Chelsea nama anakku, usianya enam tahun, kelas satu di SD Pertiwi Makassar.
-----
Saya disodorkan kertas lembar jawaban hasil ulangan Chelsea yang baru selesai ulangan semester I kelas 1. Nilainya sangat bagus, antara 85-100. Sebagai ayah, tentu saja saya bangga, sangat bangga malah. Saya menghadiahinya sebuah kecupan di pipinya. Dia sumringah dan setelah itu minta dibelikan es krim. Ritual yang pasti dilakukan oleh siapapun orang tua yang senang dengan prestasi anaknya.
Saya bukan tipe yang senang dengan angka. Saya sudah mengenyam pendidikan sudah terlalu lama, dan bahkan sempat mengajar dua tahun di sekolahku dulu. Saya tahu, angka tinggi bukan refleksi sesungguhnya dari pengetahuan. Ia hanya bayangan indah dari kerja keras yang bernama; menghapal pelajaran. Saya juga tahu kalau angka yang diperoleh di kertas jawaban tidak sepenuhnya berasal dari pengetahuan, sebagian berasal dari subyektifitas guru dan sebagian lagi dari mencontek, sebuah tradisi yang hampir dilakukan oleh semua siswa di negeri ini. sekali lagi, hampir semua!
Saya mulai membaca hasilnya. Nilai Matematikanya mendapatkan nilai 8,5 (paling rendah). Ada dua hasilnya yang salah! Saya tersenyum karena dua soal yang salah itu “seharusnya” dia tahu, mungkin sedikit terburu-buru atau malah dia tipe anak yang cuek. Lalu, saya membaca hasil test IPA tentang fungsi tubuh. Ada 10 soal, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dll. 9 soal benar kecuali satu, rambut untuk.... Chelsea menjawabnya, disisir! Guru memberi tanda salah. Ia mendapat nilai 90. Saya tersenyum. Guru benar secara normatif, tetapi Chelsea sedang menunjukkan apa yang disebut oleh Fromm sebagai pengetahuan generik. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Usianya baru 6 tahun. Dia kesulitan untuk menjelaskan fungsi rambut sebagai pelindung kepala atau sebagai mahkota kepala. Pengetahuannya tentang rambut adalah ketika setiap pagi dia disisir oleh bundanya sebelum ke sekolah. Baginya rambut fungsinya untuk disisir! Apa salah? Tentu saja tidak. Tetapi sistem pendidikan kita sangat textbook. Buku adalah ukuran kebenaran, bukan pengalaman sehari-hari.
Sekarang saya membaca hasil test bahasa Inggerisnya. Nilanya excelent, 100, benar semua! bundanya bangga dan sayatersenyum. Hasil sempurna ini membuatku justeru mencurigai sesuatu. Setahuku, Chelsea tidak pintar-pintar amat Bahasa Inggris. Sayapernah mengerjakan PR bahasa Inggrisnya dan rasanya dia tidak mungkin menguasai semuanya. Mungkin ia mencontek! Akhirnya sayapelan-pelan menanyakan ulang testnya. Ada beberapa yang dia ketahui dan ada beberapa yang ia sama sekali tidak tahu! Benar, ia pasti mencontek untuk beberapa soal. Dan ia mengsayadengan kalimat bersayap, “karena saya tidak tahu!”. Chelsea tidak perlu dihukum. Mencontek bagi saya bukan kesalahan, tetapi seni menjawab soal. Tapi pelan-pelan saya menitipkan pesan moral,” salah tidak nyontek lebih baik dari benar tapi nyontek”. Semoga kelak dia mendengar itu. Kalaupun dia nyontek, ya sudahlah! Kadang-kadang kekuasaan perlu disiasati memang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H