Populisme di Indonesia: Tantangan dan Ancaman
Populisme yang menjadi suatu gejala 'kronis' dalam demokratisasi di Indonesia tentu harus diwaspadai. Jika merujuk definisi dari Professor Cas Mudde dari University of Georgia, populisme diartikan sebagai "thin ideology in that it only speaks to a very small part of political agenda" (ideologi tipis yang didalamnya hanya membahas tentang sebagian kecil dari agenda politik). Sehingga, populisme bisa disejajarkan dengan ideologi yang telah marak terjadi dalam banyak sejarah politik di kancah global seperti sosialisme, fasisme, dan nasionalisme.
Meny dan Surel (2002) memberikan pandangan terhadap aspek-aspek esensial tentang populisme diantaranya; pertama, rakyat adalah segalanya, perasaan sebagai komunitas kolektif lebih ditekankan, segregasi sosial-horizontal dan pembelahan ideologi Kanan-Kiri kurang ditonjolkan, tapi justru menekankan pada "konflik" vertikal untuk membadakan rakyat versus elit.
Kedua, kaum populis lebih menitikberatkan aspek pengkhianatan elit terhadap rakyat melalui modus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain; dan, Ketiga, tuntutan kaum populis agar primacy of the people direstorasi melalui penempatan pemimpin kharismatik yang menyuarakan hati nurani rakyat.
Dalam penjelasan ini, populisme menjadi syarat dalam kemajuan demokrasi apabila diakomodasi dengan strategi yang jauh lebih illiberal atau mendapatkan atensi penuh dari publik untuk menggerakan kekuasaan dan terdapat ruang bagi pemimpin kharismatik sebagai representasi dari rakyat dalam mewujudkan kepentingannya.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Herry Priyono memberikan pandangan "fenomena populisme di Indonesia sengaja dipelihara oleh kelompok-kelompok politik maupun agama yang ingin berkuasa". Populisme akhirnya akan menjadi racun demokrasi jika tesis tersebut benar terjadi dan akan berdampak destruktif seperti menghancurkan Kebhinekaan yang telah diamanatkan dalam Pancasila, serta menggagalkan agenda pro-demokrasi.
Tanggapan kritis lain juga diutarakan oleh Burhanuddin Muhtadi selaku Peneliti Senior Indikator Politik Indonesia mengatakan bahwa "Potensi migrasi dukungan basis populisme Islam di 2024 apakah masih sesolid pada Pemilu 2019?". Hal ini bisa ditinjau dari strategi pemerintah yang telah 'menumpaskan' membuat kelompok ekstremis atau populisme Islam yaitu Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan.
Populisme bisa berwujud atau berkamuflase menjadi beberapa rupa seperti strategi politik seperti kampanye, program, maupun gerakan dan gaya politik. Ciri khas utama populisme ialah mencoba menentang status quo rezim yang berkuasa dengan berpihak sepenuhnya narasi-narasi kerakyatan atau mendukung majority atau mereka yang dikuasai agar memantik daya tarik kepada calon penguasa baru atau penguasa yang menduduki kekuasan.
Calon populis biasanya selalu membawa jargon populis seperti menyejahterahkan kehidupan rakyat, memberantas korupsi, anti-monopoli atau pasar bebas, dan banyak lainnya demi menarik dukungan dari publik.
Populisme tidak hanya sebatas wacana yang mengudara di ruang-ruang publik, melainkan juga menjadi trigger dari timbulnya gerakan sosial di suatu negara. Populisme juga mewujudkan dirinya sebagai metode, strategi, dan taktik dalam komunikasi politik.
Sejatinya, narasi populisme memiliki value pragmatis. Nilai-nilai yang selalu diangkat oleh para pemimpin populis selalu berseberangan dengan status quo dan membawa mayoritas rakyat yang diabaikan oleh para elit. Akan tetapi, dalam posisi yang destruktif, populisme bisa diartikan sebagai senjata berupa propaganda, stigmatisasi, dan teror yang dilekatkan dengan identitas individu maupun kelompok. Populisme kian eksis apabila demokrasi menghadapi krisis.