar dengan konsep ekonomi berkelanjutan, Indonesia justru kembali ke 'cara lama' dalam mendapatkan manfaat ekonomi dari kekayaan sumber daya alam seperti laut.Â
Meskipun dalam 2 dekade terakhir ini dunia gencar dalam menciptakan kelestarian sumber daya laut namun tetap dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang dikenalkan melalui konsep 'Blue Economy'.
Apa itu Blue Economy?
Gunter Pauli seorang pengusaha, ekonom, dan pendukung ekonomi berkelanjutan asal Belgia dalam bukunya yang berjudul "The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovation, 100 million Jobs" menjelaskan bahwa konsep Blue Economy muncul pada awal tahun 2000-an di mana ketika itu pembangunan berkelanjutan mulai populer di dunia.