Desa Giyombong merupakan salah satu desa di Kabupaten Purworejo yang secara administratif berada di Provinsi Jawa Tengah. Desa ini terletak di dataran tinggi yang dikelilingi lereng pegunungan dengan ketinggian sekitar 800 – 1.300 meter diatas permukaan air laut. Letak Desa Giyombong yang berada di ujung Kecamatan Bruno yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo masuk dalam lingkup letak astronomis Kecamatan Bruno yang berada pada 1090 57’ 11” BT dan 070 36’ 11” LS. Secara topografis Desa Giyombong merupakan daerah iklim tropis basah rata-rata suhu keseharian dengan suhu antara 19 0C – 25 0C dengan rata-rata tingkat kelembaban 73%. Luas wilayah Desa Giyombong sekitar 1.133.000 m2 (113,3 ha), yang terdiri dari 4 wilayah (komunal) yaitu Giyombong Lor, Giyombong Kidul, Kaligede dan Mentasari.Desa Giyombong terdiri dari 4 RW dan 12 RT dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 323 keluarga.
Desa Giyomnong yang terletak di dataran tinggi tidak memungkinkan untuk ditanami padi, oleh karena itu karena kesadaran masyarakat akan kebutuhan pangan sehari-hari mereka mengonsumsi singkong yang biasanya di buat leye. Leye berbentuk butiran kecil seperti beras dengan warna cokelat bening tanpa berbau dan mampu bertahan hingga lama. Komoditas paling utama di Desa Giyombong adalah Singkong dengan luas lahan adalah 161 ha dan rata-rata sekali panen mencapai 9,5 kuintal/ha atau total keseluruhan 1.545,6 kuintal dalam sekali panen, dengan sifat panen satu tahun sekali, tepatnya 9 bulan sekali panen. Jumlah rumah tangga di Desa Giyombong adalah 323 rumah tangga, dengan rata-rata 4,78 kuintal/panen setiap rumah tangga mampu untuk mencukupi pangan secara keseluruhan dan keberlanjutan. Jenis singkong yang di tanam di kebun ada empat jenis yaitu singkong jawa randu, singkong ketan, singkong jawa putih dan singkong jawa ireng. Masing-masing jenis singkong tersebut tidak semuanya bisa dibuat menjadi leye dan kualitasnya berbeda-beda. Seperti singkong jawa randu adalah jenis singkong yang sangat cocok untuk diolah menjadi leye dengan warna khas agak kekuningan bersih. Singkong ketan tidak dapat diolah menjadi leye melainkan diolah menjadi makanan tradisional gethuk lindri, sedangkan hasil leye yang terbuat dari singkong jawa putih dan jawa ireng hasilnya berwarna putih bersih tapi rasanya kurang enak dari pada leye yang terbuat dari singkong jawa randu.
Sebagian besar masyarakat yang mengonsumsi leye adalah mereka yang sudah remaja dan juga para lansia, sedangkan anak-anak terkadang juga mengonsumsi leye. Akan tetapi karena rasa kasih sayang orang tua kepada anaknya, mereka sebisa mungkin mengusahakan anak-anaknya makan nasi seperti layaknya anak-anak lainnya. Hal ini di dukung dalam pemahaman untuk memenuhi energi sehari-hari, manusia membutuhkan 2 gram karbohidrat per kilogram berat badannya, sedangkan leye dalam 100 gram mengandung 80 gram karbohidrat. Sedangkan konsumsi sehari-hari masyarakat desa Giyombong adalah leye yang disajikan dalam satu piring dengan rata-rata mencapai berat 200 – 300 gram. Kandungan gizi yang terkandung dalam leye dapat dilihat dari tabel berikut.
Kandungan Gizi Leye per 100 gram
No.
Jenis Kandungan
Jumlah
1.
Karbohidrat
80 gram
2.
Protein
1,5 gram
3.
Lemak
0,3 gram
4.
Kalsium
33 mg
5.
Vitamin A
0 UI
6.
Fosfor
61 mg
Sumber: Hasil Uji Laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan Prov Jawa Tengah tahun 2012
Secara tidak langsung para lansia telah menjaga nilai budaya lokal yang berwujud pola konsumsi pangan lokal sampai sekarang di Desa Giyombong. Mereka mengaku lebih enak dan kenyang jika makan leye. Ketika bulan puasa, terkadang mereka makan leye tersebut untuk santapan sahur dan berbuka serta ada selingan makan nasi setiap 4 – 5 hari sekali. Berbeda dengan hari biasa konsumsi mereka sebagian besar adalah leye. Menurut pengakuan warga setempat masih kenyang makan leye dari pada maka nasi. Mereka merasa belum sarapan ketika mereka tidak mengonsumsi leye. Menurut penuturan masyarakat setempat jika mereka sarapan dengan leye, mereka dapat bekerja di kebun hingga sore hari sekitar jam 15.00. Berbeda dengan ketika mereka sarapan dengan nasi, mereka akan merasa lapar sebelum waktu makan siang atau sekitar jam 11.00.
Masyarakat Desa Giyombong merupakan sekelompok orang yang mempunyai aturan baik secara adat maupun hukum formal. Hasil penelitian yang dilakukan pada sekelompok individu di Desa Giyombong membagi faktor terwujudnya kearifan lokal dalam pemenuhan kebutuhan pangan di daerah tersebut. Peneliti membagi secara analisis deskriptif mengenai pembentukan kearifan lokal dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Desa Giyombong sangat erat hubungannya dengan faktor esensial (essential factor) yaitu rumah tangga, alam dan lingkungan sosial ekonomi dan budaya (sosekbud). Selain itu juga terdapat faktor penyangga (buffer factor) seperti adanya kebijakan pemerintah dan teknologi.
Pola dasar pembentukan kelembagaan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal di Desa Giyombong terdiri dari 3 komponen utama, yaitu kearifan lokal, produksi dan konsumsi.
1.Kearifan Lokal
Bentuk kearifan lokal yang ada di Desa Giyombong adalah ketika musim panen singkong, lahan tersebut tidak hanya didiamkan saja. Rata-rata dari mereka menanami lahan tersebut dengan batang singkong dan juga menanam beberapa tanaman lainnya seperti jahe gajah, cabai, sayuran dan sebagainya. Penanaman secara berkelanjutan tersebut mampu memenuhi kebutuhan singkong secara terus menerus. Bentuk kearifan lokal lainnya adalah seringnya masyarakat yang melakukan penyiangan di kebun singkong mereka secara terus menerus setiap hari dimulai dari jam 9 pagi hingga jam 2 atau 3 sore. Selepas dari kebun (atau wono masyarakat menyebut kebun) seorang ibu biasanya membawa daun singkong muda atau sayuran lainnya untuk di masak sebagai makan keluarga.Kearifan lokal yang terwujud di Desa Giyombong dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor esensial (essential factor) dan faktor penyangga (buffer factor).
1)Faktor Esensial (essential factor)
a.Rumah Tangga
Pola kelembagaan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga di Giyombong adalah pergeseran peran anggota keluarga. Hubungan ayah dan ibu adalah sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab secara bersama-sama untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Garis tanggung jawab berarti mereka mempunyai ikatan tanggung jawab baik ayah terhadap ibu atau sebaliknya serta ayah dan ibu terhadap anaknya. Sedangkan peran anak mendominasi sebagai pihak yang membantu orang tua dalam melaksanakan pekerjaan, seperti membantu ibu di dapur menyiapkan makanan, mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan tidak sedikit dari mereka yang bekerja untuk mencari uang jajan tambahan atau membantu orang tua mencari uang tambahan hidup sehari-hari. Jika dalam satu rumah tangga terjalin hubungan seperti itu, maka pemenuhan pangan dalam satu rumah tangga akan terwujud sesuai dengan harapan tanpa adanya kekurangan.
b.Alam
Alam merupakan sebuah kondisi di mana masyarakat dituntut untuk bisa tetap hidup dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh daerah tempat tinggalnya, hal tersebut juga berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam, bagaimana manusia tersebut bisa memelihara dan memanfaatkan alam sekitar untuk keberlangsungan hidupnya. Kegiatan pemeliharaan dan pemanfaatan lahan di daerah tinggi dan dingin dapat dilakukan oleh masyarakat Desa Giyombong secara terus menerus, sehingga tercipta keserasian antara manusia dengan alamnya.Daerah tersebut tidak memungkinkan untuk ditanami tanaman padi dan sejenisnya. Selain itu kontur tanah yang bertebing dan merupakan daerah longsor. Akan tetapi, masyarakat setempat mampu bertahan hidup di Desa Giyombong dikarenakan mereka mampu mengolah dan memanfaatkan lahan yang ada dengan ditanami singkong, jahe gajah, kopi dan sebagainya.
c.Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya (Sosekbud)
Merupakan lingkungan yang sifatnya hubungan antar masyarakat, di mana lembaga sosial, budaya dan ekonomi menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk saling berinteraksi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kegiatan sosial yang mencangkup kegiatan keorganisasian baik yang bersifat formal seperti pengurus desa atau rukun warga dan rukun tetangga untuk menciptakan kehidupan yang tenteram dan nyaman. Kegiatan ekonomi mempunyai peranan penting bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat Desa Giyombong, adanya warung mempermudah pemenuhan kebutuhan dapur setiap rumah tangga. Sedangkan kegiatan budaya berkaitan dengan adat istiadat masyarakat setempat serta kebiasaan perilaku dalam bermasyarakat, kehidupan yang harmonis serta sopan dan santun terhadap penduduk Giyombong ataupun penduduk pendatang.
2)Faktor Penyangga (buffer factor)
a.Kebijakan pemerintah
Untuk mewujudkan penguatan kelembagaan ketahanan pangan yang berbasis kearifan lokal tersebut, modal dasar yang dimiliki oleh masyarakat Desa Giyombong adalah semangat gotong royong untuk selalu melanjutkan sistem tumpang tindih dalam menanam singkong dan beberapa tanaman lainnya. Selain itu modal itu juga di dukung oleh pemerintah Kabupaten Purworejo dalam bentuk penyuluhan dan bantuan bibit singkong, jahe gajah dan sebagainya untuk mendongkrak ekonomi kerakyatan. Akan tetapi dalam melaksanakan usaha penguatan kelembagaan tersebut, ada beberapa masyarakat yang sudah bergeser pola pikirnya yang menganggap serta menuntut sistem tanam di Giyombong agar di ganti selain singkong, melainkan semacam jenis padi atau sayuran lainnya yang bisa menghasilkan pendapatan.
b.Teknologi
Teknologi merupakan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat, baik secara teknologi modern maupun tradisional. Bentuk dukungan teknologi dalam kearifan lokal dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal di Desa Giyombong berbentuk alat pengolahan makanan leye yang sederhana tanpa ada sentuhan teknologi modern seperti mesin penggiling, akan tetapi masih menggunakan alat penghalus tradisional yang terbuat dari batu dan kayu.Penggunaan teknologi dalam pengolahan singkong hingga menjadi leye yang siap saji di Giyombong masih dilakukan secara tradisional tanpa ada campuran alat modern dan pengawet makanan. Meskipun proses membuat leye masih lama hingga memakan waktu 10 - 15 hari, masyarakat masih tetap bisa makan dengan memanfaatkan leye yang disimpan sebagai cadangan jangka panjang.
2.Produksi
Faktor produksi yang mendukung pola pemenuhan kebutuhan pangan lokal pada masyarakat Desa Giyombong adalah ketersediaan bahan utama untuk membuat leye yaitu singkong dengan jenis tertentu. Selain itu distribusi singkong untuk di tanam dan leye yang siap di masak menjadi hal yang unik, karena sebagian besar masyarakat sudah mempunyai lumbung sendiri (grabag) untuk mendistribusikan leye baik kepada anggota keluarga atau untuk di jual. Pemanfaatan lahan tidak hanya di tanam singkong, akan tetapi tanaman lain seperti kopi, jahe gajah dan sebagainya.
