Mohon tunggu...
Hb. Sapto Nugroho
Hb. Sapto Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup ini adalah Pikink ( Selalu senang dan bersyukur ), sementara tinggal di Tokyo

senang berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna yang Tersirat

18 Agustus 2019   09:13 Diperbarui: 18 Agustus 2019   09:15 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pernah sangat gembira saat anak kita waktu kecil mulai bsia omong. Apa kata pertamanya sering menjadi bahan pertanyaan kita. Semakin besar semakin banyak bisa omong, akhirnya sudah menjadi hal yang biasa. Kita semakin dewasa semakin bisa omong "tak terbatas". 

Kalau dulu kita bisa omong dan membuat bahagia orang lain, sekarang bisa menjadi terbalik yaitu dengan omongan kita orang lain justru bukan menjadi bahagia tetapi menjadi sedih.  Yang kadang terjadi omongan kita bisa menjadikan orang lain menjadi "benci" terhadap orang lain. 

Hmmm omongan kita justru menjadikan sesuatu yang buruk. Itulah maka sangat perlu bisa "mengendalikan" omongan kita. Ingatlah masa kecil kita dulu, omongan tidak usah  terlalu banyak tetapi bisa membahagiakan yang mendengarkan omongan kita.

Kalau kita sudah "pinter omong" dan bisa mengendalikan omongan kita, satu lagi yang perlu kita lakukan adalah "belajar mendengarkan". Sekalai lagi belajar "mendengarkan" dan bukan "mendengar". 

Kalau mendengar itu bisa dilakukan sambil lalu, tetapi kalau mendegarkan kita betul-betul memperhatikan dan menyimak apa yang dimaksud dengan omongan itu.  Sebuah omongan atau kalimat yang diucapkan kadang punya makna yang tidak hanya terucap dari kata kata itu. 

Kadang kita harus menangkap makna apa yang ada dibalik itu atau banyak orang bilang makan yang tersirat. Disebut tersirat karena tidak tersurat atau terucap.

Akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat tentang "studi banding keluar negeri". Banyak komentar bermunculan, termasuk tujuan kepergian keluar negrinya. 

Karena dikatakan bahwa studi banding bisa dilakukan lewat telpon cell ( smart phone ), maka muncul juga komentar lain yaitu : "Ah itu orang tua yang baru tahu dikit tentang smart phone, dia pikir semua bisa dengan smart phone".  Memang orang berkomentar bisa berbeda beda, tergantung kemampuan penangkapan mereka.

Saya sendiri coba menangkap apa yang tersirat. Pertama :tidak ada pernyataan bahwa pergi ke luar negri itu salah atau tidak boleh. Yang harus dilakukan adalah betul betul melihat perlu dan tidaknya untuk pergi ke luar negri. 

Kalau tujuan pergi ke luar negri itu bisa dicapai dengan mencari informasi lewat internet , bisa lewat komputer atau smartphone , maka tidak perlu ke luar negri. Intinya adalah penghematan biaya dan waktu. 

Kedua :  tidak ada pernyataan bahwa semua harus lewat smartphone. Semua tergantung tujuan kegiatan yang dilakukan. Smartphone adalah "alat bantu", jadi kalau dirasa bantuan dari smartphone tidak cukup ya cari dengan cara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun