Beredarnya pesan berantai untuk mempertahankan Masjid Jami' Nurul Ikhlas yang terletak di Jalan Cihampelas Nomor 149, Kota Bandung di media sosial beberapa hari yang lalu membuat resah.
Pasalnya, isi broadcast tersebut tentang ajakan jihad fisabilillah mempertahankan Masjid Jami' Nurul Ikhlas kini menemui titik terang. Ternyata usut punya usut bangunan kuno yang kini dijadikan masjid oleh oknum ahli waris tersebut dulunya merupakan rumah dinas pegawai Perusahaan Djawatan Kereta Api (PJKA) yang sekarang menjadi PT KAI (Persero).
Pada tahun 1950, beberapa bangunan berdiri di lahan tersebut tepatnya di Jalan Cihampelas Nomor 125 (sekarang nomor 149). Peruntukannya diantara lain sebagai rumah dinas enam pejabat PJKA beserta keluarganya, Salah satunya M Hadiwinarso.
Dikutip dari Hukumonline.com, menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 1994 Jo. PP No. 31 Tahun 2005 tentang keberadaan Rumah Negara didalamnya mengatur status golongan dari rumah tersebut. Seperti rumah negara golongan I, digunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan yang sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut. Jatah seseorang menghuni rumah dinas sangat terbatas hanya sampai pejabat yang berkaitan tersebut masih menduduki jabatannya.
Pada tahun 2007, enam dari tujuh penghuni rumah dinas tersebut telah memulangkannya. Namun, salah satu penghuninya yakni keluarga M Hadiwinarso yang bernama Yuni tidak mau menyerahkan rumah dinas tersebut secara sepihak mengklaim aset PT KAI tersebut.
Fakta berikutnya sangat mengejutkan, ada sebuah surat pernyataan bermaterai dari ahli waris M Hadiwinarso yakni Desto Jumeno yang isinya mengatakan bahwa benar, tanah dan bangunan rumah dinas yang terletak di Jalan Cihampelas 149 Bandung yang saat ini kami tempati adalah benar merupakan aset yang dikuasai/milik PT KAI.
Bahkan pihak ahli waris telah menerima sejumlah uang dari PT KAI Persero sebesar Rp 120 juta yang diwakili oleh Desto Jumeno sebagai bentuk kepedulian PT KAI terhadap mantan pegawai dan keluarganya.
Didalam Akta tersebut tertulis bahwa pada hari Rabu tanggal 31 Juni 1954, PJKA sekarang PT KAI telah membeli sebidang tanah beserta bangunannya dari seorang warga belanda dengan harga Rp 90 ribu dengan luas tanah 1.656 m2. Â Pembelian sebidang tanah dan bangunan ini diwakili insiyur praktek PJKA Tuan Mas Djatie.
Bukan hanya akta jual beli saja bukti kepemilikan PT KAI, tetapi ada juga legalitas dari Dinas Perhubungan yang membuktikan bahwa tanah dan bangunan di Jl Cihampelas 149 merupakan sah milik PT. KAI.
Menanggapi persoalan seperti ini kita harus melihatnya dari kacamata hukum. Menurut Hasni salah satu Dosen Hukum Agraria FH Trisakti mengataka bahwa hukum agraria nasional kita mengenal suatu azas, dimana penguasaan penggunaan tanah oleh siapapun, untuk keperluan apapun harus ada landasan dan legalitas haknya.