Allah berfirman
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۗ َ
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah".
Tafsir al-Thabari mengabarkan telah terjadi perbedaan pendapat siapa yang dimaksud dalam ayat di atas. Sebagian mengatakan ayat itu ditujukan kepada Musailamah. Sebagian lagi mengatakan ditujukan kepada Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah. Kita fokus pada nama yang terakhir, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah merupakan sahabat Rasulullah bahkan dipercayakan untuk menulis wahyu. Kemudia ia berbalik menjadi murtad dan kafir dan mengumumkan kemurtadannya terhadap Islam serta berbalik pada kelompok orang-orang kafir Quraisy di Kota Makkah.
Dalam kemurtadannya, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah ditanya oleh para kafir musyrikin terhadap pengalamannya pernah diminta untuk menuliskan wahyu, dengan bangganya Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah mengatakan “ternyata Nabi Muhammad itu dapat aku “bodohi”. Ketika dia mengimlakan kepadaku ayat [حكيم عزيز] “Aziizun Hakim” aku justru menuliskan [حكيم عليم] “Alimun Hakim” dan Muhammad mempercayainya begitu saja”. Tentu saja hal itu dimaksudkan untuk menghina Rasulullah dan menistakan Al-Quran.
Lalu apa yang dilakukan Rasulullah terhadap Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah? Dalam Tafsir Al Qurthubi, dijelaskan apa yang terjadi kepada Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menerima permintaan maaf Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah dan menerima bai’atnya kembali.
Peristiwa yang terjadi kepada Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah merupakan contoh bagaimana Islam memperlakukan musuhnya. Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah telah murtad, mempermainkan ayat Al-Quran yang diturunkan Allah kepada Rasulullah, bahkan setelah murtad pun, ia masih menghina Rasulullah. Akan tetapi dari semua keburukan yang telah dilakukan Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah, Rasulullah tetap memafkannya. Padahal ketika Fathul Makkah, kekuatan Ummat Islam sungguh luar biasa dibandingkan kaum kafir. Tetapi Rasulullah tidak menggunakan kekuatan Umat Islam yang sedemikan besar itu untuk menghukum Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah, dengan segala perbuatan buruknya.
Bertahun-tahun setelahnya, pada masa Khalifah Utsman, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah diangkat menjadi Gubernur Mesir pada tahun 25 H. Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah menaklukkan Afrika tahun 27 H dan Nuba pada tahun 31 H. Kemudian ia juga yang menaklukkan Pasukan Romawi dalam pertempuran Sawari di tahun 34 H. Setelah itu, menurut riwayat Yazid bin Abi Habib dan lainnya, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah menetap hingga wafatnya di Ramlah. Di penghujung hidupnya, Abi Sarah berdoa: ” Ya Allah jadikan shalat subuh ku sebagai amalan terakhirku. Dia berwudhu dan shalat. Pada rakaat pertama beliau baca surat al-Fatihah dan al-‘Adiyat, di rakaat kedua membaca al-Fatihah dan surat lainnya, lantas hendak mengakhiri shalatnya dengan mengucap salam ke kanan, dan beliau wafat sebelum mengucap salam ke kiri.
Penaklukan Islam tidak hanya dilakukan dengan pedang, juga tidak hanya dengan menunjukan kekuatan. Penaklukan Islam juga dilakukan dengan kelembutan. Masih ingat bagaimana Umar bin Khattab, dimana awalnya merupakan orang yang membenci Islam menjadi salah satu pembela Islam yang paling utama, tidak dengan pedang, tetapi dengan keindahan ayat Al-Quran. Umar bin Khattab dan Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah adalah contoh untuk kita bagaimana Islam melihat orang-orang yang telah memusuhi Islam.
Begitu juga kita seharusnya melihat penistaan Islam yang telah dilakukan Ahok. Wajar bila kita marah, tetapi mari kita lihat contoh yang telah terjadi kepada Umar bin Khattab dan apa yang dilakukan Rasulullah terhadap Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah. Bagaimana keduanya berbalik, dari musuh Islam, menjadi pembela Islam, karena Islam tidak melihat mereka sebagai musuh, tetapi sebagai obyek dakwah.
Wallahu a’lam bissowab