Kebebasan beragama di bumi Pancasila kembali terusik dengan peristiwa-peristiwa Intoleransi. Tidak lama dari peristiwa penyerangan terhadap keluarga Umar Assegaf (pengikut Syiah) di Solo pada 8 Agustus 2020, telah terjadi lagi peristiwa memprihatinkan di Mojokerto.Â
Peristiwa yang terjadi adalah terbitnya surat pelarangan meneruskan renovasi rumah tempat berdoa umat Kristen di desa Ngastemi, dengan alasan kegiatan beribadah umat kristiani telah meresahkan warga. Pelarangan dimaksudkan untuk menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan antar umat beragama.
Mudahnya pelarangan itu selalu berlandaskan pada SKB dua menteri (Mendagri dan Menag) terkait pendirian rumah ibadah. Memenuhi tuntutan SKB itu sangat berat dirasakan kelompok-kelompok minoritas, di sisi lain masyarakat kita memang masyarakat religius tidak bisa melepaskan rumahnya dari kegiatan-kegiatan keagamaan.Â
Sebagai contoh Yasinan, Tahlilan, Silaturahmi, halal bi halal, dan pertemuan keagamaan lainnya tidak selamanya harus dilaksanakan di rumah ibadah formal seperti, mesjid, langgar atau mushola.
Pemikiran serupa pasti menjadi argumentasi saudara-saudara non muslim. Kenapa Umat Islam boleh berkegiatan keagamaan di rumah, sementara umat yang lain tidak boleh. Padahal mereka juga melakukan hal yang intinya sama berdoa kepada Tuhan. Inilah yang masih menyisakan bermacam-macam tanya,Â
Apakah ada semacam memfavoritkan mayoritas di atas minoritas?, Apakah dibenarkan dengan alasan stabilitas keamanan menghentikan atau membubarkan kegiatan keagamaan orang lain?. Dua pertanyaan mendasar yang masih debatable karena kenyataannya belum memenuhi rasa keadilan, lagipula negara kita bukan negara agama, konstitusi kitapun mengamanatkan untuk musyawarah yang berkeadilan.
Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain, tetapi mari kita fokus membahas dua pertanyaan saja. Apabila terjadi upaya semacam memfavoritkan mayoritas di atas Minoritas, maka selamanya akan terjadi tirani mayoritas yang berkepanjangan. Konstitusi sehebat apapun tidak akan berguna.Â
Contoh rilnya umat Islam yang kebetulan mayoritas di suatu kawasan bisa menekan kelompok minoritas lain, mulai dari intimidasi, ancaman, hingga tindakan fisik berupa pengrusakan, menghentikan dan atau membubarkan kegiatan agama yang lainnya.Â
Masih dalam kasus yang sama, beberapa daerah di Indonesia Timur umat Islam mengalami hal yang sebaliknya, karena Islam bukan mayoritas maka mereka mengalami kesulitan yang sama seperti umat lainnya di daerah mayoritas Muslim. Â Jika hal ini di biarkan berlaku seperti itu, bukan tidak mungkin anak cucu kita tidak lagi mengenal Indonesia.
Yang kedua, jika hanya stabilitas keamanan yang menjadi alasan bisa menghentikan kegiatan keagamaan orang lain, maka bisa dipastikan pemenuhan terhadap hak-hak dasar manusia akan terbengkalai. Hemat penulis dalam isu-isu toleransi basisnya bukan stabilitas keamanan semata, tetapi pemenuhan terhadap hak asasi manusia.Â