Kami bertiga duduk kikuk, saling tatap. Tidak ada yang berani membuka percakapan ataupun bisikan. Kemudian bau mie goreng menyeruak dari dalam rumah, disertai bunyi piring dan sendok yang saling beradu. Jarot tersenyum, sedangkan Fajar masih terbengong, kukira ia kebingungan.
“Masuk mas…” suaranya lembut, namun menimbulkan kekuatan yang dahsyat untuk segera berdiri dan berjalan masuk ke dalam.
Di ruang tamu telah tersaji tiga piring mie goreng, tiga gelas air putih, kemudian bau harum kopi menyeruak dibawa oleh Sulastri. Mataku berkeliling di ruangan empat kali tiga itu. Ruangan yang sebenarnya sederhana, namun ditata sedemikian rupa, hingga terkesan simpel namun elegan.
Ada sebuah lemari buku kotak menempel di tembok, kemudian di atasnya berjejer tiga foto. Yang pertama, sepasang lelaki perempuan yang berdiri mengapit anak kecil, perempuan itu menggendong seorang bayi laki-laki. Dua foto lainnya adalah foto laki-laki berseragam polisi dan satu laki-laki berseragam biru dongker.
“Seadanya ya Mas…”
Kurang ajar, batinku, mata Jarot terlalu fokus pada Sulastri. Kemudian si Fajar terlihat kikuk membuang muka ke mana saja, ia terlihat tidak tenang. Namun setelah melihat si janda ini, giliran aku yang kaget hingga terbengong.
Pantas saja Jarot tidak beranjak dari perempuan ini, dan Fajar begitu kikuk, ternyata Sulastri melepaskan sweternya. Tubuhnya hanya terbungkus daster warna merah muda bermotif bunga. Mataku mencoba menerawang dibalik daster itu.
Sial, kenapa aku jadi ikutan mesum begini, umpatku dalam hati. Jam satu dini hari, seorang janda berpakaian daster merah muda bermotif bunga menerima tiga tamu laki-laki. Bukankah ini kesempatan emas untuk melakukan hal-hal yang sangat diinginkan di otak mesum Jarot?
Namun setelah kuperhatikan lebih detail dari ujung rambut hingga kaki perempuan itu, perasaan iba menjalar di dada. Ada semacam sesak yang menyeruak seperti hendak meledak. Guratan keriput di pelipis wajahnya tak bisa melawan usia. Bibirnya pun sudah pucat.
Kemudian, kelopak matanya menghitam, pucat. Sulastri sangat berbeda dengan yang dibicarakan orang, batinku kemudian. Bahkan hamper kusalahkan mataku yang tak percaya melihat kenyataan yang ada.
“Dimakan ya Mas… saya tinggal ke dalam sebentar.”