Mohon tunggu...
A Muntaha Afandie
A Muntaha Afandie Mohon Tunggu... Administrasi - Berkelana di padang kata dan samudera makna

Alumnus International Islamic Call College, Libya. Kini, sedang konsentrasi pada kajian Linguistik Arab Modern, Program Pascasarjana Universite de la Manouba. \r\n\r\nBelajar menulis di blog pribadi: www.muntahaafandi.web.id\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jutaan Nyawa di Cangkir Kopi

21 Mei 2015   21:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya, jutaan nyawa warga negeri ini berada di cagkir kopi.

Saya datang di Tunisia tanggal 28 Desember 2013, sepekan sebelum ujian semester satu. Telat! Bahkan proses herregistrasi saya baru selesai satu hari sebelum ujian. Sebab, prosesnya harus ke Kemendikti, baru ke kampus.

Hampir saja saya tidak bisa ikut ujian karena KTM belum keluar. Alhamdulillah, Tuhan selalu berpihak pada penuntut ilmu: setelah lobi sana-sini, mulai shu'un thalabah (bagian kemahasiswaan) sampai dekan, saya bisa masuk ruang ujian dengan surat sakti katib am. Alhasil di hari pertama ujian saya telat masuk. Ngenes.

Itu terjadi di bulan Januari 2014. Januari merupakan puncak musim dingin di negeri ini. Berbalut selimut dan jaket tebal, plus bantal, merupakan godaan terberat! Tapi saya harus melawan! Bagiku ini bagian dari "jihad akbar", melawan nafsu. Jarak kampusku, di Provinsi Manouba, dan tempat kosanku, di Tunis, menuntutku bangun pagi.

Saat sebagian masjid masih memutar kaset (sebagian besar suara asli) azan subuh, saya sudah memperagakan jurus saipi angin Arya Kamandanu: berjingkrak-jingkrat menuju stasiun metro terdekat. Malam lebih panjang di musim dingin negeri empat musim.

Awalnya, saya berpikir pukul 6:30 lebih beberapa menit masih terlampau dini untuk beranjak pergi kebalik daun pintu. Ternyata dugaanku salah, setelah kaki meninjak pasar tradisional Sidi Bechir, pedagang kaki lima sudah mulai menata barang jualannya. Mengadu nasib, mengais recehan.

Saya sempat tertegun beberapa saat. "180° terjungkir dari kondisi Libya, negeri asing pertama tempat saya mengarungi pengembaraan intelektual," bisikku pada angin pagi.

Ya, negara tetangga yang sedang "menikmati" huru-hara pasca-Qaddafi, virus malasnya sudah menembus--melampaui--tulang sumsum. Entah sudah menjalar kemana (mana).

Namun, kekaguman saya pada keuletan orang Tunis mengais rezeki, tiba-tiba terusik setelah kaki melangkah beberapa meter. Tak jauh dari pusat kemacetan akibat pasar tradisional itu terdapat café le parlemént, sudah padat penghisat asap dan cairan hitam atau hitam kecokelatan: chicha dan kopi. Kafe penuh. Begitu juga ketika saya pulang, terkadang menjelang magrib, kursi-kursi kafe itu masih sulit bernafas karena diduduki pantat-pantat big size.

Pemandangan semacam ini, saya saksikan saban lima hari dalam seminggu. Hari kuliah. Kafe le parlement bukan penampungan tunggal penikmat kopi di pagi sampai malam hari. Masih ada lagi di dekat tempat tinggal saya dan dekat stasiun Barcelone.

"Itulah sarapan pagi kami," kata seorang teman ketika kutumpahkan rasa penasaranku padanya. "Saya sendiri sangat suka kopi. Adalah keharusan meminjm kopi sebelum masuk ruang belajar," lanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun