Chelsy Fox dalam tulisannya menjelaskan bahwa lembaga keuangan Amerika Serikat diperkiran telah memproses sekitar $1,2 miliar pembayaran ransomware pada tahun 2021 di mana ini merupakan rekor baru karena jumlahnya hampir tiga kali lipat dari jumlah tahun sebelumnya yang terjadi pada tahun 2020 dengan jumlah sebesar $416 juta.Â
Selain itu juga kasus lain terjadi di pada sebuah bank milik pemerintah Brazil yaitu Bank of Brazil pada tanggal 3 Oktober 2022, di mana perbankan tersebut menjadi korban kejahatan siber ransomware oleh sekelompok peretas dengan meminta tebusan dalam bentuk mata uang bitcoin senilai 50 BTC atau setara dengan R$5.2 juta.
Lebih lanjut lagi Lena dkk dalam risetnya dalam melihat pengalaman perusahaan-perusahaan yang menjadi korban serangan ransomware.
Dengan sample data yang digunakan yaitu 55 kasus ransomware yang diambil dari 50 perusahaan di Inggris dan Amerika Utara.
Riset ini dilakukan untuk melihat tingkat keparahan serangan crypto-ransomware yang dialami melalui beberapa faktor yaitu karakteristik perusahaan (ukuran dan sektor), bentuk keamanan, tipe serangan dan target, dan jenis penyerbaran crypto-ransomware.Â
Hasil risetnnya menunjukkan bahwa jenis sektor perusahaan dan bentuk keamanan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap serangan crypto-ransomware.
Ini juga semakin menjelaskan bahwa kejahatan siber ransomware akan menyasar pada sektor perusahaan yang memiiki potensi menyimpan banyak uang seperti perbankan dan mereka juga akan menyasar pada perusahaan dengan bentuk keamanan yang lemah seperti pada perusahaan-perusahaan yang kecil atau baru.
Dari riset tersebut juga kita bisa membuat sebuah teori spekulasi adanya kemungkinan telah terjadi kejahatan siber ransomware pada Bank Syariah Indonesia.
Ini dapat terjadi karena Bank Syariah Indonesia merupakan perusahaan atau lembaga jasa keuangan yang tentunya memiliki potensi menyimpan banyak uang.
Selain itu juga Bank Syariah Indonesia yang baru terbentuk pada tahun 2021, memunculkan dugaan bahwa kekuatan bentuk keamanan pada sistem yang digunakan oleh perusahaan sebagai mitigasi risiko apabila terjadinya kejahatan siber masih rentan untuk dieksploitasi oleh peretas. Sehingga perlu adanya evaluasi yang mendalam bagi Bank Syariah Indonesia, OJK, serta pemerintah terkait agar menjadi perhatian sehingga kejadiaan ini dapat terhindar dan tidak terjadi pada lembaga jasa keuangan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H