" Don't Judge Me. I was Born to be Awesome. Not Perfect.."
Sebuah penggalan kalimat itulah yang ingin disampaikan dari hati yang paling dalam dari seorang anak dengan keadaan yang berbeda dengan anak pada umumnya. Anak yang membutuhkan perhatian khusus dan anak yang sama sama ingin menempuh pendidikan layaknya anak-anak pada umumnya, dan juga ingin diakui keberadaannya. Anak itu adalah anak-anak berkebutuhan khusus atau biasa disebut dengan anak inklusi.
Keadaan mereka saat ini sedang bingung dan resah melihat sistem pendidikan di Indonesia yang sedang tidak karuan. Terlebih, dengan melihat sistem pendidikan di Indonesia sedang tidak karuan, otomatis sistem pendidikan inklusi yang dibutuhkan oleh anak-anak inklusi ini juga terkena dampaknya. Sistem Pendidikan Indonesia saat ini masih seperti pendidikan yang ingin 'merobotkan' manusia.
Artinya, anak-anak saat ini hanyalah tunduk dan patuh terhadap perintah yang diberikan oleh guru, maksudnya adalah anak-anak hanya ingin belajar dari materi yang telah diberikan oleh guru. Metode tersebut disebut dengan metode hafalan. Sehingga, anak-anak tidak dapat mengembangkan dan mengemukakan jawaban dengan cara pandang mereka sendiri. Mereka cenderung akan mengemukakan jawaban hasil dari materi yang diberikan oleh guru.
Metode hafalan ini tidak hanya diterapkan pada anak normal umumnya saja, tetapi juga pada anak-anak inklusi yang bersekolah di sekolah reguler bertanda 'inklusi' maupun sekolah inklusi. Melihat keadaan sistem pendidikan di Indonesia seperti itu, bisa dikatakan pendidikan inklusi juga ikut dikatakan belum memenuhi kualitasnya.Â
Terbukti, masih ada anak-anak inklusi yang masih banyak yang kebingungan dalam menemukan sekolah lanjutan yang sesuai dan bisa menerima keadaan mereka, dan juga masih kebingungan dalam menemukan cara belajar mereka dengan bakat yang mereka punya.
Rata-rata sekolah regular yang bertanda 'inklusi', tempat mereka sekolah, guru gurunya pun masih 'melabeli' mereka sebagai anak yang nakal, terbelakang, tertinggal dalam mata pelajaran dan sampai ada Kepala Sekolah yang menampar muridnya yang inklusi ( seperti kasus di Surabaya, 4 bulan lalu ).
Merujuk pada Permendiknas No.7 tahun 2009 mengenai Pendidikan Inklusi, saya masih melihat bahwa pemerintah masih mempunyai keinginan untuk menyamakan anak anak inklusi dengan anak anak normal pada umumnya.
Keinginan tersebut dibuktikan dengan salah satu pasal di permendiknas tersebut yakni Pasal 8 Ayat 1 -- 3Â yang berbunyi Penilaian peserta didik di sekolah inklusi harus mengacu pada kurikulum yang berlaku. Peserta didik harus mengikuti ujian dan jika lulus harus memenuhi standar nasional pendidikan akan mendapatkan ijazah.
Artinya, anak anak inklusi tersebut jika ingin lulus dan melanjutkan jenjang sekolah selanjutnya, mereka mau tidak mau harus mengikuti Ujian Nasional dengan bobot soal yang sama dengan Ujian Nasional sekolah reguler lainnya, mereka harus belajar lebih keras untuk mengejar ketertinggalan dalam materi yang digunakan untuk Ujian Nasional.
Alhasil, mereka tidak mempunyai masa dimana mereka bisa mengeksplore dunia luar dengan pandangan mereka sendiri, mereka kurang bersosialisasi, mereka juga terlanjur cepat bosan dengan materi bacaan dan cara mengajar guru di sekolah. Sehingga, mereka 'moody' untuk ke sekolah kembali, kalau sekolah pun mereka juga tidak bersemangat.