Mohon tunggu...
Saprillah Syahrir
Saprillah Syahrir Mohon Tunggu... -

bukan siapa - siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lokalitas; Konstruksi Orang Kota

26 November 2012   03:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:40 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lokalitas? Apakah itu? Apakah ia konstruk tentang geografi, pembagian wilayah kota-desa, desa-kampung? atau tentang orang-orang “pinggiran” yang hidup di daerah pinggir dengan tetap mempertahankan status purbakalanya ? atau tentang nilai-nilai yang diacuhkan oleh pendapat umum oleh karena sifatnya yang kampungan ? atau gaya yang tidak diperhitungkan oleh nilai global? Atau cerita tentang masyarakat yang selamanya menjadi tontonan yang “mengherankan” dan “menggelikan” di tengah rasionalitaskemoderenan? Atau komunitas kumuh nan miskin yang tinggal di pinggiran kota dengan akses ke teknologi yang lemah?

Yang jelas lokalitas adalah persoalan geo-politik (yang pincang). Ia adalah daerah jajahan, obyek, keanehan dan tentu saja kekeraskepalaan atas globalisasi. Kadang-kadang sering juga mereka disebut dengan orang bodoh, kumuh, kampungan, miskin dankarena itu tidak berhak untuk ikut dalam menentukan nilai soceity. Mereka harus mengikut, ter(di)paksa atau tidak ke tengah-tengah nilai yang telah di-baku-kan.

Lokalitas juga kadang-kadang merupakan cerita buram dari manusia-manusia yang mengelola ritualnya dengan konsepnya sendiri, yang lalu dipenggal oleh ritual modern/invensi atas nama tuhan, kekuasaan dan kemanusiaan. Orang-orang lokal dalam konstruk modernisme dan invensionisme adalah sosok-sosok tolol yang memilih jalan sesat dan menganggapnya benar. Sosok bodoh yang membiarkan dirinya tenggelam dalam kemunduran. Karena orang kota (modernis) menilai kemajuan dari sudut pandang gedung mewah, mobil, rumah, sekolah, rumah sakit, komputer, internet, televisi, baju, rambut, warna mata, mall, hotel dsb dan orang-orang lokal tidak memiliki itu. Dan agamakota mengklaim diri mereka beradab, suci, adiluhung, berwibawa. Dalam kategori ini masyarakat (berbudaya) lokal (semisal Kajang, Cerekang, Towani-Tolotang, Onto, Gantarang Keke, Bissu, Pakalu), kaum petani (miskin), kaum buruh, kaum miskin kota dan orang-orang cacat adalah lokalitas.

Cerita tentang lokalitas adalah cerita tentang (konstruksi) hitam-putih. Dalam berbagai sudut pandang kota (pusat) adalah putih dan lokal adalah hitam. Kota (pusat) adalah bersih, baik, cerdas, maju, beradab dan penentu. Sementara lokal adalah oposisi binner dari semua konstruk tentang kota. Kota adalah aktif dan lokal adalah pasif. Konstruksi hitam putih atas relasi pusat-pinggir adalah konstruksi politik atas ideologi developmentalisme. Pembangunan adalah jawaban dari “untuk mengeluarkan orang-orang tolol ini dari ketermundurannya”. Karena kota adalah konstruksi manusia (paripurna) maka konstruksi itu harus dimasukkan ke dalam wilayah lokal untuk menyempurnakan kemanusiaan orang-orang lokal. Maka dalam konteks “pemberdayaan” inilah, negara “terpaksa” melakukan penggusuran, pengaturan dan penataan wilayah (fisik) lokal dan nilai-nilai yang dianutnya. Penolakan terhadap itu adalah berarti pembangkangan hamba terhdap raja dan karena itu “tidak masalah” untuk dieksekusi.

