Mohon tunggu...
Sapti Nurul hidayati
Sapti Nurul hidayati Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ibu rumah tangga

Mantan ibu bekerja, yang sekarang jadi IRT biasa. Suka hal-hal yang berbau sejarah. Sedang belajar menulis lewat aktifitas ngeblog. Membagikan cerita dan tulisan di blog pribadi https://www.cerryku.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tambang, Potensi Musibah di Balik Anugrah

11 November 2016   14:48 Diperbarui: 12 November 2016   04:49 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia terkenal kaya akan sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Termasuk dalam kelompok yang tidak dapat diperbaharui adalah bahan tambang.

Bahan tambang adalah sumber daya alam yang berasal dari dalam perut bumi yang bersifat tidak dapat diperbaharui karena pembentukannya membutuhkan waktu yang lama hingga berjuta-juta tahun. Sedangkan usaha pemanfaatan sumber daya alam berupa bahan-bahan galian yang terkandung di dalam perut bumi dikenal dengan istilah pertambangan.

Saat ini, pemanfaatan bahan tambang tidak bisa lepas dalam kehidupan kita. Mulai dari rumah tinggal kita, yang dibangun dengan menggunakan material seperti besi, semen, maupun pasir. Dapur kita yang hampir semua alat masaknya menggunakan bahan dari logam, peralatan makan yang kita pakai, bahan bakar gas yang kita gunakan, kabel yang menghantarkan listrik sampai ke rumah kita, itu semua berasal dari bahan tambang. Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan tentang bahan tambang telah membawa peradaban kehidupan manusia menjadi lebih maju dan mudah.

Jika kita menengok catatan sejarah peradaban kehidupan manusia di periode jaman batu, seperti itulah kira-kira yang terjadi dengan kehidupan kita sekarang jika bahan tambang tidak pernah diketemukan. Tidak ada pisau tajam yang membantu kita memotong-motong daging, tidak ada blender atau chopper yang sekali pencet semua bahan makanan yang kita masukkan ke dalamnya tergiling halus sempurna. Berbagai kemudahan-kemudahan yang biasa kita dapatkan menjadi hilang. 

Di desa saya, kalau ada orang yang ditanya kerja di mana dan jawabnya adalah di perusahaan pertambangan, sudah bisa dipastikan posisi atau kedudukannya di masyarakat menjadi berbeda, lebih terpandang. Ya, kerja di pertambangan itu identik dengan kemapanan dan kecukupan finansial. Meskipun jarang berada di rumah, namun pundi-pundi rupiah mengalir deras, yang ditunjukkan dengan bangunan rumah yang berdiri megah dan mobil pribadi yang bertengger gagah. Paling tidak itu yang terlihat dari beberapa tetangga dan saudara yang kebetulan bekerja di perusahaan tambang. 

Barang olahan tambang simbol kesejahteraan dan kemakmuran (sumber gambar : blog.duitpintar.com)

Bahkan masih melekat dalam ingatan sewaktu saya kecil dulu, sekitar tahun 1983-an,  Bude saya yang pekerjaannya tidak berhubungan langsung dengan tambang, tapi bekerja di lingkungan pertambang pun terlihat lebih sejahtera di banding Ibu saya yang juga berprofesi yang sama tapi bekerja di desa. Ibu dan Bude saya sama-sama guru. Bedanya ibu saya guru di sebuah SD swasta di salah satu wilayah di kota Jogja, sementara bude saya guru SD di sebuah sekolah swasta di lokasi tambang emas Cikotok, yang saat itu tengah berjaya. Setiap kali pulang ke kampung mengunjungi nenek, bude selalu membawa buah tangan yang banyak. Pakaian para sepupu saya juga terlihat bagus-bagus, dan konon Bude saya punya tabungan emas batangan yang banyak jumlahnya...sehingga terekam kuat dalam benak saya, tambang identik dengan kemapanan dan kesejahteraan.

Pertambangan di Masa Kolonial

Namun sesungguhnya tidak semua yang berbau tambang itu tentang cerita manis. Banyak kisah miris juga yang melingkupi sejarah tambang di Indonesia. Salah satu contohnya adalah cerita tentang manusia rantai  di tambang batubara Sawah Lunto Sumatera Barat di jaman kolonial dulu. Pekerja tambang pada masa kolonial,tidak lebih seperti sapi perahan yang dimanfaatkan tenaganya. Berbagai perlakuan tidak manusiawi sering mereka terima, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Sungguh ironis. 

Sejarah mencatat, bahwa kebijakan penambangan pada masa kolonial dulu benar-benar hanya menempatkan bangsa kita sebagai kuli, tidak lebih. Bahkan saking ingin menutup kesadaran bangsa ini akan potensi kekayaan bumi yang dimiliki, seorang anak negeri bernama Arie Frederic Lasut seorang ahli geologi dan pertambangan pribumi pada masa awal kemerdekaan dulu pun akhirnya dibunuh dengan cara ditembak karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Begitu besar potensi tambang di negara kita, hingga bangsa lainpun berebut ingin memilikinya.

Arie Frederic Lasut adalah pegawai muda di Dinas Pertambangan Belanda yang bernama Mijnwezen, yang pada masa pendudukan Jepang diubah namanya menjadi Chisitsu Chosasho. Pada hari Jumat pukuI 11.00 WIB tanggal 28 September 1945, A.F. Lasut bersama 3 orang temannya yakni Raden Ali Tirtosoewirjo, R. Soenoe Soemosoesastro dan Sjamsoe M. Bahroem mengambil alih secara paksa kantor Chisitsu Chosasho dari pihak Jepang, dan sejak saat itu nama Chisitsu Chosasho diubah menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi. Hari dimana A.F. Lasut dan kawan-kawan merebut Chisitsu Chosasho ditetapkan sebagai hari pertambangan Indonesia. 

Selanjutnya A.F.Lasut dan kawannya R. Soenoe Soemosoesastro membuka Sekolah Pertambangan-Geologi Tinggi (SPGT), Sekolah Pertambangan Geologi Menengah (SPGM), dan Sekolah Pertambangan Geologi Pertama (SPGP) yang bertujuan untuk menghasilkan para ahli geologi guna memajukan sektor tambang di Indonesia. 

Tambang dan Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan dan Sosial

Tambang adalah salah satu bentuk anugrah Tuhan kepada kita untuk kita gunakan dengan baik dan bijaksana. Karena pemanfaatan tambang jika tidak diiringi dengan kearifan, ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi sangat membantu kita, menciptakan peluang kerja, mendatangkan pendapatan untuk negara, tapi di sisi lain juga bisa membinasakan kita. Ketidakpahaman dalam aktivitas penambangan dapat menimbulkan bencana. 

Sebagai contoh adalah musibah penambangan emas yang menimpa dan menewaskan penambang liar (gurandil) di Gunung Pongkor Desa Bantar Karet, Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat di bulan Oktober 2015 dan di Desa Simpang Parit, Sungai Manau, Kabupaten Merangin, di Propinsi Jambi yang terjadi di bulan Oktober 2016 lalu . Dalam peristiwa tersebut, belasan orang terjebak dan tewas di lubang galian penambangan emas. 

Munculnya para penambang liar di wilayah areal penambangan memang tidak bisa dielakkan. Apalagi jika barang tambang yang terdapat di daerah tersebut, dapat diperoleh dengan penggalian biasa dan pemrosesannya bisa dilakukan dengan teknologi sederhana. Meskipun resikonya tinggi, banyak yang tidak peduli. Mereka datang mengadu peruntungan demi sebongkah emas yang mereka harap akan didapatkan. Padahal apa yang mereka lakukan ini tidak hanya membahayakan nyawa mereka, namun juga dapat merusak lingkungan akibat penggunaan merkuri secara besar-besaran yang dipakai untuk memisakan serbuk emas dari bongkahan batuan yang mereka dapatkan. Pembuangan merkuri ke permukaan tanah dan atau ke dalam air akan berakibat rusaknya ekosistem yang ada. Tanah dan air menjadi tercemar, tumbuhan dan hewan menjadi keracunan, yang dampaknya akan meluas ke orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Wabah penyakit dapat muncul dengan tiba-tiba.

penambangan liar (sumber : beritasatu.com)

Adanya resiko kerusakan lingkungan akibat penambangan inilah yang perlu menjadi concern kita semua. Pemerintah harus membuat regulasi yang tegas. Karena proses pemanfaatan bahan tambang ini memang unik. Letaknya yang ada di dalam perut bumi, mau tidak mau proses pengambilannya memerlukan pembukaan lahan yang luas, yang dilakukan melalui proses penggalian atau peledakan. Cara-cara tersebut tentu berpengaruh terhadap kondisi ekosistem di sekitar tambang. 

Tanah yang dibuka untuk penambangan akan kehilangan humusnya, vegetasi dan kualitas air di sekitar tambang akan terpengaruh juga. Pembuangan limbah tambang yang berupa bahan kimia beracun secara langsung berpengaruh terhadap kualitas air dan dapat mengakibatkan penyebaran penyakit.

Melihat resiko yang ada, maka perlu suatu aturan mengenai kegiatan penambangan ini. Paradigma baru dalam kegiatan industri pertambangan adalah konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dari setiap tahap yang dilakukan. Mulai dari kegiatan penyelidikan, eksplorasi, studi kelayakan yang mencakup teknik, ekonomi, dan lingkungan (termasuk amdal), kegiatan reklamasi lahan dan tanggung jawab sosial perusahaan kepada lingkungan sekitar melalui CSR pada saat dan setelah proses tambang dilakukan. Dengan demikian berbagai dampak negatif tambang terhadap lingkungan dan sosial dapat diminimalkan. 

Pemberian penyuluhan kepada masyarakat sekitar tentang bahaya penambangan liar perlu terus digiatkan. Pemberian keterampilan usaha dan pembukaan lapangan kerja di wilayah sekitar tambang perlu secara kontinyu dilakukan, selain penegakan aturan yang tegas dari aparat terhadap adanya aktivitas penambangan liar. 

Keharmonisan perusahaan tambang dengan masyarakat sekitar melalui Corporate Social Responsibility (CSR) harus benar-benar diwujudkan. Sehingga masyarakat sekitar merasakan manfaat nyata dari perusahaan tambang dan turut menjaga keamanan wilayah tambang yang ada tanpa diminta. Karena memang tidak semua warga masyarakat bisa secara langsung dilibatkan sebagai pekerja tambang, apalagi bekerja di sektor ini dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus. Program CSR lah yang menjadi jembatan penghubungnya, dimana perusahaan turut hadir dan bertanggung jawab memberdayakan masyarakat sekitar sesuai potensinya. Sehingga suatu saat ketika kegiatan tambang harus diakhiri,masyarakat sekitar lokasi penambangan tetap mampu berdikari dan hidup bermartabat. Karena program CSR tidak semata hanya berupa pembangunan sarana fisik semata, tapi yang terpenting juga pembangunan mental. Menjadikan masyarakat sekitar lebih mandiri dan berwawasan dan tidak bergantung belas kasihan dan pemberian dari perusahaan semata. 

Tentang PT Freeport Indonesia (PTFI)

Meskipun Indonesia kaya bahan tambang, namun secara jujur perlu kita akui bahwa penguasaan teknologi yang kita miliki untuk mengeksplorasi potensi tambang yang ada masih minim. Oleh karena itu kita perlu bekerja sama dengan pihak asing untuk melakukannya. Salah satunya dengan PT Freeport Indonesia. Tentu saja dalam kerjasama itu harus tetap berpedoman kepada amanah Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tercantum dalam pasal 33 yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".

PT Freeport Indonesia (PT FI) merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. Freeport-McMoRan (FCX) adalah perusahaan tambang internasional utama dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. 

PTFI beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia, dan melakukan kegiatan menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak, dan memasarkan konsentratnya ke seluruh dunia.

Lokasi tambang dari PTFI berada di Grasberg Kabupaten Mimika Propinsi Papua, yang merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mengandung cadangan emas dan tembaga yang dapat diambil yang terbesar juga di dunia.

Tambang emas dan tembaga di pegunungan Grasberg yang dikelola PT Freeport Indonesia (sumber gambar : welkis.wordpress.com) 

Awal Kehadiran PTFI di tahun 1967 bisa jadi berdampak syok sosial di kalangan masyarakat Papua yang biasa berpola hidup sangat sederhana dan sangat menghargai alam. Hal ini tentu saja memerlukan adaptasi yang tidak mudah bagi kedua belah pihak. 

Timbulnya bentrokan karena benturan kepentingan tidak terelakkan pasti terjadi. Dan ini harus diantisipasi, baik oleh pemerintah maupun perusahaan diantaranya melalui program CSR yang mulai diwajibkan oleh pemerintah bagi perusahaan mulai tahun 2007 berdasar undang-undang no 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (UUPT). Sementara untuk PTFI sendiri sejak dimulainya penandatangan kontrak perpanjangan di  tahun1992 telah berinisiatif memberikan dukungan bagi pengembangan masyarakat, diantaranya melalui pengakuan atas hak ulayat masyarakat setempat, program pengelolaan lingkungan, serta berbagai kegiatan lainnya yang telah memberi sumbangan berarti untuk Papua dan masyarakat Indonesia.

Hal ini sesuai dengan kebijakan-kebijakan organisasi induk PTFI yang menyangkut etika, sosial, dan lingkungan. Kebijakan yang kuat tersebut telah memandu PT Freeport Indonesia menempuh jalan menuju pembangunan yang  berkelanjutan.

Visi PTFI dalam Pembangunan Sosial dan Lingkungan (sumber : ptfi.co.id)

Beberapa Program CSR PTFI yang sudah berjalan

Untuk mewujudkan visinya tersebut, secara berkesinambungan PTFI telah melaksanakan berbagai program, diantaranya :

1. Di Bidang Ekonomi, bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) dan pemangku kepentingan lainnya untuk berperan serta dalam pengembangan daerah dan masyarakat di sektor ekonomi dengan memberikan pelatihan pada program-program perikanan, peternakan, pertanian, ketahanan pangan, dukungan terhadap sistem ekonomi dan program alternatif serta kerjasama dengan pihak lain. Dibidang peternakan dibentuklah Yayasan Jayasakti Mandiri (YJM) bergerak di bidang usaha peternakan ayam petelur, ayam pedaging dan babi.

usaha peternakan di bawah bimbingan PT Freeport Indonesia (sumber ptfi.com)

YJM sendiri pada even Pekan Daerah IV Propinsi Papua yang merupakan ajang pertemuan petani dan nelayan di Papua untuk saling berbagi pengetahuan di bidang pertanian dan peternakan ditunjuk sebagai salah satu objek studi banding.

Usaha ayam petelur di bawah binaan PT Freeport Indonesia (sumber : ptfi.co.id) 

2. Di bidang kesadaran Lingkungan untuk generasi muda.

Dalam hal pendidikan sadar lingkungan terhadap generasi muda, PTFI bersama bekerjasama dengan Saireri Paradise Foundation (SPF) menggelar pendidikan konservasi di SMA N Unggulan Dawai, Yapen Timur Kabupaten Kepulauan Yapin Papua. Kegiatan ini dikemas dalam program "Edukasi Pelestarian Spesies Khas Papua di Sawendui 2016". Dalam kegiatan ini dikupas permasalahan utama yang mengancam kelestarian burung cendrawasih berupa perburuan ilegal dan kelestarian penyu akibat konsumsi telur dan daging penyu. 

Kegiatan Sadar Lingkungan bagi generasi muda (sumber : ptfi.co.id)

Kegiatan pemantapan kelompok masyarakat pelestari cendrawasih dan penyu (sumber : ptfi.co.id)

Dengan kegiatan ini diharapkan kesadaran dan wawasan generasi muda untuk turut berperan dalam pelestarian lingkungan dan satwa semakin terbuka. 

3. Di bidang budaya, partisipasi PTFI ditunjukkan dengan keterlibatannya dalam Festival Danau Sentani yang merupakan gelaran budaya yang menampilkan berbagai kekayaan budaya Papua mulai dari tari-tarian, kerajinan tradisional hingga kuliner khasnya.

Festival Danau Sentani (sumber ptfi.co.id)

Pameran kerajinan khas Papua dalam Festival Danau Sentani (sumber : ptfi.co.id)

Selain itu PTFI turut berperan mempromosikan potensi wisata dan budaya yang ada di seluruh   dunia melalui kegiatan-kegiatan yang digelarnya. 

4. Di bidang transportasi,  PTFI pada bulan Juni 2016 lalu meresmikan fasilitas pelayanan penerbangan ke wilayah pedalaman Papua bagi karyawan asli Papua yang berasal dari 7 Suku (Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Nduga, Mee dan Moni). Penerbangan ini bertujuan untuk.mempermudah akses transportasi karyawan asli 7 suku dari Timika ke berbagai daerah-daerah pedalaman di Papua. Sebagai tahap awal, program ini akan melayani penerbangan ke 7 daerah tujuan di wilayah pegunungan yakni Ilaga, Beoga, Wamena, Paniai (Enarotali), Deiyai (Waghete), Dogiyai (Moanemani) dan Intan Jaya (Sugapa). Program ini merupakan wujud kepedulian dan perhatian perusahaan terhadap para karyawan asli papua yang saat ini mencapai 34% dari seluruh karyawan PTFI atau berjumlah 4.242 orang, yang diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat dari waktu ke waktu. 

Dengan program-program di atas, diharapkan manfaat hadirnya perusahaan tambang dalam hal ini PTFI di tengah masyarakat dapat dinikmati masyarakat Papua khususnya, dan masyarakatnya Indonesia pada umumnya. Mengingat tambang di pegunungan Grasberg merupakan tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia, yang sudah pasti memberikan nilai ekonomi yang tidak sedikit.    

Akhirnya melalui tulisan ini penulis ingin menggugah kesadaran kita bersama bahwa dibalik anugrah kekayaan tambang yang diberikan kepada kita, Tuhan menyelipkan sebuah ujian berupa potensi bencana dan kerusakan alam. Akankah kita bijak dalam memanfaatkan anugrah tersebut atau terjebak dalam keserakahan yang pada akhirnya menyengsarakan kita semua karena kita lalai untuk mempertimbangkan daya dukung alam dalam pengelolaannya.

Selamat hari tambang ke-71, maju terus pertambangan Indonesia.  

Referensi :

www.esdm.go.id

www.ptfi.co.id

Tulisan ini disertakan dalam blog competition "tambang untuk kehidupan" yang diselenggarakan kompasiana dan sahabat tambang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun