Â
Forum ekonomi dalam wadah Konferensi Tingkat Tinggi G20 sudah di depan mata, direncanakan untuk berlangsung di Bali pada 15-16 November 2022. Pada KTT kali ini, Indonesia berperan sebagai pemegang tampuk presidensi sekaligus tuan rumah.
G20 adalah wadah bagi negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia, meliputi 19 negara anggota inti dan Uni Eropa. G20 membahas isu-isu penting terkait stabilitas ekonomi global, termasuk pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Komitmen G20 menuju ekonomi hijau (ekonomi berbasis energi yang ramah lingkungan) kembali dipertanyakan. Pandemi COVID 19 dan perang Ukraina memaksa negara-negara G20 untuk kembali menggunakan energi fosil dalam jumlah besar.
Sebagai pemegang kepemimpinan G20 periode 2022, Indonesia berpeluang untuk menyuarakan kembali komitmen ekonomi hijau diantara negara anggota. Indonesia mampu mengajak anggota G20 untuk kembali pada jalur transisi penggunaan energi bersih.
Kesehatan Global
Belajar dari pandemi COVID 19, seluruh pemimpin negara di dunia tersadar bahwa kita semua belum memiliki pola perencanaan global terkait kesehatan. Tidak meratanya distribusi vaksin dan terganggunya rantai distribusi pangan perlu dibahas secara lebih serius.
Banyak negara berkembang di dunia belum memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin, hanya bisa bergantung pada pusat-pusat penelitian vaksin di negara maju. Negara berkembang berada pada posisi pemakai vaksin dan tidak terlibat lebih jauh.
Kebijakan pembatasan interaksi masyarakat (red. lock down) menjadi lebih berdampak di negara dengan tingkat vaksinasi yang rendah. Akibatnya, rantai distribusi pangan terganggu dan meningkatnya harga pada saat pandemi.
Ekonomi Digital
Aktivitas jual beli secara daring dan sistem kerja daring (red. work from anywhere) sepertinya akan menjadi tren masa kini dan masa depan. Ironisnya, banyak masyarakat di negara berkembang yang belum dijamin dengan layanan internet yang handal, tidak seperti di negara maju.
Tidak meratanya akses terhadap fasilitas pendukung ekonomi digital akan menghambat pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Pelaku bisnis di negara berkembang, terutama industri rumahan, akan sulit bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari negara maju.
Energi Bersih
Komitmen dunia untuk transisi menuju penggunaan energi bersih (energi terbarukan) ternyata tidak sesederhana yang dipikirkan sebelumnya. Pecahnya perang di Ukraina memicu potensi krisis energi di Eropa, memaksa dihidupkannya kembali pembangkit listrik batu bara.
Ancaman resesi ekonomi juga menghantui negara maju, mengindikasikan kecilnya dana yang dapat dialokasikan untuk kampanye penggunaan energi bersih di negara berkembang. Komitmen transfer teknologi energi terbarukan yang digembar-gemborkan sebelumnya juga seakan pupus.
Sebagai penutup, penulis ingin membakar kembali semangat Indonesia sebagai pemimpin G20 tahun ini. Indonesia perlu menyuarakan dengan lantang agenda lingkungan pada KTT G20 mendatang. Kita tidak punya banyak waktu, alih-alih saat ini, untuk membuat pemimpin dunia sadar bahwa tanpa lingkungan hidup yang lestari, pertumbuhan ekonomi tidak akan berarti apa-apa.Â
"The message is simple: those who fail to bet on a green economy will be living in a grey future", says @UN chief @antonioguterres at #OnePlanet Summit in Paris, on the second anniversary of the #ParisAgreement pic.twitter.com/cOZd2VKpOT--- UN Climate Change (@UNFCCC), 2017
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H