Pada ruang yang lebih besar dengan konteks ideologi yang lebih besar pula. Apa yang diklaim sebagai pusat (kadang-kadang) sebenarnya adalah lokal dari geo-ideologi yang lebih besar. Desa menjadi lokal dari kota (kecil), kota kecil menjadi lokal dari kota besar, kota besar menjadi lokal dari kota yang lebih besar lagi.Negara non-industri menjadi lokal dari negara industri, negara dunia ketiga menjadi lokal dari negara dunia pertama dan (akhirnya) timur adalah lokal dari barat. Dimana nilai pusat secara terstruktur diproduksi dan dijejalkan baik secara hegemonik ataupun dominatif ke- yang lokal .

Konstruksi (hitam-putih, atas-bawah) ini terjadi oleh karena orang-orang pusat (kota) menguasai struktur-struktur ideologi, bahasa, politik, media, teknologi, peradaban, sejarah dan ekonomi sementara orang-orang pinggir (lokal) tidak memiliki ruang untuk itu. Dan karena struktur yang pincang itulah lokalitas dimatikan untuk kemudian di “revitalisasi” dalam berbagai wajah atau direpresentasikan dengan tidak wajar.

Negara, agama (resmi; mayoritas) dan pemilik modal (dalam arena perdagangan yang globalistik; multinasional) adalah titik-titik pusat yang senantiasa memproduksi nilai, citra, kontrol dan kuasa lewat habitus-habitus yang bertebaran dan beraneka ragam dimana-mana, mulai dari yang klasik semisal; pengajian, sekolah, undang-undang hingga yang sangat canggih semisal komputer, internet, HP dan (tunggu saja) teknologi yang akan muncul dan lebih canggih lagi. Apa yang dikatakan oleh Gramsci sebagai hegemoni, terus menerus berlangsung dan dilangsungkan di wilayah ini dalam berbagai wajah. Negara, agama mayoritas dan pemilik modal adalah penganut aliran universalisme dan esensialisme yang taat. Nilai yang dijejalkan adalah (katanya) nilai-nilai esensi yang akan merubah wajah kumuh lokalitas. Negara lewat hegemoni pembangunanisme-nya mengkoar-koarkan konsep adinegara yangmemiliki citra; bersih dari sampah, tertib, disiplin dan modern !. Maka mulailah kampanye tentang cara bertani yang modern, cara bernelayan yang modern, cara berfikir yang modern, cara bertingkah laku yang modern. Untuk mendukung proyek itu maka siapa yang bandel akan digusur dengan berbagai cara. Sudah menjadi cerita usang (namun tak berniat untuk dihentikan) penggusuran pedagang-pedagang kecil karena lahan yang mereka gunakan akan dibangun tugu lambang kebersihan kota. Penggusuran masyarakat-masyarakat miskin kota karena mengganggu “keindahan” kota. Pada titik terakhir, keindahan tata kota lebih penting dari “perut” masyarakatnya. Anehnya mereka yang telah digusur masih dipaksa lagi membayar pajak untuk mendukung proyek “keindahan tata kota tadi”. Inilah cara kerja pusat (negara). Agama dominan dengan kerangka metodologis yang tidak terlalu jauh berbeda (dengan negara) melakukan pengkuasaan atas (agama) lokal dengan mengkonstruksi nilai-nilai kebaikan dan kesalehan universal. Otoritas kebenaran dipegang sepenuhnya dan lalu sebebasnya menghakimi (keyakinan) lokalitas dengan stigma yang menyedihkan semisal musyrik, kafir, tahayyul. Dan karena itu wajib hukumnya menyadarkan mereka dari “kesalahan-kesalahan”, dengan cara apa saja. Bahkan kalau perlu menghabisinya agar wajah Tuhan (agama mayoritas) terselamatkan. Kaum kapitalis (dengan proyek globalisasi-nya) juga dengan semangat hegemoninya melakukan penaklukan dengan mengimpor begitu banyak teknologi yang mencengangkan serta lalu menyertakan nilai-nilai kultural-nya, agar eksistensi dagangannya tetap laris. Dan karena itu kaum kapitalis berusaha sekeras mungkin untuk menciptakan nilai-nilai barat-nya di Timur, tentu dimaksudkan untuk melicinkan usaha bisnisnya. Kaum kapital menciptakan citra, nilai-nilai dengan memanfaatkan sisi psikologis manusia yang gampang beradaptasi dengan perubahan kultural. Media dengan segala bentuknya menjadi instrumen penting bagi kaum kapital untuk “mendidik” calon pelanggannya. Maka lahirlah generasi-generasi baru yang terlepas dari akar kultural primordialnya dan lalu mengadopsi cara hidup, cara fikir, cara bergaya kaum penjajah. Tentu saja bersedia untuk senantiasamembeli !

