Tanggal 9 November 2019 lalu, bertempat di Hotel Sheraton Mustika, saya dan beberapa kawan dari Kompasianer Jogja memperoleh undangan untuk menghadiri acara workshop yang diselenggarakan oleh Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dan Indonesian Young Pharmacist Group (IYPG) Â yang membahas tentang "Pengurangan Bahaya Tembakau Dan Upaya Berhenti Merokok Dalam Perspektif Farmasi dan Kesehatan Publik". Â
Acara ini menghadirkan 3 pembicara yang kompeten di bidangnya. Yakni Dr. drg. Amaliya, Â M.Sc. Ph. D, seorang Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Dr. dr. Ardini Reksanegara, M. P. H, pengajar Departemen Kesehatan Masyarakat, Universitas Padjajaran, dan Ariyo Bimmo, SH. LLM, Pengamat Hukum dan Kebijakan sekaligus ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR). Â
Di Indonesia, Â merokok memang seperti sudah menjadi budaya. Pemandangan orang merokok sangat mudah dijumpai di mana-mana. Sehingga tidak mengherankan jika berdasar data Global Tobacco Atlas 2017, Indonesia menempati urutan ketiga jumlah perokok terbanyak di dunia setelah Cina dan India.
Di mana satu dari lima orang di Indonesia adalah perokok, dan 66,6% dari populasi perokok adalah laki-laki. Mungkin adanya anggapan jika merokok adalah sesuatu yang maskulin salah satu penyebabnya. Â
Padahal data menyebutkan 21,37% kematian terjadi karena penyakit akibat merokok, seperti penyakit jantung, kanker, maupun, paru-paru.
Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya agar kebiasaan merokok masyarakat Indonesia berkurang. Diantaranya melalui edukasi tentang bahaya yang dapat mengancam kesehatan si perokok maupun orang-orang di sekitarnya, akibat terdapatnya zat-zat berbahaya seperti seperti nikotin dan tar yang terbentuk karena rokok yang dibakar.
Dari sisi regulasi, Â pemerintah juga telah menerapkan kebijakan menaikkan cukai rokok dan mewajibkan perusahaan rokok untuk mencantumkan aneka bahaya dan risiko yang akan dihadapi jika mengkonsumsi rokok dalam kemasan rokok yang diproduksinya.
Namun nyatanya berbagai upaya yang dilakukan belum memberikan hasil yang signifikan. Karena memang berhenti merokok bukan perkara mudah seperti membalikkan tangan. Kandungan nikotin yang ada pada rokok memberikan efek ketagihan yang tidak mudah untuk dihentikan. Â
Dalam sambutannya, Ketua Indonesia Young Pharmacist Group Arde Toga Nugraha menyampaikan, sebenarnya ada satu cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan angka perokok di Indonesia. Seperti yang juga telah dilakukan di negara maju seperti Inggris dan Jepang yang menggunakan produk tembakau alternatif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat akan rokok. Cara ini terbukti ampuh untuk digunakan sehingga angka perokok di kedua negara ini mengalami penurunan. Â
Dalam hal ini Arde Toha Nugraha mencontohkan regulasi yang digunakan di Selandia Baru, untuk membantu para perokok berat yang sulit berhenti merokok dengan menggunakan konsep pengurangan bahaya tembakau (Tobacco Harm Reduction).
Di mana di negara tersebut, peranan apoteker untuk menginformasikan produk tembakau alternatif yang bisa digunakan oleh para perokok sangat besar. Sehingga para perokok mau untuk beralih ke produk tembakau alternatif untuk meminimalisir risiko yang ditimbulkan. Â
Sementara dalam pemaparannya Dr. drg. Amaliya, M. Sc. Ph.D menyampaikan bahwa konsep Tobacco Harm Reduction bertujuan untuk meminimalisir risiko gangguan kesehatan akibat penggunaan produk tembakau yang dibakar.Â
Konsep ini dapat membantu para perokok berat yang sulit berhenti merokok untuk berhenti atau beralih ke produk yang lebih rendah risiko. Tobacco Harm Reduction menawarkan sebuah pendekatan minim risiko, yang membantu para perokok mengurangi dan kemudian berhenti merokok. Dikatakan mengurangi risiko karena pada produk Tobacco Harm Reduction, tembakau tidak dibakar, Â sehingga tidak terbentuk TAR. Â
Adapun produk Tobacco Harm reduction terdiri dari Smokless tobacco (snus), tembakau kunyah, rokok elektrik (vape), Â dan tembakau yang dipanaskan (heated tobacco).
Dan ketika orang tersebut beralih ke produk rokok alternatif, Â perbaikan pada sel-sel dinding mulut terlihat nyata. Â
Hasil penelitian dari Institute Federal Jerman menunjukkan bahwa salah satu produk rokok alternatif, yakni rokok yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah hingga 80 - 90 persen dibanding rokok. Â
Selama ini masyarakat masih beranggapan produk alternatif juga menghasilkan TAR. Sehingga membuat perokok dewasa enggan untuk beralih ke produk rokok alternatif. Padahal TAR hanya terbentuk pada rokok yang dibakar.
"Kajian ilmiah sudah membuktikan produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dari pada rokok. Sejumlah negara seperti Inggris, Â Jepang, Â Korea Selatan, Â dan Selandia Baru mendukung penggunaan rokok alternatif untuk menurunkan bahaya kesehatan dari rokok. Dengan kondisi seperti sekarang ini, partisipasi dari apoteker dapat memberikan perspektif baru bagi perokok dewasa dan pemerintah", kata Amaliya. Â
Lebih lanjut, menurut Ardini Raksanagara, pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Unpad yang merupakan nara sumber kedua, peranan apoteker sangat diperlukan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat perbedaan antara nikotin dan TAR.
Selama ini banyak yang beranggapan keduanya sama-sama berbahaya untuk kesehatan. Padahal, Â meskipun dapat memberikan efek adiktif dan psikoaktif, nikotin bukan penyebab penyakit berbahaya terkait rokok. Justru TAR yang mengandung senyawa karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker. Â
Lebih lanjut Ariyo Bimo Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) sekaligus pengamat hukum menyatakan konsep pengurangan risiko harus mendapat dukungan dari pemerintah melalui regulasi khusus yang terpisah dari rokok.
Saat ini, dukungan pemerintah terhadap konsep tersebut direalisasikan melalui pengaturan tarif cukai bagi produk tembakau alternatif yang dikategorikan di segmen Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).
Hal ini tentu mendukung pencapaian tujuan pengurangan risiko. Namun dengan tarif cukai yang relatif besar masih besar ini, kami juga berharap pemerintah tidak menaikkan beban cukai ataupun harga jual eceran HPTL, sehingga perokok dewasa dapat menjangkau produk tembakau alternatif yang memiliki risiko kesehatan lebih rendah daripada rokok bakar. Selain itu, Â produk ini perlu diperkuat dengan regulasi lainnya sehingga kehadiran produk ini semakin memberi manfaat," tutup Ariyo.
Dengan demikian penggunaan yang tepat dan bertanggung jawab dari produk tembakau alternatif ini akan membuat penggunanya dapat secara bertahap berhenti mengkonsumsi rokok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H