3.Konsumsi
Faktor konsumsi lebih membidik kepada kebiasaan masyarakat Desa Giyombong, yang terlihat pada pola konsumsi setiap anggota keluarga yaitu keturunan mereka secara langsung mengikuti pola konsumsi orang tuanya, akan tetapi seiring arus globalisasi baik melalui media maupun masyarakat luar, hal tersebut menimbulkan gengsi tersendiri bagi masyarakat mengenai pola makan mereka. Secara ekonomi, masyarakat Desa Giyombong dapat dikatakan masyarakat sejahtera, hampir setiap rumah memiliki ternak lebih dari 3 ekor dan dengan kondisi rumah yang cukup bagus, pendapatan mereka masih terpatok pada sistem tanam mereka dan bagi hasil hutan pinus. Dalam pola konsumsi masyarakat Desa Giyombong juga mementingkan kesehatan, di mana mereka tidak hanya mengonsumsi leye secara berlanjut, tapi setiap 4 – 5 hari sekali diimbangi dengan nasi.
Kondisi pemenuhan pangan di masyarakat sangatlah penting di dukung oleh faktor-faktor baik yang ada di masyarakat itu maupun yang di luar masyarakat. Seperti kondisi di masyarakat Giyombong yang mengonsumsi leye sebagai makanan kesehariannya merupakan wujud nyata masyarakat mempertahankan hidupnya dengan kondisi alam yang tidak bisa ditanami padi. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, konsep ketahanan pangan dapat di lihat dari 5 (lima) aspek utama yaitu aspek ketersediaan pangan, aspek mutu pangan, aspek keamanan, aspek distribusi dan aspek akses. Masyarakatat Giyombong dapat dikatakan sudah mampu mempertahankan pangan karena berdasarkan penelitian yang dilakukan mampu memenuhi ke-5 aspek ketahanan pangan tersebut. Hal tersebut dapat di lihat dalam pembahasan berikut ini.
1)Aspek Ketersediaan Pangan
Melihat dari ketersediaan pangan masyarakat Giyombong mampu menyediakan bahan pangan leye dari bahan dasar hingga bahan yang siap saji selama terus menerus atau berkelanjutan. Berdasarkan perhitungan, dengan luas lahan Desa Giyombong 161 ha dan jumlah kepala keluarga adalah 323 KK setiap kali panen singkong di kebun sebanyak 1.545,6 kuintal, jika disamaratakan untuk setiap rumah tangga (KK) maka akan mendapatkan 4,78 kuintal setiap KK. Sedangkan untuk membuat satu karung leye diperkirakan menggunakan singkong sebanyak 50 kg yang dapat bertahan hingga 6 bulan. Asumsi tersebut merupakan asumsi dasar dari hasil panen setiap tahunnya (9 bulan, karena sifat panen singkong dalam 1 tahun adalah 1 kali). Ketersediaan pangan lainnya juga di dukung oleh adanya ternak yang mereka miliki dan keberadaan warung di Giyombong yang menyediakan kebutuhan dapur lainnya seperti bumbu dapur, garam, ikan asin dan sebagainya.
2)Aspek Mutu Pangan
Melihat aspek mutu pangan berkaitan dengan kandungan gizi yang terkandung dalam leye tersebut. Berdasarkan hasil uji laboratorium makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan provinsi Jawa Tengah yang peneliti lakukan pada bulan Desember 2012 kandungan yang sangat dibutuhkan oleh manusia adalah karbohidrat dengan jumlah 80 gram per 100 gram leye. Berdasarkan analisis kesehatan, manusia membutuhkan 2 gram karbohidrat per kilogram berat badannya, misalkan berat badan manusia itu 70 kg maka membutuhkan 140 gram karbohidrat dalam waktu sehari. Setiap rumah tangga menghidangkan leye dalam kesehariannya sebanyak satu bakul dengan konsumsi setiap individu satu piring dengan perkiraan 200 gram, sehingga satu porsi makan masyarakat sudah menampung 160 gram karbohidrat untuk memenuhi kegiatan sehari-harinya. Sedangkan kandungan gizi lainnya seperti vitamin A, protein, lemak, kalsium dan fosfor merupakan kandungan gizi sebagai pelengkap dan mampu didapatkan pada bahan makanan lainnya selain dari makan leye.
3)Aspek Keamanan
Aspek keamanan melihat lebih jauh mengenai pangan yang dikonsumsi tubuh sudah memenuhi standar kesehatan. Pada kondisi makan leye masyarakat tidak pernah mengeluh dengan pola makan mereka, justru makan leye membuat mereka lebih kuat dan bertahan lapar hingga 8 jam perhari dari pada makan nasi yang mampu bertahan 5 jam dalam bekerja setiap harinya. Sejauh ini juga tidak ada jenis penyakit yang ditemukan oleh tenaga kesehatan setempat yang disebabkan oleh pola makan leye.
4)Aspek Distribusi
Hal ini melihat bagaimana leye tersebut mampu didistribusika kepada masyarakat Giyombong, sehingga dalam setiap rumah tangga tersedia baha makanan hingga mampu bertahan lama. Masyarakat Giyombong mampu melakukan pemerataan pangan lokal tersebut dan tidak jarang juga didistribusikan ke daerah lainnya dengan cara menjualnya di pasar dan diwarung.
5)Aspek Akses
Aspek keterjangkauan pangan lokal atau akses untuk mendapatkan bahan makanan leye di Giyombong sangatlah mudah dan murah. Jika dalam keluarga tidak menyediakan leye masyarakat dapat membelinya di warung desa dengan harga sekitar Rp 4.500,00-/kg, jika dibandingkan di lar Desa Giyombong harga leye atau orang menyebut dengan tiwul/oyek seharga Rp 6.000,00-/kg.
Peran pemerintah Kabupaten Purworejo dalam hal ini adalah Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan serta Dinas Pertanian dan Peternakan melalui Seksi Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran Bidang Bina Usaha Pertanian, khusus untuk Desa Giyombong mengakomodasikan tim penyuluh untuk melakukan penyuluhan hasil panen perkebunannya. Pemerintah setempat juga memberikan bibit tanaman singkong, akan tetapi jumlahnya tidak banyak. Beberapa langkah yang di ambil oleh pemerintah untuk membuat sebuah kebijakan khusus di Desa Giyombong melalui musyawarah pertemuan rutin Kepala Desa se Kabupaten Purworejo untuk mengumpulkan permasalahan dan menentukan strategi kebijakan pemerintah. Dari hasil musyawarah tersebut, setiap desa mengusulkan proposal kebijakan untuk pembangunan desanya dalam hal pembangunan pertaniannya.
Swasta yang khusus terlibat langsung dalam pemenuhan kebutuhan pangan dalam rangka menciptakan ketahanan pangan di Desa Giyombong juga tidak ada. Akan tetapi ada Perhutani yang terlibat dalam kegiatan ekonomi rakyat, yaitu pihak Perhutani mengizinkan masyarakat mengumpulkan getah pinus dan dikembangkan untuk kemudian dijual kembali kepada Perhutani. Selain itu masyarakat juga diperbolehkan menanam tanaman singkong dan lainnya di sekitar tanaman pinus. Sehingga masyarakat tidak bingung dan resah untuk menanam tanaman dengan harapan hasilnya dapat dimanfaatkan sendiri.
Secara tidak langsung ada peran Perhutani sebagai pihak swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis kearifan lokal di Desa Giyombong. Hal tersebut memperlihatkan simbiosis mutualisme yaitu sama-sama menguntungkan kedua belah pihak, pihak Perhutani tidak perlu berjerih payah dalam pengambilan getah pinus yang dapat digunakan sebagai bahan minyak cat. Sedangkan masyarakat juga terbantu dengan keterbatasan lahan yang sebagian besar juga milik Perhutani untuk menanam singkong dan juga beberapa jenis tanaman kebun lainnya. Selain itu masyarakat juga terbantu secara ekonomi dengan cara mengumpulkan getah pinus tersebut dan kemudian diberikan kepada pihak Perhutani dengan imbalan dalam bentuk uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H