Mohon tunggu...
santri kreatif
santri kreatif Mohon Tunggu... Belajar -

Predikat terbaik adalah " Sebaik-baik manusia yaitu yang bermanfaat bagi orang lain."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Pesantren

13 Mei 2019   21:00 Diperbarui: 13 Mei 2019   21:04 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anak Pesantren

Hari sudah terlampau sore, mentari sebentar lagi akan tenggelam. "Teeett. . . teeett. . .", terdengar suara bel yang berarti waktu istirahat sudah berakhir. Seorang anak laki-laki yang menuntut ilmu disebuah pondok Pesantren dengan tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya, yaitu mencuci pakaiannya disebuah kolam yang letaknya tidak jauh dari asrama tempat dia tinggal.

"Akbar . . . ! Lekas kamu selesaikan pekerjaanmu itu !", terdengar seruan ketua asrama memanggilnya. "Iya kak, tanggung nih, tinggal satu lembar lagi", sambil memperlihatkan baju yang dicucinya. Akbar nama panggilan anak itu, yang usianya mulai remaja.

"Setelah selesai mencuci pakaian, aku mandi dulu, menjemur pakaiannya nanti sajalah", gumamnya dalam hati. Akbar masuk lewat pintu belakang asrama, dengan meletakkan handuk dibahunya dan ditangannya membawa perkakas mandi. Tak dihiraukannya pandangan geram ketua asrama yang sedang menunggu dipintu depan, siap untuk mengunci pintu.

Setelah selesai mandi, Akbar kemudian menutup pintu belakang, lalu segera memasang seragam dan mengambil kitab. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar asrama. Dibiarkannya kancing bajunya yang belum terpasang. Tiba-tiba dia bertemu dengan kak Adam. Dengan ekspresi geram, seakan kak Adam ingin menyampaikan sesuatu kepada Akbar. "Setelah magrib kamu berdiri dimushala!", kata kak Adam ketua asrama yang bawel itu.

"Hah, kenapa kak ?" sahut Akbar protes.

"Salahmu sendiri, sering terlambat !, teman-temanmu sudah selesai mengerjakan pekerjaannya, cuma kamu yang selalu terlambat dibanding mereka!" Akbar terdiam, tak berani menjawab. Yah, begitulah hari-harinya di Pesantren, selalu diimpit waktu, sering terlambat, dan disanksi adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan olehnya.

Keesokan harinya, dikelas, Akbar tampak mengantuk sekali, namun selalu ditahannya, sebab dia duduk paling depan. Tidur dihadapan Ustadz yang sedang mengajar tentu penghinaan, dan dia tidak ingin menerima ganjaran karena melakukan penghinaan tersebut.

Tak ayal, begitu waktu pulang tiba, Akbar langsung berlari ke asrama dan langsung menjatuhkan tubuhnya yang kurus itu ke kasur. Meskipun menurut teman-temannya kasur tersebut sangat bau, tapi dia tidak pernah merasakannya, baginya kasur itu adalah surga.

Adzan berkumandang, mengalun merdu. Waktu zuhur telah tiba. Namun didalam hati, Akbar berpikir, "Ah, iqamatnya masih lama, paling tidak 20 menit lagi, waktu yang lumayan cukup untuk memuaskan kantukku."

Tiba-tiba kak Adam menghampiri Akbar yang sedang rebahan tampak mengantuk sekali. Ditatapnya akbar yang lagi tiduran.
"Akbar, cepat bangun, sudah iqamat !", sayup-sayup terdengar kak Adam membangunkan. Akbar yang dari tadi terjaga dari tidur tidak merasa panik, sebab hanya perlu meraih sajadah, dan berlari menuju kolam untuk berwudhu, lalu masuk ke musala. Asrama tersebut letaknya tidak jauh dari musala, sehingga hanya dalam beberapa menit dia sudah mengangkat takbir tanpa masbuk.

Namun, karena tidur terlalu pulas, dia tidak tahu apa-apa lagi, suara kak Adam tidak dapat dia dengar. Merasa Akbar akan bangun, kak Adam kemudian pergi, padahal Akbar sedang tidur dengan pulasnya.

"Assalamu'alaikum warahmatullah. . .", pertanda shalat sudah selesai, Akbar sadar bahwa suara dari mik tersebut adalah suara pertama yang didengarnya saat dia bangun dari tidur siang. Dan sesuatu yang pertama dilihatnya adalah wajah kak Rahman, staf keamanan yang sedang kontrol. Akbar langsung bangkit dari tempat tidur, dilihatnya jam dinding yang tergantung diatas pintu. "Oh, tidak! Aku tidak shalat zuhur berjamaah" bisiknya dalam hati.

Kak Rahman akhirnya mengetahui hal tersebut, kemudian menghampiri Akbar dan bertanya, "Kenapa saat shalat zuhur tadi kamu tidak terlihat dimushala? apakah kamu tidak ikut shalat berjama'ah?"

"Maaf kak, tadi saya ketiduran." Akbar tertunduk malu.
"Kali ini kamu kakak maafkan, lain kali kalau kamu terlambat lagi, kamu akan diberi sanksi, kamu mengerti ?", kak Rahman memperingatkan.

"Mengerti kak." Akbar mengangguk.
"Sekarang, cepatlah kamu shalat." Tegas kak Rahman.
"Baik kak, maafkan saya ya kak",
"Berdo'a dan minta ampunlah kepada Allah bukan kepada kakak, ayo cepetan shalat gi, entar keburu ashar lho."
"Iya kak." Akbar bergegas ke kekolam untuk berwudhu dan berlari menuju mushala.

Penulis: Santri 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun