Mohon tunggu...
Sapta Prayoga
Sapta Prayoga Mohon Tunggu... -

bukan Superman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gugatan Terhadap Eksistensi PTK: Imbas dari Kemunduran Pendidikan Nasional?

10 November 2010   09:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan Perguruan Tinggi Kedinasan digugat lagi, kali ini mantan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia periode 2004-2009 yang juga mantan Menteri Keuangan RI periode 1999-2000, Dr. Bambang Sudibyo, MBA yang angkat bicara dalam seminar nasional Reformasi Perpajakan Antara Harapan dan Kenyataan di STIE AUB Surabaya, 4 Nopember silam. Beliau, seperti dikutip oleh Suara Merdeka Online pada tanggal yang sama secara terang-terangan menghendaki penutupan STAN. "STAN yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang mencetak SDM perpajakan harus dihentikan. Hal ini untuk mencegah perembetan budaya korupsi", begitu katanya.

Hal ini sontak ditanggapi oleh beberapa pihak terutama mahasiswa STAN dan PTK lain yang merasa dirugikan oleh pernyataan tersebut, Saya sendiri jika Anda sempat membaca status di facebook Saya beberapa hari yang lalu mungkin akan melihat refleksi kesebalan Saya yang mungkin agak sedikit berlebihan waktu itu. Maklum saja jika Saya emosi, namanya juga anak muda..:)

Tapi beberapa hari ini, ditengah kesibukan Ujian Akhir Semester 6 Program Diploma III Spesialisasi Perpajakan-Program Khusus STAN yang tengah Saya hadapi, Saya menyempatkan diri untuk mencoba melihat permasalahan ini melalui perspektif yang lebih luas. Sejujurnya bukan kali ini saja keberadaan Kami (PTK) digugat, sepengetahuan Saya, sejak Saya duduk di Diploma I Perpajakan-STAN enam tahun yang lalu, gugatan terhadap keberadaan PTK di negeri ini sering sekali terjadi.

Berbagai peristiwa buruk yang terjadi di sekitar Kami menjadi celah bagi segelintir pihak untuk mempertanyakan dan menggugat keberadaan Kami. Seperti kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh sebagian Praja IPDN misalnya, atau kasus yang akhir-akhir ini hangat tentang beberapa alumnus STAN yang terlibat kasus korupsi (diantaranya Gayus Halomoan Tambunan dan Mukhamad Misbakhun). Bahkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) sempat tidak mengakui ijasah keluaran PTK dengan alasan tidak terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional, yang menyebabkan lulusan-lulusan PTK (termasuk saya) susah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya di Perguruan Tinggi Negeri, dikarenakan masalah penyesuaian angka kredit.

Tidak hanya itu, terakhir PTK kembali menjadi anak tiri Pendidikan Nasional, melalui pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan yang sejatinya adalah peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) utamanya Bagian Delapan pasal 29 tentang Pendidikan Kedinasan.

Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa Pendidikan Kedinasan diperuntukkan hanya bagi CPNS dan PNS, dan mensyaratkan peserta didik untuk memiliki ijasah S1 atau setara terlebih dahulu. PTK yang ada kini seperti STAN misalnya dalam lima tahun kedepan dihadapkan pada empat opsi, yaitu ; menjadi Balai Diklat, tetap menjadi Pendidikan Kedinasan dengan menaati aturan PP tersebut, menjadi Badan Hukum Pendidikan, atau menjadi BHP dengan memuat tiga opsi sebelumnya. Ini jelas pilihan sulit, dimana dari ketiganya, tidak ada satu opsi pun yang memungkinkan STAN untuk tetap menjaga ciri yang selama ini dimilikinya, yaitu perguruan tinggi yang memiliki ikatan dinas (gratis, dan terikat kontrak kerja) bagi para lulusan SMA atau sederajat.

Hal ini jelas mengakibatkan kekecewaan bagi jutaan lulusan SMA yang hendak melanjutkan pendidikan melalui jalur kedinasan, sekaligus menutup kemungkinan bagi pelajar dari keluarga miskin di Indonesia untuk mendapatkan kesempatan pendidikan dan masa depan yang layak. Namun hingga detik ini berbagai perdebatan, diskusi hingga tuntutan dari berbagai kalangan agar PP yang kontroversial tersebut dapat ditinjau ulang, tidak juga mendapat tanggapan dari Kementerian Pendidikan Nasional. Bahkan sempat dikatakan bahwa semangat yang melandasi terbitnya PP ini memang untukmenghapuskan PTK yang ada di Indonesia, dengan alasan PTK tidak diperlukan, dan dinilai sebagai pemborosan APBN. Adalah hal yang sangat diluar kebiasaan, jika sebuah Kementerian yang memiliki tugas dan fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa sudah mulai ikut mengatur masalah Anggaran Belanja Negara, bukan?

Lantas apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan negeri ini? Mengapa keberadaan PTK sering sekali diusik akhir-akhir ini? Apakah keberadaan kami (PTK) mulai dinilai mengancam bagi perguruan tinggi yang lain?

Sedikit kilas balik pada awal pembentukan PTK. Dulu PTK secara sengaja didirikan oleh beberapa Kementerian yang ada di Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan SDM, sebab perguruan tinggi yang ada waktu itu tidak mau mengakomodir kebutuhan Kementerian-Kementerian dimaksud.

Pada jamannya, menjadi pegawai negeri tidaklah populer sebab dinilai berpenghasilan rendah, lagipula semangat perguruan tinggi yang ada kala itu adalah menciptakan sarjana yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya di negeri ini.

Lantas menjadi seorang sarjana kala itu jelas merupakan prestise yang sangat membanggakan. Pilihan hidup bagi sarjana kala itu hanya sebatas menjadi pimpinan perusahaan, menjadi pemilik usaha, atau menjadi ahli akademisi. Begitu cerah masa depan seorang sarjana masa itu, secerah gelar yang terpampang di belakang namanya. Maka pantaslah jika dulu ada seorang sarjana yang marah jika kita lupa menyebut gelar sarjana dibelakang namanya.

Hal tersebut sungguh sangat kontras dengan kenyataan yang ada dewasa ini. Kebanyakan sarjana yang ada kini justru rela menggadaikan ijasah dan kepandaiannya dari pintu perusahaan yang satu ke perusahaan yang lainnya hanya untuk jabatan menengah ke bawah dan bahkan tidak sedikit yang rela berdesak-desakan dalam antrian panjang untuk sekedar mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil setiap tahunnya. Dan lucunya, di perusahaan dimana Ayah saya bekerja saat ini, hanya untuk menjadi seorang salesman, perusahaan tersebut mensyaratkan calon pekerjanya untuk memiliki ijasah S1.

Jelas sekali telah terjadi kemunduran yang signifikan terhadap pendidikan nasional di negeri ini. Dan itu menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama, khususnya bagi Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Sebagai warga negara yang baik, sepatutnya Saya mendukung upaya Kemendiknas untuk membangkitkan kembali pendidikan nasional ke arah yang lebih baik. Namun sebagai seorang alumni sekaligus mahasiswa STAN yang sangat mencintai almamaternya, rasanya tidak berlebihan jika Saya meminta "Janganlah Kami yang dikorbankan".

Untuk bangsa dan almamater tercinta..

Jurangmangu, 10 Nopember 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun