Mohon tunggu...
Sapta Arif
Sapta Arif Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai pepuisi, cerita-cerita, kopi, dan diskusi hingga pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sulastri

13 April 2020   10:48 Diperbarui: 13 April 2020   19:38 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami bertiga duduk kikuk, saling tatap. Tidak ada yang berani membuka percakapan ataupun bisikan. Kemudian bau mie goreng menyeruak dari dalam rumah, disertai bunyi piring dan sendok yang saling beradu. Jarot tersenyum, sedangkan Fajar masih terbengong, kukira ia kebingungan.

“Masuk mas…” suaranya lembut, namun menimbulkan kekuatan yang dahsyat untuk segera berdiri dan berjalan masuk ke dalam.

Di ruang tamu telah tersaji tiga piring mie goreng, tiga gelas air putih, kemudian bau harum kopi menyeruak dibawa oleh Sulastri. Mataku berkeliling di ruangan empat kali tiga itu. Ruangan yang sebenarnya sederhana, namun ditata sedemikian rupa, hingga terkesan simpel namun elegan. 

Ada sebuah lemari buku kotak menempel di tembok, kemudian di atasnya berjejer tiga foto. Yang pertama, sepasang lelaki perempuan yang berdiri mengapit anak kecil, perempuan itu menggendong seorang bayi laki-laki. Dua foto lainnya adalah foto laki-laki berseragam polisi dan satu laki-laki berseragam biru dongker.

“Seadanya ya Mas…”

Kurang ajar, batinku, mata Jarot terlalu fokus pada Sulastri. Kemudian si Fajar terlihat kikuk membuang muka ke mana saja, ia terlihat tidak tenang. Namun setelah melihat si janda ini, giliran aku yang kaget hingga terbengong. 

Pantas saja Jarot tidak beranjak dari perempuan ini, dan Fajar begitu kikuk, ternyata Sulastri melepaskan sweternya. Tubuhnya hanya terbungkus daster warna merah muda bermotif bunga. Mataku mencoba menerawang dibalik daster itu. 

Sial, kenapa aku jadi ikutan mesum begini, umpatku dalam hati. Jam satu dini hari, seorang janda berpakaian daster merah muda bermotif bunga menerima tiga tamu laki-laki. Bukankah ini kesempatan emas untuk melakukan hal-hal yang sangat diinginkan di otak mesum Jarot?

Namun setelah kuperhatikan lebih detail dari ujung rambut hingga kaki perempuan itu, perasaan iba menjalar di dada. Ada semacam sesak yang menyeruak seperti hendak meledak. Guratan keriput di pelipis wajahnya tak bisa melawan usia. Bibirnya pun sudah pucat. 

Kemudian, kelopak matanya menghitam, pucat. Sulastri sangat berbeda dengan yang dibicarakan orang, batinku kemudian. Bahkan hamper kusalahkan mataku yang tak percaya melihat kenyataan yang ada.

“Dimakan ya Mas… saya tinggal ke dalam sebentar.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun