Kita terkaget kaget  dengan pemberitaan menjelang pengumuman Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Bupati/Walikota. Mereka menjadi wajah publik se-Indonesia dalam media sosial, televisi, media online lainnya. Itu karena dukungan dari partai politik terhadap figur-figur pemimpin daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota seakan tidak menunjukan adanya mekanisme yang benar dalam proses seleksi. Para pemimpin yang ikut konstetasi ini, ada yang baru saja mengikuti penandatanganan pakta Anti Korupsi bersama dengan Komisi Anti Rasuah.
Namun, disaat-saat akhir menjelang penetapan bakal calon pasangan pemilihan kepala daerah, kita semua terkaget-kaget. Kok bisa, masa iya, dia yang terbaik, dia yang paling bagus. Wajahnya kini menjadi babak belur oleh gunjingan publik yang dapat kita perhatikan di pemberitaan televisi serta menjadi pergunjingan di sosial media. Lalu, ada sebagian dari pimpinan partai berusaha membangun opini mereka sendiri, tidak merasa bagian dari "MASALAH UTAMA PROBLEM BANGSA INI" yaitu partai belum juga belajar dari sejarah agar dapat menjadi alat untuk memberikan pendidikan politik.
Secara sederhana kita dapat menilai ukuran keberhasilan kaderisasi partai pada saat pemilihan pemimpin calon kepala daerah. Pertama, partai-partai yang berhasil melakukan pendidikan politik akan akan memilih dari kader internal. Kedua, partai akan membuka kesempatan kader eksternal untuk menjadi calon pemimpin daerah. Ketiga, partai akan memilih untuk mengkombinasikan pilihan-pilihan yang lebih efektif dengan alasan kompetensi serta rekam jejak yang jelas.  Pilihan yang ketiga ini lebih logis. Bukan penetapan  "last minute"  yang akan membahayakan partai tersebut.  Â
Calon pemimpin yang gagal  bertanding karena mendapat kartu hitam Komisi Pemberantasan Korupsi. Memilih calom pemimpin yang kalah karena tercengkram oleh kepentingan kelompok tertentu dengan melakukan transaksi uang besar atau Big Money. Big Money mencengkram sistem politik negara kita dan menghancurkan demokrasi kita.
Hari ini, kita tidak lebi baik dari lompatan sejarah reformasi yang sebenarnya tidak menentu arah lompatan dalam transisi demokrasi ini. Kehadiran partai politik yang reformis kalah oleh kepentingan transaksional calon pemimpin yang "Bengkok di Ujung" dan "Big Money". Â Hal ini sebagai peringatan menjelang Pemilihan Presiden dan Legislatif di 2019 nanti. Â Pertarungan yang sesungguhnya diam-diam sudah mulai memanas sejak periode pemilihan kepala daerah di periode 2015 dan 2017 lalu.
Kita dapat pembelajaran berarti  "Big Money" dalam kasus program kartu tanda penduduk elektronik  yang mengganggu sistem pendataan kependudukan bangsa ini dan menyebabkan waktu pengurusan ktp el yang berlarut-larut. Politik dipakai sebagai alat perang. Pengeluaran politik  adalah alat perang ekonomi dengan cara lain. "Big Money" dalam lobi untuk pengeluaran politik akan menjadi tidak adil bagi masyarakat dan sistem demokrasi. Mereka juga akan menghalangi ekonomi yang bekerja untuk rakyat miskin dan kelas menengah.
Tetapi, kartu hitam yang dikeluarkan oleh Komisi Anti Rasuah kita menjelang penetapan calon dalam pemilihan kepala daerah memberikan jawaban. Rasa-rasanya, perlawanan yang selama ini untuk melemahkan KPK, apakah terjawab ngga yaaa ???
Ada pertanyaan lain juga dari diskusi tidak formal dalam Grup Diskusi Bela Negara Korps Cendekiawan Menwa Indonesia, "Apakah transaksi "Big Money" akan ada dalam Pemilu Presiden dan Legislatif 2019 ?  Saya punya jawaban  sendiri bahwa,"Kinerja Pemerintah yang baik akan mengurangi resiko pemanfaatan "Big Money". Karena, selama ini program-program yang ada, rakyatlah yang mendapat untung. Kira-kira masih ada ngga "Big Money". Kalau masih terjadi kelak, KPK-lah yang patut kita beri Kartu Hitam. Dan sejarah kembali berulang. Kesenjangan ekonomi menjadi masalah dalam bangsa ini.Â
Padalah Potensi Ketahanan Ekonomi Nasional (baca Index Ketahanan Ekonomi, Lemhannas Republik Indonesia) kita sangat tinggi dibanding dengan negara lainnya di Kawasan Asia Tenggara.  Kita baru mau menuju kesana, di tahun 2025 minimal kita menjadi negara  yang paling berpengaruh di bidang Ekonomi  untuk kawasan Asia Tenggara dan di tahun 2045 menjadi nomor 5 di dunia sesuai dengan apa kita yang impikan bersama.
Hal ini mengindikasikan bahwa program-program pemerintah dalam rangka penurunan kemiskinan belum cukup nyata berpegaruh. Walaupun, sudah diberlakukan adanya desentralisasi kewenangan dan kenaikan jumlah dana desa dari 46,9 triliun tahun 2016 menjadi 120 triliun di tahun 2018. Lalu, kenapa adanya program dana desa ini tidak berpengaruh terhadap menurunnya angka kemiskinan ? Di tahun 2018 melakukan perubahan strategi. Presiden Joko Widodo menginstruksikan, program dana desa dan proyek infrastruktur pada kementerian/lembaga, harus berorientasi pada pembukaan lapangan pekerjaan serta komposisi dana desa untuk desa miskin (lebih banyak) akan dinaikkan dari 20 persen menjadi lebih dari 35 persen.
Dari perubahan strategi ini, kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) semestinya hanya perlu KERJA KERAS memfasilitasi dan mengkoordinasikan peran pemerintah tersebut bagi rakyatnya. Pejabat-pejabat Kepala Daerah yang ikut dalam pencalonan pimpinan daerah seharusnya mereka percaya diri. Tapi ternyata yang terjadi malah  "bunuh diri" dan membuat sistem demokrasi bertumbuh tak tentu arah.
Sebagai  bagian dari masyarakat yang telah menyerahkan sebagian haknya kepada negara, dimana dalam hal ini penyaluran aspirasi  dilakukan melalui pemerintah (dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi)  dan lembaga legislatif merasa kecewa. Kecewa karena di sebagian daerah  ternyata terbalik, pemimpin daerah dan dewan perwakilan bukannya mengawasi tetapi memanfaatkan anggaran pembangunan.
Tetapi, calon pemimpin daerah masih boleh belajar dari Pembiayaan Publik Donor Kecil seperti yang pernah dilakukan di Propinsi DKI Jakarta. Â Walaupun peran serta publik melalui kampanye organisasi relawan tersebut belum sampai Final dalam mendorong konstentan calon kadidat Gubernur DKI Jakarta tersebut maju melalui jalur independen. Tetapi, semangat itulah yang harus menjadi daya bagi calon kepala daerah saat ini dan kedepan.
Dalam Undang-Undang  No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, dalam Pasal 74 menambahkan satu sumber dana kampanye untuk Pasangan Calon yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik yaitu dari Pasangan Calon. Sumber Dana Kampanye lainnya diperoleh dari sumbangan Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan Pasangan Calon dan sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. Sayangnya, ruang besar yang disediakan oleh undang-undang ini tidak dimanfaatkan oleh partai pendukung dan calon pemimpin daerah.
Belajar dari permasalahan tentang buruknya kaderisasi partai, maka perlu penetapan ambang batas parlemen 7,5 % dan memerlukan serangkaian reformasi yang komprehensif yang bersifat pendek dan menengah. Pertama, perbaiki kaderisasi partai untuk calon pemimpin daerah dan bukan Last Minute Candidate. Kedua, Pembiayaan Donor/Publik yang lebih transparan. Ketiga, Pengungkapan Belanja Politik dan Keempat, Penegakan aturan yang real tentang keuangan kampanye.
Namun, pemeran utama adalah Kesekjenan Partai. Kesekjenan yang merupakan otak dari mesin penggerak partai harus memperbaiki sistem yang tak seimbang ini. Atau mereka hanya membiarkan lobang gelap yang dalam di jalan transisi demokrasi kita.
Penulis :Â
Anggota ISKA, Anggota Korps Cendekiawan Menwa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H