"Paling ini tambahan saya," sambil menunjukkan kue croissant.
Pantas rata-rata mahasiswa turun dari metro yang tak jauh dari Fakultas Sastra, Seni, dan Humaniora, langsung menyerbu kafe yang berada di samping perpustakaan.
"Saya tak sempat sarapan pagi karena keluar dari rumah pukul 5:15," sambil menunjukkan segelas kopi dan roti.
Lama kemudian, hampir genap satu tahun, saya pun mengamini: ngopi memberi inspirasi dan obat mujarab saat sedang tidak mood berkencan dengan buku.
Rupanya, jutaan nyawa warga negeri ini ada di cangkir kopi. Tanpa kopi negeri ini seperti negeri mati, tanpa kopi gang-gang perumahan akan sunyi: tak ada adu mulut pemain kartu yang kalah, tanpa kopi tak ada asap chicha mengepul. Dan, pengangguran semakin menjamur-- meski warkop sendiri terkadang jadi terminal para pengangguran, setidaknya ia menyediakan lapangan pekerjaan untuk pelayan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H