......

Sekali lagi, lokalitas adalah arena politik dimana kekuasaan sang mayoritas mendapatkan legitimasinya yang kuat. Lokalitas adalah cerita suram dari kaum pinggiran yang terusir dari tanah-nya, budaya-nya atau rumah-nya. Lokalitas adalah wajah-wajah sedih yang ditampilkan untuk dikasihani, ditampilkan seeksotik mungkin dan lalu dijadikan barang antik (untuk selanjutnya dijual). Lokalitas adalah konstruksi orang-orang kota untuk mendapatkan pengakuan atas kekotaan mereka.Maka dibuatkanlah jarak yang sedemikian lebar dan kontras. Kekotaan adalah anti-kelokalan dan ke-lokalan adalah bukan-kota. Dan lokalitas adalah wujud dari ketidakadilan struktur, pemiskinan segelintir kelompok dan kemenangan (besar) sekelompok lainnya. Yang pasti lokalitas adalah penjajahan melalui pen-citra-an.

Sebutan primitif dan savage misalnya untuk menyebut orang-orang lokal yang hidup di sudut geografi yang jauh dari pusat (peradaban, dimana peta wilayah dirancang) sebetulnya adalah pencitraan negatif (sebagian ) masyarakat/intelektual Barat menanggapi catatan-catatan para pelancong tentang kegiatan-kegiatan, ritual-ritual pada wilayah-wilayah tertentu yang dikunjungi di sepanjang daratan Afrika, Asia dan wilayah luar Eropa. Primitif adalah nama lain dari segolongan komunitas yang dianggap turunan setan, yang garang, hitam dan terbelakang. Primitif dan savage adalah oposisi binner dari (masyarakat) Eropa yang bersih, putih dan “anak-anak Tuhan”. Primitif (non Eropah) adalah setan sementara eropa adalah malaikat. Karena itu kaum malaikat ini “merasa” berkewajiban atas nama Tuhan sang maha bersih untuk mensucikan, men-civilizied-kan masyarakat setan tadi agar menjadi seperti masyarakat eropa, maka lahirlah kolonialisme!

Primitifisasi masyarakat timur- non Eropaadalah bentuk politik pengetahuan yang dilakukan oleh intelektual eropa untuk melanggengkan identitas ketercerahan dan kemajuanmereka. Masyarakat Eropa yang terlanjur memiliki ukuran tentang dirinya dan membutuhkan pengakuan universal. Sehingga hal-hal alamiah yang membarengi perkembangan suatu bangsa dianggap terbelakang. Bagi masyarakat modernis Eropa kemajuan adalah teknologi dan teknologi adalah kemajuan. Bangsa/komunitas yang tidak hirau pada hiruk pikuk teknologi adalah bangsa terbelakang, bangsa kumuh yang “wajib” untuk dicerahkan. Pada ruang ideologis ini, kolonisasi bangsa Eropa terhadap bangsa Asia dan Afrika dilangsungkan. Kolonisasi adalah proyek pencerahan ala Barat.

Kolonisasi nampaknya menjadi kata kunci yang menjawab semua bentuk relasi antara “yang (di) pusat” dan “yang (di) pinggir (kan)”. Kolonisasi adalah penaklukkan dan penjejalan nilai-nilai asing melalui cara-cara yang dipaksakan. Para koloniialis selalu mengklaim diri sebagai messias yang menjadi juru selamat, yang akan mengeluarkan manusia (pinggir) dari keterpurukan dan keterbelakangannya. Kolonialis selalu melakukan cara-cara paksa untuk memuluskan tujuan politiknya. Sudah menjadi cerita usang bagaimana Belanda melakukan pemaksaan-pemaksaan kehendak terhadap bangsa ini selama beratus-ratus tahun, begitu pula Jepang dengan adagium “saudara tua”-nya.

Kolonialisme tetap dilangsungkan meskipun era penjajahan telah usai. Kali ini aktornya adalah negara dan pemilik modal. Dengan logika yang sama (dengan penjajah sebenarnya) seorang pemilik modal memaksakan kehendaknya untuk memiliki tanah rakyat untuk menunjang bisnisnya. Kasus ini banyak terjadi di Indonesia. Dan tak jarang kasus-kasus ini melibatkan kerusuhan yang berkepanjangan.Dalam konteks itu kata penggusuran, penertiban menjadi dominan dalam kamus pembangunan negara ini.

.....

Lalu benarkah lokalitas adalah daerah mati yang tidak memiliki “modal” untuk aktif/vital? Dan benarkah lokalitas senantiasa pasrah dengan apa yang dituduhkan oleh pusat? Menurut Homi K.Baba (1994;85-92), hubungan antara pusat dan lokal tidaklah melulu cerita tentang “pengorbanan”, kepasrahan dan ketidakberdayaan, tetapi mimikris. Mimikri melahirkan salinan kabur dari apa yang ditiru. Dengan kata lain, hubungan antara pusat dan periferi adalah hubungan yang ambivalen. Disitu ada peniruan, namun juga ada sisi pengejekan dan bahkan resistensi. Ikut pula Ashis Nandy (Sardar dan Van Loon,2001;87) menimpali bahwa masyarakat tradisional punya kemampuan untuk hidup dengan ambiguitas budaya dan menggunakannya untuk membangun pertahanan psikologis dan bahkan pertahanan metafisik, melawan invasi budaya.Dua ilmuwan ini ingin menunjukkan bahwa lokalitas bukanlah cerita tentang wilayah yang mati, tetapi hidup dan berdialektika dengan lingkungan, nilai purbakala, alam semesta dan psikologi-nya. Lokalitas memiliki aturan-aturan sendiri tentang nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai teologis dan nilai-nilai kehidupan. Dan karena itu lokalitas memiliki semua persyaratan untuk disebut sebagai “ cerdas, beradab, putih, arif dan penentu” seperti yang dimiliki oleh kota.

Satu-satunya kesalahan yang dimiliki oleh lokalitas adalah karena ia berseberangan dengan mainstream yang sedang dominan. Mereka tidak memiliki ruang (politik) untuk merepresentasikan dirinya. Mereka tidak punya akses untuk ikut serta dalam pergulatan nilai-nilai dominan oleh karena stigmatisasi yang cenderung aksiomatik melekat pada diri mereka. Orang-orang kota tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang lokal memiliki kemampuan yang “setara” dengan mereka. Sang raja tidak pernah mengizinkan atau merelakan statusnya disamakan dengan hamba. Raja adalah raja dan hamba adalah hamba.

Karena ruang (akses) yang kosong itulah hingga (terpaksa) orang-orang lokal melakukan resistensi (diam-diam) terhadap pusat. Kekuatan politik mereka yang hampir-hampir tidak ada menyebabkan mereka melakukan cara lain untuk menaklukkan kekuatan besar yang hendak mendominasi nilai mereka.Boleh saja mereka mengadopsi nilai pusat tetapi tidak melenyapkan begitu saja nilai-nilai lokal mereka. Komunitas lokal boleh menerima satu bentuk agama resmi tetapi membarengi gerak ritual agama resmi tersebut dengan menyertakan ritus mereka yang telah meng-ada sejak “sejarah” manusia (versi mereka) terbentuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun