Aku yang begitu kesalpun memukul tengkuk pengemudi taksi itu, saat dia kembali menghadap ke depan hingga tak sadarkan diri. Lalu tentu saja kupotong urat nadi di leher hingga hilang napasnya. Tunai sudah kejengkelanku padanya. Lalu kutinggal saja taksi itu. Agar lebih meyakinkan, kuambil segepok uang yang ada di dompet dan laci mobilnya. Aku yakin, orang-orang akan mengira, taksi ini mengalami perampokan biasa. Akupun melanjutkan perjalanan.
Targetku kali ini adalah seorang penjual koran. Aneh memang, tak ada yang istimewa dari penampilannya. Tak ada yang menunjukkan sebuah kekayaan dari raut wajahnya. Tak ada pula kisah kejayaan di keriput yang mulai menjalari dahinya. Barangkali hanya satu yang membuatnya tampak istimewa, lengannya buntung di kiri. Satu tangan kanannya begitu kokoh menyangga setumpuk koran.
Tiap kali lampu merah menyala, dia menjajakan korannya ke tengah jalan. Lalu kembali menepi ketika lampu hijau menyala. Ada dua orang lagi di sana: dua bocah pengamen yang begitu akrab dengannya.
Aku yang masih duduk di halte seberang, terdiam mengamati ketiga orang itu. Dua bocah pengamen itu, kerapkali mengampiri penjual koran ketika lampu hijau menyala. Mereka terlihat sangat akrab, bahkan ada gelak tawa di antara mereka.
Agak lama aku menunggu, namun kejengkelanku mulai memenuhi ubun-ubun kepala. Barangkali harus kubunuh juga kedua bocah itu. Akupun berdiri berjalan menyeberangi jalan. Penjual koran itu terlihat duduk bersandar dengan sebuah perbincangan hangat dengan dua bocah itu.
Kusiapkan belatiku.
Aku terus melangkah menikmati sisa-sisa terakhir raut wajah penjual koran itu. Tak beberapa lama aku sudah berdiri tepat di depan penjual koran yang sedang duduk bercerita dengan dua bocah pengamen di depannya.
Dia melihatku.
Akupun mengeluarkan belati.
**** Â
Surakarta, Maret 2017