Masih menurut Bapak Wata, berdasar data angka kecacatan yang ditimbulkan oleh penyakit kusta di Kabupaten Subang selama 3 tahun berturut-turut menunjukkan peningkatan. Di mana di tahun 2018 dari seluruh jumlah disabilitas yang ada, yang disebabkan oleh penyakit kusta sebanyak 5%, di tahun 2019 sebanyak 7,9% dan di tahun 2020 sebanyak 11%.
Senada dengan yang di sampaikan oleh Pak Wata, Mas Adrian seorang aktivis kusta dan ketua Permata dari Bulukumba menyampaikan "Permasalahan kusta yang utama adalah adanya stigma dan diskriminasi yang menyebabkan banyak kasus terlambat ditangani akibat banyak penderita kusta yang memilih untuk menyembunyikan penyakitnya"
Untuk itu perlu edukasi massif yang diberikan kepada masyarakat terutama golongan muda (mahasiswa) agar paham fakta tentang penyakit kusta. Stigma negatif pada penderita kusta yang selama ini terjadi adalah warisan generasi tua. Sehingga untuk mengubahnya perlu penguatan literasi tentang penyakit kusta di kalangan mahasiswa.
Hadirnya organisasi Permata sedikit banyak telah membawa perubahan pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap penyakit kusta terutama di perkotaan. Permata sendiri merupakan organisasi bagi orang yang pernah mengalami kusta (OPYMK) yang bertujuan untuk melakukan advokasi jika terjadi penolakan terhadap penderita kusta, memberikan pendampingan pada penderita kusta yang sedang melakukan pengobatan, dan peningkatan kompetensi life skill bagi OPYMK agar percaya diri dan dapat mandiri secara ekonomi.
Upaya Mewujudkan Aksesibilitas Kesehatan Bagi Penderita Kusta
Tidak bisa dipungkiri meskipun telah diamanatkan dalam UU no 8 tahun 2012 pasal 12 yang mengatur tentang pemberian hak yang sama bagi semua warga negara termasuk penyandang disabilitas dan penderita kusta untuk mengakses layanan kesehatan, namun hal tersebut masih sulit untuk diwujudkan.
Menurut penjelasan Mas Adrian, di Bulukumba sendiri organisasi Permata tengah melakukan advokasi  kepada Rumah Sakit Tandjung Khalid yang dulunya merupakan penyakit khusus kusta yang sekarang berubah menjadi Rumah Sakit Umum Pusat agar memberikan kemudahan layanan kepada para penderita kusta.
Perubahan status rumah sakit dari khusus kusta menjadi RSUP tersebut menyulitkan para penderita kusta yang hendak berobat. Karena para penderita kusta harus melalui jalur-jalur khusus ketika hendak berobat. Misalnya saja harus terlebih dahulu mencari rujukan dari Rumah Sakit Daerah, sehingga dirasa menyulitkan.
Belum lagi adanya peraturan dari BPJS yang memberi ketentuan rawat inap yang sama antara penderita penyakit kusta dengan penyakit lainnya. Padahal penderita kusta butuh perawatan dalam waktu yang lebih panjang. Sehingga sering terjadi seorang pasien kusta yang belum tuntas dalam pengobatan terpaksa harus sudah dipulangkan.
Lebih jauh Mas Adriansyah menyampaikan bahwa aksesibilitas kesehatan untuk disabilitas khususnya penderita kusta maupun OPYMK, hanya bisa terwujud jika stigma dan diskriminasi terhadap para penderita kusta dan OYPMK hilang.